Kamis, 12 Januari 2012

PENGARUH HELENISME DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

 A.Pendahuluan.       

        Kebudayaan modern dengan kondisi-kondisi kehidupan tak terhindarkan yang diciptakannya, seperti meluasnya berbagai bentuk kemerosotan nilai yang berpangkal dari hedonisme,     Dewasa ini sudah biasa orang menghubungkan ampaan spiritual, dan hasrat melampaui batas terhadap kebebasan. Kondisi lain yang tak kerhindarkan ialah alienasi dengan berbagai manifestasinya,sikap asosial, dan nihilisme yang membuat manusia kehilangan makna dalam hidupnya. Dengan demikian pula kehilangan tujuan dalam hidupnya. Semua itu merupakan manifestasi dari krisis yang dialami manusia modern yang hidup dalam peradaban serba-materialistis. Tetapi apabila orang berbicara tentang kebudayaan dan peradaban modern serta krisis-krisis yang ditimbulkannya, biasanya orang hanya menunjuk pada kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi sebagai biang keladinya, dan lupa bahwa sumber dari krisis itu adalah berbagai manipulasi dan penyalahgunaan terhadap kemajuan yang dicapai di bidang ilmu pengetahuan. Orang juga lupa bahwa sumber dari berbagai krisis yang dihadapi manusia sebenarnya dapat dicari pada falsafah hidup, sistem nilai, dan gambar dunia (weltanschauung) yang  mendasari kebudayaan modern.  Pada jika orang berbicara tentang kebudayaan modern Barat, orang hanya ingat bahwa fondasi yang membentuk kebudayaan Barat ialah Helenisme, atau semangat  kebudayaan Yunani yang mencintai pemikiran rasional, penelitian ilmiah, dan demokrasi. Semangat Helenisme ini kemudian dikaitkan dengan sejarah munculnya Renaissance yang memicu timbulnya revolusi ilmi pengetahuan dan lahirnya falsafah rasionalisme dan empirisme pada abad ke-17 dan ke-18 M. Orang lupa pada anasir dominan lain yang mendasari pembentukan kebudayaan dan peradaban modern, yaitu Hebraisme. Hebraisme dan protestanisme Hebraisme adalah istilah yang saya ambil dari buku Mathew Arnold, Culture and Anarchy. Dia adalah seorang cendekiawan Inggris abad ke-19 yang sangat kritis terhadap perkembangan kebudayaan Barat. Dalam bukunya itu Arnold mengatakan lebih kurang bahwa sendi-sendi yang memperkuat kebudayaan dan peradaban Barat bukan hanya Helenisme (kebudayaan Yunani), tetapi juga Hebraisme (kebudayaan Ibrani). Kebudayaan Yunani telah memberikan kepada Barat perangkat-perangkat penalaran rasional, penghargaan pada inteligensi, serta kecintaan pada falsafah dan ilmu pengetahuan alam. Di lain hal, Hebraisme memberikan dasar-dasar kokoh berupa kecintaan untuk bekerja keras dengan gairah yang tinggi, kepatuhan menjalan tugas dan kewajiban sesuai aturan dan pengendalian diri. Tanpa itu kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran falsafah, tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata dan tidak akan pula mempunyai arti apa-apa (Barret 1961).
            Berbeda dengan Helenisme yang didasarkan atas sendi-sendi pemikiran dan penalaran rasional dari Aristoteles dan Plato, Hebraisme didasarkan pada sesuatu yang oleh kebanyakan orang modern disebut irasional, yaitu bentuk-bentuk keimanan tertentu yang telah diwujudkan selama berabad-abad dalam kehidupan praktis bangsa Ibrani atau orang Yahudi. Apabila kebudayaan Yunani mengajarkan penghargaan yang tinggi terhadap inteligensi dan etika, kebudayaan Ibrani menekankan pada kegairahan bekerja sehingga mencapai hasil maksimal walaupun harus mengabaikan nilai-nilai moral dan etika. Hebraisme ini meresapi kebudayaan modern Barat secara evolusioner, mula-mula melalui gerakan reformasi keagamaan pada akhir abad ke-13 M, seusai Perang Salib, dan berlanjut setelah orang-orang Yahudi memainkan peranan menonjol dalam kehidupan intelektual dan ekonomi. Merekalah yang memperkenalkan sistem perbankan yang menjadi sendi utama kapitalisme modern.
B.      Pengaruh Helenisme dalam Penegembangan Ilmu Pengatahuan       dalam Islam.

    Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil (847-861 M), seorang ahli matematika dari Sabia, Tsabit Ibnu Qurrah (w. 901 M) dan murid-muridnya menerjemahkan karya-karya Yunani terutama bidang geometri, dan astronomi, termasuk juga karya-karya Apollonius, Plato, Aristoteles, Galen, dan Archimedes.
segi-segi  ajaran Islam. Melalui kegiatan penerjemahan inilah terjadi gelombang helenisme I dalam Islam yang kemudian mendorong berkembangnya filsafat dalam Islam. Munculnya para filosof dalam Islam seperti al-Kindi (w. 870 M), al-Farabi (w. 950 M), Ibnu Sina (w. 1037 M) tidak dapat dilepaskan dari gerakan penerjemahan tersebut. Mereka tidak sekadar membaca dan menerjemahkan karya-karya dari Yunani, tapi juga memberi ulasan, komentar, elaborasi, dan seterusnya. Tentu saja mereka juga mendialogkan antara pemikiran filsafat Yunani dengan
    Atas dasar itu, tidak mengherankan jika beberapa segi pemikiran filsafat dalam Islam sangat nampak dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa filsafat Yunani adalah jendela yang mendorong umat Islam untuk berpikir filosofis, baik mengenai Tuhan, Nabi, maupun alam semesta.  Di samping kontak dengan Yunani, penerjemahan juga dilakukan terhadap karya-karya dari Persia dan India. Pada masa Harun al-Rasyid, al-Fadhl Ibnu Nawbakht (w. 815 M) menerjemahkan beberapa karya astronomi Persia. Bahkan melalui penerjemahan Kalilah wa Dimnah oleh Ibnu Muqaffa' (w. 757 M), pengaruh kesusasteraan menjadi sedemikian besar dalam dunia Islam. Beberapa karya dari India yang juga diterje- mahkan antara lain adalah sebuah risalah sansekerta tentang astronomi berjudul Sidhanta diterjemahkan oleh al-Fazzari atas perintah Khalifah al-Mansur. Itulah sebabnya, al-Fazzari dikenal sebagai ahli astronomi pertama dalam Islam. Dia juga berjasa memperkenalkan bilangan-bilangan Hindi, yang kelak dipopulerkan oleh al-Khawarizmi (w. 750 M) ke Eropa. Dialah penemu persamaan aljabar dan angka nol.
Urat nadi dari kegiatan penerjemahan tersebut adalah sebuah perpustakaan bernama Bait al-Hikmah yang dibangun pada masa al-Makmun. Dalam perpustakaan inilah karya-karya hasil penerjemahan dihimpun. Berbagai pemikiran filosofis-spekulatif dalam Islam sangat terkait dengan Bait al-Hikmah dan aktivitas penerjemahan karya-karya asing ke dalam Bahasa Arab tersebut.
Satu hal yang menarik, penerjemah-penerjemah handal pada masa tersebut pada awalnya banyak didominasi kalangan non-Muslim, meskipun belakangan banyak kalangan Islam mengikuti jejak ini. Keluarga Barmak (Khurasan), orang-orang Zoroaster (Persia), dan para Kristen Nestorian (Syiria) merupakan penerjemah yang digaji al-Makmun. Demikian juga dengan nama-nama seperti Abu Sahl Fazhl dan Alan Syu'ubi (keduanya dari Persia), Yuhana Ibnu Mayusa (Syiria), Qustha bin Luqa' merupakan penerjemah-penerjemah non-Muslim pada masa itu.
    Sejarah telah mencatat prestasi umat Islam pada masa itu. Kemajuan bidang kedokteran ditandai dengan munculnya sarjana kedokteran seperti Yuhana Ibnu Masawaih (w. 851 H) yang telah melakukan kajian tentang anatomi tubuh dan menulis buku berjudul al-'Asyr fi al-Maqalat fi al-'Ain yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Dalam matematika ada al-Khawarizmi; dalam astronomi ada al-Fazzari, al-Faraghani; dalam bidang kimia ada Jabir bin Hayyan, dan seterusnya. Dalam bidang hukum juga dikenal tokoh-tokoh mazhab seperti Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Syafi'i (w. 204 H). dalam bidang sastra kita mengenal tokoh Abu Nuwas yang hidup pada masa Harun al-Rasyid, yang memperkenalkan cerita alf lailah wa lailah (seribu satu malam).
    Selain itu, di Baghdad juga terdapat lembaga pendidikan yang sangat terkenal, yaitu Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk (w. 1064 M). Dari madrasah inilah belakangan muncul tokoh-tokoh besar seperti al-Zamakhsyari dalam ilmu teologi, al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali (w. 1111 M) bidang teologi dan tasawuf, Umar Khayyam dalam bidang astronomi. Atas dasar ilustrasi tersebut, meskipun tidak bisa meng-cover keseluruhan perkembangan di Baghdad, namun dari sini tidak dapat disangkal bahwa Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad merupakan poros dari kemajuan peradaban Islam. Dari tempat inilah terpancar khazanah keislaman ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke dunia Barat. Bahkan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat sekarang ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jerih payah umat Islam pada masa itu. Meskipun dunia Islam sekarang kemudian tertinggal dari Barat, baik dalam politik maupun iptek, namun ketika di Barat masih dalam era kegelapan (dark age), dunia Islam pernah menjadi super power.
    Dengan demikian, perkembangan sebuah peradaban pada dasarnya merupakan sebuah kontinum zaman. Jika pada awalnya umat Islam belajar ke Barat melalui filsafat Yunani, Barat kemudian belajar dan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang berkembang dalam Islam, maka sekarang umat Islam tidak perlu malu kembali belajar kepada Barat. Tentu saja tidak semua yang berkembang dalam peradaban Barat bisa kita ambil, namun paling tidak ada ketersediaan untuk saling belajar. Kebesaran Baghdad dan Bani Abbasiyah pada masanya adalah karena watak kosmopolitan para tokohnya. Sejarah telah membuktikan, kosmopolitanisme inilah yang telah membesarkan Islam dalam sejarah.    
C.   Pengembangan Ilmu Pengetahuan serta Kemajuan  dibidang sains dan Filsafat.
         DI mata sejarah, Baghdad adalah kota yang luar biasa berharga bagi umat manusia. Sebab, tak hanya molek dan menyimpan kekayaan peradaban masa silam, Baghdad juga menjadi saksi tingginya kebudayaan dan semangat keilmuan yang membawa umat manusia ke era kemajuan sains dan filsafat.
Angin kemajuan yang membawa Baghdad pada puncak keharuman reputasinya mulai bertiup 12 abad silam di kota itu. Atmosfer haus ilmu ini muncul terutama berkat dorongan kalangan istana ketika kekuasan Islam berada di tangan kekhalifahan Abbasiyah. Puncaknya, boleh dikata, terjadi pada saat khalifah kelima dinasti ini, Khalifah Harun ar-Rasyid, berkuasa. Tak berapa lama setelah naik tahta, Harun ar-Rasyid mendirikan Bait al-Hikmah (lihat: Semangat Ilmiah dari Istana). Bait al-Hikmah ini merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pusat pendidikan tinggi. Dalam kurun dua abad, Bait al-Hikmah ternyata berhasil melahirkan banyak pemikir dan intelektual Islam. Di antaranya, nama-nama ilmuwan sepe
    Selain mereka berdua, kelak juga muncul nama-nama lain yang tidak asing lagi bagi dunia ilmu pengetahuan, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Al-Ghazali, tiga filsuf Islam terkemuka. Al-Khwarizmi, yang bernama lengkap Abu Ja'far bin Musa al-Khwarizmi, lahir di Baghdad sekitar 780 M. Tokoh pemikir ini --sebagaimana telah disebut-- besar dan mereguk ilmu di Bait al-Hikmah.
Di tengah semangat Harun ar-Rasyid yang menggebu-gebu mengembangkan ilmu pengetahuan, agama, dan filsafat, Al-Khwarizmi mendapat kesempatan luas untuk mengembangkan ilmunya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Al-Khwarizmi bersama Banu Musa, sohibnya sesama penuntut ilmu di Bait al-Hikmah, bertugas menerjemahkan naskah-naskah ilmiah Yunani sambil memperdalam sekaligus mengajar aljabar, geografi, juga astronomi.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, kelak Al-Khwarizmi dikenal sebagai pengembang aritmetika dan geometri. Perhitungan logaritma diketahui berasal dari hasil pemikirannya. Karyanya yang sangat terkenal untuk bidang aritmetika dan geometri ini berjudul Kitab al-jabr wal muqabala. Lewat karyanya inilah Al-Khwarizmi memperkenalkan istilah yang belakangan dikenal sebagai aljabar.
Buku  Aljabar Pertam
    KITAB al-jabr wal muqabala adalah buku pertama tentang aljabar. Tiga abad setelah terbit, kitab bikinan Al-Khwarizmi itu memberi ilham kepada dunia Barat dalam soal angka nol dan ide untuk menyerap angka-angka Arab. Al-Khwarizmi juga dikenal sebagai ahli astronomi yang mendasarkan diri pada pemikiran Ptolemaeus, astronom Iskandariyah yang hidup di abad ke-2 (100-178 M).
    Sumbangan pemikiran penting Al-Khwarizmi di bidang astronomi adalah pedoman penentuan garis lintang dan garis bujur untuk membuat peta, yang lebih akurat dibandingkan dengan temuan Ptolemaeus. Pada tahun wafatnya Al-Khwarizmi (850 M), lahirlah Al-Battani --bernama lengkap Abu Abdallah Mohammad ibn Jabir ibn Sinan al-Raqqi al-Harrani al-Sabi al-Battani.
Di masa muda, Al-Battani meninggalkan tanah kelahirannya, Harran --kini masuk wilayah Turki-- lalu bermukim di Baghdad sampai wafat pada usia 79 tahun. Selama berada di Baghdad, Al-Battani berhasil mengembangkan teori trigonometri dan astronomi. Seluruh pemikirannya di dua bidang itu tertuang dalam buku klasik berjudul Kitab al-Zij.
    Lewat buku itu, Al-Battani menempatkan diri sebagai seorang di antara jejeran pakar geometri dan astronomi Islam. Untuk bidang trigonometri, Al-Battani inilah yang memperkenalkan rumus b sin (A) = a sin (90 - A). Ia juga melengkapi keberhasilannya dengan karya di bidang astronomi berupa tabel-tabel yang menjelaskan hasil pengamatannya terhadap matahari dan bulan, ditambah dengan katalog 489 bintang. Berbagai penjelasan Al-Battani mengenai gerak matahari dan bulan malah disebut-sebut lebih tepat dibandingkan dengan Ptolemaeus. Malah, jarak bumi-matahari yang ia hitung ternyata berselisih sedikit sekali dengan hitungan modern yang berlaku kini. Karya Al-Battani yang paling berharga dan masih terus digunakan hingga hari ini adalah hitungan satu tahun sama dengan 365 hari 5 jam 48 menit dan 24 detik. Seiring dengan kemajuan pemikiran di bidang keilmuan yang dibawa Al-Khwarizmi dan Al-Battani, Bait al-Hikmah juga membawa angin baru bagi pemikiran filsafat. Apalagi kekhalifahan masa itu sangat gandrung pada aliran Mu'tazillah yang memuja kebebasan berpikir. Filsuf pertama yang lahir dari lembaga itu tiada lain Abu Yusuf Ya'qub ibn Ishaq al-Kindi.

Jembatan Filsafat Ajaran Tauhid
    DI dunia Barat, nama filsuf ini relatif kurang dikenal, tapi di dunia Islam namanya sangat harum sebagai filsuf asli Arab. Ia dipandang sebagai pemikir yang bisa menjembatani filsafat Yunani dengan filsafat Islam. Dengan itu, Al-Kindi sekaligus memelopori masuknya pengaruh pemikiran asing --dalam kaitan ini filsafat Yunani-- ke dalam pemikiran Islam.
Al-Kindi mengenal filsafat Yunani --khususnya ajaran Aristoteles dan Neoplatonisme yang dibawa Plotinos (203-269 M)-- melalui karya-karya terjemahan yang memang lagi digalakkan masa itu. Kendati tidak menerjemahkan sendiri karya filsuf Yunani itu, ia mengoreksi dan menggunakan jalan pikiran Helenistik untuk mengembangkan pemikirannya sendiri tentang Islam.
Al-Kindi berusaha mengadaptasi ajaran metafisika Plotinos yang dikenal dengan teori emanasi ke dalam teologi Islam. Prinsip ajaran Aristoteles dan Plotinos dikorbankannya untuk membangun pemikiran teologisnya sendiri. Ia mengembangkan pengertian ''Yang Esa'' (to Hen) Plotinos pada asas tauhid Islam. Tapi, berlainan dengan prinsip Plotinos, ''Yang Esa'' Al-Kindi berada di luar dan tidak tunduk pada hukum alam.
    Berbeda dengan pemikiran tradisi Helenistik yang menganggap tiada sesuatu pun yang berasal dari ketiadaan, Al-Kindi memasukkan unsur Islam dengan mengatakan bahwa waktu, materi, dan gerak itu terbatas, ada awal dan ada akhirnya. Bidang yang dikajinya juga tak hanya sebatas filsafat, juga astrologi. Al-Kindi terhitung filsuf yang dapat menerima astrologi sebagai cabang ilmu pengetahuan.
    Kelak, pemikiran Al-Kindi di bidang ini memberi pengaruh besar kepada filsuf Islam lainnya setelah dia. Semasa hidupnya, Al-Kindi telah melahirkan lebih dari 200 judul buku, baik berupa terjemahan maupun karya-karyanya sendiri. Tiga di antaranya yang terkenal adalah Fi Wahdaniyah Allah wa Tunahiy Jirm al-'alam, Fi Kammiyah Kutub Aritutalis wa ma Yahtaj Ilahi fi Tahsil al-falsafah, dan Tahdib al-Akhlaq. Dalam keseluruhan karyanya tampak benar bahwa Al-Kindi sangat mengutamakan faktor intelek alias akal. Namun, selain menjadi pemikir filsafat, ia juga dikenal sebagai ahli yang mengembangkan musik Arab. Di Baghdad, tradisi filsafat yang beorientasi ke pemikiran Helenistik masih terus berlanjut jauh setelah Al-Kindi wafat pada 873.
Dua Ratus Kali Membaca Aristoteles
    SETELAH kematian Al-Kindi, lahir filsuf lain yang kelak jauh lebih dikenal, yakni Al-Farabi. Filsuf yang lahir di Farab, Turkestan, pada 870 M ini memperoleh julukan kehormatan sebagai ''Guru Kedua'' setelah Aristoteles. Al-Farabi bahkan disebut ''Bapak Neoplatonis Islam'' karena lapangan pemikirannya meliputi bidang-bidang yang sangat luas, jauh lebih luas dibandingkan dengan Al-Kindi.
    Terlebih lagi, pengaruh pemikiran Al-Farabi terhadap para filsuf yang lahir belakangan begitu kuat, setara dengan pengaruh Aristoteles. Walau demikian, ahli logika ini tetaplah dinilai sebagai penerus tradisi pemikiran Al-Kindi. Sebagaimana Al-Kindi, Al-Farabi juga meninggalkan tanah kelahirannya dan bertolak ke Baghdad untuk menuntut ilmu sekaligus mengajar di Bait al-Hikmah. Kemampuan Al-Farabi menguasai 17 bahasa sangat membantu pemahamannya di bidang filsafat. Di Baghdad-lah lahir sebagian besar karyanya, yang meliputi bidang metafisika, filsafat politik, dan filsafat pengetahuan (epistemologi). Sang guru kedua ini --seperti halnya Al-Kindi-- juga mendasarkan pemikirannya pada ajaran Aristoteles dan Neoplatonisme.
Pendalaman Al-Farabi terhadap kedua ajaran itu tak tanggung-tanggung. Ia mengaku telah 200 kali membaca karya Aristoteles dan 40 kali mengunyah karya Plotinos. Dalam metafisika, Al-Farabi lebih condong pada konsep Plato ketimbang Aristoteles bahwa alam ada awalnya dan ada akhirnya. Alam idea Plato pun ditafsirkannya sesuai dengan ajaran Islam. Idea Plato itu tak ubahnya pengertian alam akhirat. Lebih jauh lagi, ia mencoba mengawinkan ajaran Aristoteles dengan Neoplatonis dalam melihat penciptaan dunia, jiwa, dan masalah hidup sesudah mati. Prinsip ajaran ketuhanan Aristoteles, bahwa Tuhan adalah ''Aktus Murni'' yang ia terjemahkan sebagai ''Akal Murni'', dikembangkannya dalam kerangka teori emanasi Plotinos dan konsep Islam.
    Dari ''Akal Murni'' yang berpikir melimpah ''Akal Kedua'' dan seterusnya sampai akal ke-10. Dengan kerangka seperti inilah ia memahami penciptaan alam semesta. Ia pun mengadopsi konsep materi dan bentuk Aristoteles yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Filsuf Islam yang juga ahli musik ini juga sempat mengembangkan dasar-dasar epistemologi yang khas konsep-konsepnya.
Mendamaikan Plato dan Aristoteles
    TAK seperti umumnya konsep pengetahuan yang dikembangkan filsuf Yunani, Al-Farabi meninggalkan pemilahan pengetahuan antara pengetahuan teologis dan pengetahuan filsafati. Menurut dia, kebenaran itu hanya satu. Karena itu, pengetahuan teologis dan pengetahuan filsafat sama-sama mengarah pada kebenaran yang satu tadi. Konsep pengetahuan ini banyak mempengaruhi pemikir-pemikir Islam sesudah dia.
Dari keseluruhan konsep filsafatnya, filsafat politik Al-Farabi-lah yang boleh dianggap melengkapi konsep Plato. Pemikirannya ini tertuang dalam buku Ara-u Ahlil Madinatil Fadhilah. Madinatil Fadhilah, negeri utama, menurut Al-Farabi, adalah negeri yang mengusahakan kemakmuran dan kebahagiaan warganya dengan pedoman keteraturan hubungan Tuhan dengan alam serta keharmonisan hubungan seisi alam.
    Konsep kenegaraan yang dikembangkan Al-Farabi pada prinsipnya mengarah pada sistem autokrasi, dalam arti seorang pemimpin memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur negara. Dengan konsep itu, ia mempersyaratkan tingginya moral sang pemimpin. Ia membagi negara yang kacau dalam enam golongan: negeri darurat, negeri gila harta, negeri gila hormat, negeri hawa nafsu, negeri penjajah, dan negeri anarkis. Namun, yang paling menarik dari pemikirannya adalah upayanya untuk mendamaikan ajaran Plato dengan Aristoteles. Jalan damai yang ia tawarkan sejalan dengan prinsip epistemologi yang ia kembangkan. Menurut Al-Farabi,   filsafat yang dikembangkan Plato     dan Aristoteles tidak bertentangan, melainkan mereka hanya berbeda jalan menuju satu kebenaran. ''Mungkin Aristoteles tidak cocok dengan Plato dalam caranya berpikir, tapi tujuan pikirannya niscaya cocok satu sama lain,'' tulis Al-Farabi. Konsep filsafat Al-Farabi yang mulai sistematis itu memberi pengaruh cukup luas kepada filsuf-filsuf lain. Bahkan kelak sampai juga pada Thomas Aquinas lewat pengembangan yang telah dilakukan Ibnu Sina, filsuf Islam lainnya pada peralihan abad ke-10 dan ke-11.  Thomas Aquinas, filsuf Barat yang hidup di abad ke-13, ''meminjam'' konsep esensi dan eksistensi yang dikembangkan Al-Farabi sebagai jalan mendamaikan pemikiran Plato dengan Aristoteles. Konsep itu dikembangkan Aquinas dalam kerangka teologi dan metafisika Kristen. Pengaruh Al-Farabi juga begitu kuat pada konsep hierarki penciptaan dunia yang dikembangkan Ibnu Sina berdasar ''teori emanasi'' Al-Farabi.
Meruntuhkan Filsuf Yunani
    SEABAD setelah Al-Farabi wafat, lahir pula seorang filsuf yang memiliki konsep berbeda sama sekali: Al-Ghazali (1058-1111 M). Filsuf kelahiran Thus, Persia, ini sempat mengajar dan mendalami pemikiran filsafat di Baghdad selama lebih dari 10 tahun. Ia diakui sebagai seorang pemikir paling orisinal dalam Islam. Di mata para intelektual modern, Al-Ghazali mendapat tempat sangat tinggi karena pengaruh dan peranannya menata serta mengukuhkan ajaran-ajaran keagamaan
    Bahkan, Al-Ghazali mendapat julukan ''Hujjatul Islam'', karena konsep-konsepnya dinilai dapat membendung berbagai unsur yang membahayakan dan dianggap berhasil memurnikan kembali ajaran Islam. Kala itu, Al-Ghazali melihat ada dua unsur yang berbahaya bagi Islam.
    Al-Ghazali menilai, pemikiran filsafat yang tengah berkembang masa itu menjadikan teologi semata-mata sebagai pengetahuan akal yang mengancam pemahaman ajaran Islam. Demikian pula perkembangan ilmu kebatinan alias mistik secara berlebihan telah menyebabkan umat menyimpang dari ajaran Islam.
Kritik pedasnya terhadap filsafat tertuang dalam buku Tahafut al-Falasifah (Hancurnya Filsafat). Karya besar yang mengundang polemik abadi ini ditulisnya karena terdorong oleh carut-marutnya kebebasan berpikir yang pada waktu itu membuat banyak orang meninggalkan ibadah. Dalam buku itu, ia menentang keras hasil-hasil pemikiran para filsuf Yunani dan pemikir Islam sendiri.
Dengan tegas Al-Ghazali menyatakan bahwa akal dan filsafat bukan ''alat'' paling utama untuk memahami segala sesuatu. Konsep-konsep metafisika dan epistemologi yang dikembangkan filsuf Yunani dan filsuf Islam diruntuhkannya. Di lain pihak, kehidupan kaum mistik pun tak lepas dari serangannya. Kaum ''batiniah'' dinilai Al-Ghazali telah membawa orang ke jalan sesat dan melupakan kenyataan
    Bagi Al-Ghazali, mistik pun harus selalu berada dalam kerangka pemahaman akal agar terhindar dari kesesatan itu. Yang cukup unik, ia sendiri secara sistematis menggabungkan filsafat dengan ilmu kalam. Namun, karena melihat adanya keterbatasan dalam ilmu kalam dan filsafat, ia sampai pada satu kesimpulan: kehidupan keagamaan harus dengan pendekatan diri kepada Tuhan.
Jalan Damai Agama, Filsafat, dan Mistik
    PENDEKATAN diri itu, menurut Al-Ghazali, dapat dicapai hanya dengan kehidupan zuhud seorang sufi. Dengan pemikirannya ini, Al-Ghazali berhasil memperkecil kesenjangan sufisme dengan bidang-bidang lain, seperti akidah dan syariah. Setelah pengembaraan di bidang filsafat, mistik, dan bidang-       bidang lain, filsuf spiritualis ini
akhirnya menuangkan seluruh pemikirannya dalam buku Ihya Ulumuddin.
        Dengan konsep-konsep dalam kitab Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama) itu, Al-Ghazali berhasil memberi tempat yang mapan kepada sufisme dalam keseluruhan pemahaman keagamaan yang dianggap sah. Jalan damai antara agama, filsafat, dan mistik yang ditawarkan Al-Ghazali ternyata sangat memukau kaum intelektual Islam. Konsep-konsep Al-Ghazali ini kelak membawa banyak pengikutnya terbius dalam sebuah kamar saja. Saking nyamannya mengikuti pemikiran Al-Ghazali, kamar itu pun ibarat sebuah penjara bagi kreativitas intelektual Islam. Bahkan ada yang menilai, umat Islam sampai kini masih terus terbius dalam penjara Al-Ghazalisme. Memang tak dapat dimungkiri bahwa pengaruh Al-Ghazali sangat kuat dalam dunia Islam. Sebagian pihak malah yakin, zaman keemasan dinamika intelektual Islam seperti berlangsung pada abad ke-8 hingga abad ke-12 ini tak akan kembali sebelum para cendekiawan Islam memecahkan tembok-tembok penjara itu. Pemikiran dan kritik-kritik terhadap filsafat Al-Ghazali memang sempat dilontarkan pemikir Islam berikutnya. Suara paling nyaring datang dari jauh, yakni Kordoba. Ibnu Rusyd, filsuf Islam asal kota itu, berusaha menghancurkan ''penjara'' Al-Ghazali. Lewat buku Tahafut al-Tahafut (Hancurnya Si Penghancur), ia membela kembali pendapat-pendapat filsuf Yunani dan Islam yang telah dibabat Al-Ghazali. Toh, pembelaan itu seolah tidak Kendati ia diakui sebagai pakar Islam terakhir dan terbesar dalam konteks Aristotelianisme, toh suaranya tak banyak mempengaruhi dunia Islam. Pemikiran-pemikirannya jauh lebih berpengaruh pada perkembangan khazanah intelektual di Barat. Ada yang menilai, pembelaan Ibnu Rusyd tak bergaung di dunia Islam karena argumentasinya tidak lebih kuat dari kritik-kritik keras Al-Ghazali terhadap filsafat. Toh, penjara Al-Ghazali pelan-pelan mulai diupayakan untuk dibongkar beberapa abad kemudian. Walau konsepnya belum sekomprehensif Al-Ghazali, filsuf sekelas Mohammad Iqbal telah lahir memberi interpretasi baru lagi bagi pemahaman Islam pada awalbad lalu. Namun, masih kuatnya pemikiran Al-Ghazali nenunjukkan kebesaran pemikir-pemikir Islam Baghdad masih belum tersaingi.
C.    Kesimpulan
1.    Melalui kegiatan penerjemahan inilah terjadi gelombang helenisme I dalam Islam yang kemudian mendorong berkembangnya filsafat dalam Islam. Munculnya para filosof dalam Islam seperti al-Kindi (w. 870 M), al-Farabi (w. 950 M), Ibnu Sina (w. 1037 M) tidak dapat dilepaskan dari gerakan penerjemahan tersebut. Mereka tidak sekadar membaca dan menerjemahkan karya-karya dari Yunani, tapi juga memberi ulasan, komentar, elaborasi, dan seterusnya. Tentu saja mereka juga mendialogkan antara pemikiran filsafat Yunani dengan
2.    Perkembangan sebuah peradaban pada dasarnya merupakan sebuah kontinum zaman. Jika pada awalnya umat Islam belajar ke Barat melalui filsafat Yunani, Barat kemudian belajar dan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang berkembang dalam Islam, maka sekarang umat Islam tidak perlu malu kembali belajar kepada Barat. Tentu saja tidak semua yang berkembang dalam peradaban Barat bisa kita ambil, namun paling tidak ada ketersediaan untuk saling belajar.    

     Daftar Pustaka
http : www. Google. Com/ search q= cache : Xrke8PLOEw8J: www. Freelists. Org/archives/ppi/05-2004/msg000566.html+HELENISME &hl=id&ct=cink&cd=5&gl=id. Page 5 of 5

.http://www.google.com/search?q=cache:HthlqRmP6NUJ:gusdur.net/indonesia/index.php%3Foption%3Dcom_content%26task%3Dview%26id%3D1467%26Itemid%3D42+PENGARUH+HELENISME+DALAM+ISLAM&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id  Page 2 of 3


http://www.google.com/search?q=cache:o_fDAxNgZSsJ:www.geocities.com/ibnu_moeslih/alkindi1.html+PENGARUH+HELENISME+DALAM+ISLAM&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id . Page 1-5 of







Tu g a s   M a k a l a h

PENGARUH HELENISME DALAM
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

Dipresentasikan pada Diskusi Mata Kuliah
Sejarah sosial  pendidikan islam












Oleh :

MOH. JUFRI
NIM.P.m.1.206.0447

Dosen Pembimbing
DR. H. MARWAZI, M.Ag


KONSENTRASI
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (MPI)
PROGRAM PASCASARJANA
IAIN SULTHAN THAHA SYAIFUDDIN JAMBI
2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar