Oleh : Moh.Jufri
Terdapat berbagai cara untuk menguraikan tentang sejarah pertumbuhan dan pertumbuhan hadist. Ada yang mengemukakannya dengan cara menghubungkan dengan masa kehidupan Rasulullah SAW, para sahabat, dan tabiin. Ada pula yang membaginya dengan cara mengemukakan berbagai kegiatan yang berkenaan dengan hadist. Tulisan ini akan memakai cara yang kedua, dengan mengetengahkan pembahasan tentang periode periwayatan hadist dengan lisan, peridde penulisan dan pembukuan hadist secara resmi, periode penyaringan hadist dari fatwa-fatwa, periode penghafalan dan pengisnadan hadist mutaqaddimin, dan periode pengklasifikasian dan pensistematisasian susunan kitab hadist.
A. Periode Periwayatan dengan Lisan.
Periwayatan hadist dengan lisan terjadi di zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Di mana masa Rasulullah masih hidup, hadist belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti al-Qur’an. Para sahabat, terutama yang mempunyai kecakapan dalam menulis selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al;-Qur’an di atas benda-benda yang dapat ditulis. Perlakuan serupa ini tidak diberikan kepada hadist. Hal ini sebenarnya agak ironis dilihat dari segi fungsi hadist yang sangat penting untuk memeberi petunjuk dan bimbingan dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Nampaknya mereka belum memperkirakan bahaya yang akan terjadi pada generasi mendatang disebabkan karena hadist belum dibukukan.
Para sahabat menyampaikan sesuatu yang diperoleh dengan pancainderanya dari Nabi Muhammad SAW dengan berita lisan belaka. Hal ini dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi melalui sabdanya :
لا تكتبوا عنى شيئ إلا القرا ن , ومن كتب عنى شيئا غير القرا ن , فليمحـه وحد ثوا عنى ولا خرج , ومن كذ ب عـلي متعمدا فـليتبوأ مقعد من النا ر (روا ه مسـلم)
“ Janganlah kamu tulis yang telah kamu terima dariku selain al-qur’an. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-qur’an hendaklah ia menghapusnya. Ceritakanlah apa yang kamu terima dariku dan itu tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di nereka” (HR Muslim).
Hadist tersebut di samping berisi anjuran agar meriwayatkan hadist dengan lisan, juga memberi peringatan kepada sahabat agar jangan membuat riwayat palsu. Menghadapi larangan ini terdapat berbagai penafsiran dari para ahli. Sebagaimana menilai, adanya larangan ini untuk menghindarkan kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadist ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-qur’an. Namun alasan serupa ini disangkal, kerena jika demikian alasannya maka berarti susunan kata-kata al-qur’an sama dengan susunan kata-kata hadist, dan ini dapat menghilangkan kemukjizatan al-qur’an, sebagai uslub (lembaran) yang memiliki perbedaan, keistimewaan, dan tak dapat ditiru oleh siapapun, termasuk oleh Nabi dab para sahabatnya. Larangan tersebut lebih bisa dipahami sebagai larangan resmi dan agar masyarakat lebih memusatkan perhatiannya buat sementara terdapat al-qur’an yang ketika proses turunnya tengah berlangsung. Larangan tersebut tidak menutup kemungkinan adanya izin menulis kepada orang-orang tertentu. Suatu riwayat menyebutkan bahwa beliau di samping melarang, juga memerintahkan kepada beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis hadist. Misalnya hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai oleh Rasulullah SAW, beliau berdiri berpidato di hadapan para hadirin, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah ! Tulislah untukku”. Jawab Rasul, “tulislah olehmu sekalian untuk Abu Syah.
Menghormati riwayat di atas, Abu Abdir Rahman berkata bahwa tidak ada satu pun riwayat tentang perintah menulis hadist, yang lebih sahih, selain hadis ini, sebab Rasulullah dengana tegas memeritahkannya.
Dengan adanya perintah tersebut, secara tidak resmi proses penulisan hadist secara pribadi berlangsung di masa Rasulullah SAW masih hidup. Hal ini, misalnya, dapat dijumpai pada adanya beberapa sahabat yang memiliki naskah tulisan tentang hadist seperti Abdullah bin ‘Amar bin ‘Ash (7 sbl. H-65 H), jabir bin Abdullah al-Anshary (16-73 H)(, dan lain-lain.
B. Periode Penulisan dan Pembukuan al-Hadist secara Resmi.
Setelah agama Islam tersiar luas dan dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah Arabia, para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah, dan tidak sedikit yang meninggal dunia, maka para ulama merasa perlu membukukan hadis dalam bentuk tulisan atau buku. Hal ini mendorong Khalifah Umar bin Abdullah ‘lis dan membukukan hadit.
Pada awal pembukuan dan pengumpulan hadist-hadist tersebut tidak dilakukan klasifikasi, sehingga hadist-hadist itu baik yang sahih, hasan, maupun dhaif, bahkan sahabat dikumpulkan dan dibukukan. Para penilis hadist mencampuradukkan hadist-hadist tersebut, sehingga oarng yang tarap ilmu pengetahuannya masih rendah tidak dapat memimlah-milah hadist-hadist itu.
Ulama-ulama yang berusaha mengumpulkan dan membukuan hadist sesuai dengan perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz terbatas hanya di kota atau wilayah masing-masing. Belum ada yang melakukan lawatan ke luar daerah/luar Negara untuk keperluan itu. Tokoh terkenal dan berjasa mengumpulkan hadist pada zaman Umar bin Abdul Aziz adalah al-Zuhri. Setelah itu usaha –usaha pengumpulan dan pembukuan hadist terus dilakukan.
Kitab-kitab yang masyhur mengenai hadist yang terdapat pada periode penulisan dan pembukuan hadist ini adalah :
(a) Al-Muwahtha. Kitab ini disusun oleh Imam Malik pada tahun 144 H, atas anjuran Khalifah al-Mansur. Jumlah hadist yang terdapat dalamj kitab ini lebih kurang 1.720 buah. Kehadirannya dalam masyarakat mendapat sambutan hangat, kitab tersebut masih dapat kita jumpai saat ini.
(b) Musnad al-Syafi’iy. Di dalam Kitab ini Imam al-Syafi’iy mencantungkan seluruh hadist yang dimuat dalam kitab beliau, al-Um.
(c) Mukhtaliful- Hadist, Karya Imam Syafi’iy. Beliau menjelaskan dalam kitabnya ini cara-cara menerima Hadist sebagai hujjah, dan cara-cara mengkompromikan hadist-hadist yang nampaknya kontradiksi satu sama lain.
C. Periode Penyaringan Hadist dari Fatwa-fatwa.
Pada permulaan abad ketiga hijrah, para ahli hadist memulai usahanya memisahkan hadist dari fatwa-fatwa sahabat dan tabiin. Mereka berusaha membukukan hadist Rasulullah saja. Tanpa campur tangan yang lain. Untuk tujuan yang mulia ini. Mereka menyusun kitab-kitab Musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Bangkitlah ulama-ulama ahli hadist seperti : Musa al-‘Abbasy, Musaddad al-Bashry, Asad bin Musa dan Nu’aim bin Muhammad al-Khaza’iy menyusun kitab-kitab Musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin hambal dan lain-lain. Kendatipun kitab-kitab hadist permulaan abad ketiga ini sudah menyisihkan fatwa-fatwa, namun masih mempunyai kelemahan, yakni belum menyesihkan hadist-hadist dhaif, termasuk juga hadist maudhu’ yang diseludupkan oleh golongan-golongan yang termasuk ingin merusak ajaran Islam dari dalam.
Karena adanya kelemahan-kelemahan kitab hadist tersebut, bangkitlah ulama-ulama ahli hadist pada pertengahan abad ketiga hijrah untuk menyelamatkannya. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadist : apakah hadist itu bisa diterima atau tidak. Dalam hubungan ini, para perawi hadist tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka, untuk menyelidiki kejujurannya, kehafalannya, dan lain sebagainya.
Sebagai hasil dari kerja keras parea ulama di periode ini, muncullah kitab-kitab hadist yang terhindar dari hadist dhaif dan seterusnya. Di antara kitab-kitab tersebut adalah :
(a) Shahih al-Bukhari atau Al-Jami’ush Shaih. Kitab ini disusun oleh Muhammad bin Ismail al-Bukhri (195-256 H). Menurut suatu penelitian , kitab ini memuat 8.122 hadist, yang terdiri dari 6.397 hadist asli, dan selebihnya hadist yang terulang-ulang. Di antara jumlah tersebut. 1.341 yang mu’allaf (dibuat sadadnya sebagaian atau seluruhnya), dan 384 hadist mutabi’ (mempunyai sanad yang lain).
(b) Shahih Muslim atau Al-Jami’ush-Shahih. Kitab ini disusun oleh Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy (204-261 H). Berisi seabanyak 7.273 hadist, termasuk yang di ulang-ulang. Jika tanpa yang di ulang-ulang maka jumlahnya hanya 4.000 buah.
Kedua kitab tersebut amat popular di kalangan masyarakat Islam di seluruh dunia, dan dikenal dengan sebutan al-Shahihain. Dan hingga kini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia.
D. Periode Penghafalan dan Pengisnadan Hadist.
Kalau pada abad pertama, kedua dan ketiga, hadist berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan dan penyaringan dari fatwa-fatwa para shahabat dan tabiin, maka hadist yang telah didewankan oleh Ulama-Ulama Mutaqaddimin (ulama abad ketiga), tersebut mengalami sentuhan-sentuhan baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh Ulama Muta’akhirin (Ulamaa abad keempat dan seterusnya).
Pada ulama yang hidup di abad ke empat ini berlomba-lomba menghafal hadist yang telah dibukukan itu sebanyak-banyaknya, hingga sebagian mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadist. Sejak zaman ini timbullah bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadist, seperti al-Hakim, al-Haffadz, dan lain sebagainya.
Selain itu, perlu juga diketahui bahwa abad keempat ini merupakan abad pemisah antara ulama mutakaddimin yang dalam menyusun kitab hadist mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabiin penghafal hadist dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadist hanya menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Di antara kitab-kitab yang masyhur karya ulama abad keempat ini adalah :
1. Mu’jam al-Kabir.
2. Mu’jam al-Ausath, dan
3. Mu’jam al-Shaghir, ketiga-tiganya karya Imama Sulaiman bin Ahmad al-Thabarany (W. 360 H).
E. Periode Pengklasifikasian dan Pensistematisasian Susunan Kitab-Kitab Hadist.
Periode pengklasifikasian dan pensistimatisan hadist ini mulai terjadi pada abad ke-5 dan seterusnya. Para ulama ahli hadist pada abad ini berupaya mengklasifikasikan hadist dengan menghimpun hadist-hadist yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadid. Di samping itu, mereka berupaya mensyarahkan (menguraikan maksud hadist dengan luas) dan ada pula yang mengikhtisharkan atau meringkaskan kitab-kitab hadist yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Dengan usaha mereka itu, maka muncullah beberpa :
1. Sunan al-Kubrah, karya Abu Bakar Ahmad bin Husainb Ali Al-Baihaqy (384-458 H).
2. Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin al-Harrany (w.652 H),
3. Nailul Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar karya Muhammad bin ‘Ali al-Syaukany (1172-1250 H).
Selain itu terdapat pula kitab hadist tentang targhib dan tarhib,
seperti :
1. Al-Targhib wa al-Tahib, karya Iman Zakiyuddin Abdu al-Adhim Al-Mundziry (w. 656 H).
2. Dalil al-Falihin, karya Muhammad Ibn ‘Allan As-Shiddiqy (w. 1057 H) sebagai syarah kitab Riyadush-Shalihin, karya Imam Muhyidin Abi Zakariya al-Nawawy (w. 676 H).
Selanjutnya bangkit pula para ulama yang berupaya menyusun kitab yang berguna untuk mencari hadist-hadist, yaitu kitab kamus hadist untuk mentakhrij suatu hadist atau untuk mengetahui dari kitab hadist apa suatu hadist didapatkan. Misalnya :
1. Al-Jamiush-Shaghir fi Ahadits al-Basyirin-Nadzir, karya Iamam Jalaluddin al-Suyuthi (849-911 H). Kitab ini berupaya mengumpulkan segala hadist yang terdapat dalam kitab yang enam dan lainnya dan disusun secara alfabetis dari dari awal hadist hingga selesai, ditulis pada tahun 907 H).
2. Dakhir al-Mawarits fi al-Dalalati ‘ala Mawadli al-Hadist karya al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdissy al-Nabulisy. Didalamnya terkumpul kitab Shahih Bukhari, Muslim, Sunan empat dan Muwaththa.
3. Al-Muljam al-Mufahras li Alfadz al-Hadist al-Nabawy, karya Dr. A. J. Winsinc dan Dr,. J.F. Mensing, keduanya adalah Dosen bahasa Arab di Universitas Leiden. Kitab ini merupakan kitab kamus hadist yang mengandung hadist-hadist Kitab Enam, Musnad al-Darimy, Muwatha’ Malik dan Musnad Ahmad, selesai dicetak di Leiden pada tahun 1936 M
Dengan mengikuti uraian di atas, nampaklah proses perjalanan hadist dari zaman Rasulullah hingga masa kini. Semua itu dapat memeberikan keyakinan bahwa para ulama memang bersungguh-sungguh melestarikan hadist dengan berbagai cara, yang dari tahap ke tahap memperlihatkan kesempurnaannya.
F. Kesimpulan.
• Periwayatan hadist dengan lisan terjadi di zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Di mana masa Rasulullah masih hidup, para sahabat menyampaikan sesuatu yang diperoleh dengan pancainderanya dari Nabi Muhammad SAW dengan berita lisan belaka. Hal ini dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi melalui sabdanya.
• Setelah agama Islam tersiar luas dan dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah Arabia, para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah, dan tidak sedikit yang meninggal dunia, maka para ulama merasa perlu membukukan hadis dalam bentuk tulisan atau buku. Hal ini mendorong Khalifah Umar bin Abdullah Aziz dan membukukan hadit.
• Pada permulaan abad ketiga hijrah, para ahli hadist memulai usahanya memisahkan hadist dari fatwa-fatwa sahabat dan tabiin. Mereka berusaha membukukan hadist Rasulullah saja. Tanpa campur tangan yang lain. Untuk tujuan yang mulia ini.
Daftar Pustaka
Mushthafa Al-Siba’i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam (diterjemahkan) Dr. Nurcholis Majid, Judul asli, al-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri al-Islamy,(Cet. I, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991),. 29-64.
Nurulddin ‘Atar, Manhaj al-Naqd Fi’Ulum al-Hadist, (Dar al-Fikr {tth}).
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthahul Hadist, (PT. Al-Ma’arif, Bandung : 1974).
Abuddin Nata, MA, Al-Qur’an dan Hadist, (Cet. 3, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta : 1994).
Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalahal Hadist, (Cet. 3, al-Ma’arif, Bandung : 1981).
Tugas Makalah
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIST
STUDI AL-HADIST
Oleh :
MOH. JUFRI
NIM.P.m.1.206.0447
Dosen Pembimbing
PROF. DR. H. SULAIMAN ABDULLAH
KONSENTRASI
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
IAIN SULTHAN THAHA SYAIFUDDIN JAMBI
2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar