Artikel >> Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dari Sudut Etis Normatif Agama JUM’AT, 13 JUNI 2008 Oleh: DRS. MOH. JUFRI (Guru MTs. Negeri Muara Bulian) Pendahuluan Tekad bangsa Muhamad al Ghazali (pejuang kemerdekaan Mesir) optimis menempatkan posisi konstitusi negara dan Undang-undang (UU) di tempat kedua, sedang tempat pertama adalah kesadaran moral manusia dan mental-loyalitasnya. Akar patologi sosial menurut persepsinya terletak pada kerakusan terhadap materi dan kedudukan, kebohongan dan sifat munafik. Imbas dari kecenderungan tersebut memunculkan perilaku pengingkaran terhadap norma (hukum, etika-sosial dan agama), pelanggaran dan kejahatan terkutuk yang dikemas oleh kesombongan dan perasaan super. Kiranya tepat bila kepolisian membuat rumus N+K = C, yakni niat atau motivasi individu bila bertemu kesempatan akan membuka akses bagi terjadinya tindak kriminal. Mewaspadai prediksi tersebut, motivasi individu perlu ditumbuhsuburkan dengan nilai moral; rasa tanggungjawab pada kepentingan umum, kejujuran, dapat dipercaya (amanah), berkeadilan, disiplin diri, menaruh rasa hormat kepada orang lain dan sadar akan dosa bila menyimpang dari nilai-nilai moral tersebut. Dari sudut etika, KKN mengandung unsur penyalahgunaan kepercayaa, meremehkan tanggungjawab moral yang dituntut orang banyak, sekaligus merupakan penyimpangan terhadap norma hukum dan sosial. Pelaku KKN telah mengorbankan perasaan batinnya, mengingkari ajaran dosa yang dinisbahkan pada tindak membohongi dan memeras orang lain, rakus menerima sesuatu yang seharusnya diberikan kepada negara, bersekongkol dengan pihak lain dalam melakukan pelanggaran hukum demi keuntungan pribadi dan menodai janji yang diikrarkan dengan jaminan nama Allah. Berpijak pada hipotesis, akar terjadinya KKN terletak pada subyek manusia, tepatnya pada kesadaran moral dan loyalitas mental. Maka alur pembahasan tulisan ini difokuskan pada bias persepsi yang pada ujungnya merangsang sikap toleransi tak wajar (permisif) pada praktek KKN. Menempuh pola pelurusan persepsi diharapkan terjadi proses penghindaran praktek KKN secara bertahap menuju disiplin sosial yang diidealkan. Faktor yang Mempengaruhi KKN Berbagai asumsi perihal faktor-faktor yang mengkondisikan mudahnya terjadi praktek KKN, akumulasinya bermuara pada: (a) kemiskinan dan gaya hidup konsumtif, (b) kesadaran hukum yang rendah dan tidak adanva tindakan hukum yang tegas, (c) tiada keteladanan dari pemimpin; pemuka masyarakat dan budaya feodal, (d) sistem akuntabilitas dan pengendalian manajemen yang tidak memadai, (e) kelemahan pengajaran agama dan etika. Kemiskinan (tradisional dan struktural) memang amat rentan terhadap pelanggaran norma sosial dan norma agama, namun akibat yang ditimbulkan relatif berskala kecil. Dalam ajaran Islam diestimasikan bahwa "dekat sekali kefakiran itu menyeret orang jadi kufur". Namun ketika dikonfirmasikan dengan prospek ukhrawi justru penghuni surga dipadati orang-orang yang terkondisi hidup duniawinya serba kekurangan. Ketika dilakukan cross informasi diperoleh kepastian bahwa kemiskinan di sektor ilmu pengetahuan merupakan penyebab utama orang menjadi penghuni neraka. Terbukti pelaku korupsi material dan politik yang banyak memunculkan praktek nepotisme lebih sering melibatkan orang-orang kaya dengan status sosial terhormat di lingkungan masyarakatnya. Prediksi ajaran hadis lain menyuratkan bahwa fakta keberlimpahan fasilitas kehidupan duniawi akan memacu budaya pamer kekayaan. Hal tersebut arahnya mengindikasikan Kesadaran hukum hanya mungkin disosialisasikan apabila norma hukum dan aplikasinya di lapangan mencerminkan watak keadilan absolut, bukan keadilan relatif (semu). Prasyarat guna mewujudkan keadilan absolut itu antara lain: (1) kesamaan kedudukan setiap orang di depan hukum tanpa melihat latarbelakang status sosial yang bersangkutan, (2) aparat yudikatif (polisi, jaksa dan hakim) berlaku obyektif dalam menindak setiap pelaku KKN. Upaya penegakan hukum yang melibatkan kasus KKN sedapat mungkin menghindari penyelesaian di luar pengadilan, (3) pranata perundang-undangan yang mengatur pasal-pasal KKN dikemas redaksionalnya dengan meminimalisir pencantuman istilah-istilah yang mengundang penafsiran berbeda-beda, (4) sanksi hukum teruji efektifitasnya untuk membuat jera para pelaku KKN. Sanksi hukum bagi pelaku KKN perlu memilih bentuk yang ekstrim dan progresif, dengan pengertian semakin besar nilai KKN maka semakin ekstrim hukumannya. Sebagai bahan perbandingan, kepada pelaku tindak pidana korupsi menurut hukum pidana Islam diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan diikuti kemudian dengan penyitaan kekayaan yang diperoleh dari praktek korupsinya. Dalam hal ini prosedur pembuktian kasusnya menerapkan sistem pembuktian terbalik (prima facie). Betapa kekayaan pejabat itu diperoleh dari hadiah, Khalifah Umar bin Khatab tetap membagi 50 persen boleh dimiliki pejabat yang bersangkutan, sedangkan sisanya disetor ke kas negara (bait al mal). Perlakuan Khalifah Umar tersebut lebih didasarkan pada iktikad baik pejabat-pejabat itu dan ketiadaan bukti hukum penyalahgunaan jabatan. Selain itu berlaku tradisi meng-exspose (mempublikasikan) eksekusi hukuman tersebut secara terbuka kepada masyarakat luas. Model eksekusi ‘tasyhir’ tersebut dicontohkan oleh rasulullah SAW yang menimpa Abdullah bin aI Lutbiah selaku petugas pemungut zakat. Dalam penerapan sanksi tersebut tersirat dua misi sekaligus, yaitu menanamkan rasa malu dan rasa berdosa sebagai prasyarat kondisional ‘taubat’ pelaku KKN. Keteladanan para pemimpin (birokrat) dan pemuka masyarakat bisa dirintis lewat pola hidup sederhana, menyatu dengan tradisi masyarakat sekitar dan menjalin komunikasi sosial yang positif. Seiring dengan itu perlu dibudayakan tradisi pelaporan kekayaan pribadi setiap pemegang jabatan yang beresiko bagi kemungkinan terjadi korupsi. Pelaporan kekayaan itu dilakukan secara berkala dan diikuti dengan pemantauan. Oleh karena unsur dominan korupsi adalah fungsi ganda pejabat yang kontradiktif—antara fungsi jabatan dan fungsi pribadi—maka seyogyanya diberlakukan larangan mendirikan perusahaan yang melibatkan pejabat negara atau kerabat dekatnya. Budaya tidak merangkap fungsi jabatan dan bisnis telah diperagakan oleh Abu Bakar as Shiddiq terhitung hari kedua dari pembaiatan dirinya sebagai khalifah. Implementasi dari strategi ini, tender-tender proyek bangunan milik pemerintah, selain bersifat terbuka dan babas diskriminasi, perlu didukung eliminasi jaminan ‘tidak ada hubungan keluarga’ antara rekanan dan pejabat pemerintah yang menjadi pimpinan proyek bangunan tersebut. Contoh keteladanan pemimpin seperti dipraktekkan Rasulullah SAW saat menolak menaiki kuda hasil rampasan perang yang disiapkan sahabat untuk beliau dengan alasan bahwa hak beliau terhadap kuda tersebut hanya sebatas seperlima bagian, seperti digariskan dalam al Quran (QS al Anfal: 41). Teladan lain juga diperagakan Khalifah Umar saat menerima tamu di rumah dinasnya. Umar segera mematikan lampu minyak di rumah dinasnya begitu pembicaraan sang tamu meluncur keluar dari urusan kedinasan. Ketika ditanya perihal tindakan tersebut ternvata dikarenakan pengadaan minyak pada lampu itu didanai oleh negara. Maka pemanfaatannya sebatas urusan dinas saja. Demikian pula wasiat Umar agar tak seorangpun dari keturunannya berambisi menjabat khalifah, betapapun kesiapan mereka. Budaya feodal yang ditandai dengan tradisi minta petunjuk, berharap pemberian upeti karena merasa berjasa, beban moral menyantuni keluarga dekat dengan fasilitas jabatan dan perlakuan-perlakuan lain yang terkesan istimewa, kiranya bisa dihilangkan secara bertahap dengan menerapkan otonomi pada setiap pejabat. Progress report (laporan kemajuan) prestasi kerja pejabat bawahan cukup memadai sebagai tolak ukur conduite yang bersangkutan, bukan ukuran kedekatan pribadi. Sistem akuntabilitas dan pengendalian manajemen yang kurang memadai lazim membuka peluang bagi praktek KKN. Kelemahan pada sektor tersebut kiranya bisa diatasi dengan rasionalitas pegawai serta diimbangi dengan penciptaan formasi yang membagi habis tugas tanggung jawab pegawai yang ada. Peningkatan mutu sumberdaya manusia lewat penyertaan latihan, pendidikan kedinasan, di samping juga rutinitas supervisi oleh atasan langsung. Efisiensi dan efektifitas seharusnva mendasari prinsip manajemen dan menerapkan pelaporan semua penyemaan termasuk yang bersumber dari non-neraca. Kelemahan pengajaran agama dan etika amat berpengaruh pada terjadinya praktek KKN. Struktur kurikulum pendidikan formal selama ini memposisikan bidang studi agama di wilayah marjinal (periver), terbukti keberadaannya di luar cakupan materi Ebtanas/materi uji UMPTN, dengan alokasi waktu/bobot satuan kredit yang minim di samping pengelompokannya ke dalam komponen dasar umum. Perlakuan semacam itu mengindikasikan jauh lebih penting bidang studi Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) daripada Imtaq (Iman dan Taqwa). Selain itu, silabus untuk membentuk wawasan kognitif bidang agama dan etika sama sekali tidak memuat norma sosial, karena seluruh perhatian penyusun GBPP (Garis Besar Pendidikan dan Pengajaran) terpusat pada arahan instruksional norma individual. Lembaga sosial keagamaan termasuk majelis ulama/tokoh agama terlewatkan keterlibatannya pada upaya memberantas KKN. Rekomendasi yang diagendakan lembaga-lembaga tersebut teramat minim porsinya dalam mengantisipasi makin maraknya praktek KKN. Strategi yang senantiasa dikedepankan dalam usaha memberantas KKN bertumpu pada langkah-langkah praktis-pragmatis, seperti yang telah dibukukan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Pendekatan yang berorientasi psikologis dan moral agaknya dinilai tidak efektif dan sulit diperoleh data kuantitatifnya. lde strategi tersebut sepertinya tidak mengacu pada pandangan populer "man behind the gun". Mengingat mayoritas warga negara Indonesia termasuk aparat birokrasinya beragama Islam, kiranya ikhtiar (usaha) membangun wawasan keagamaan bertema pengenalan tentang KKN cukup strategis, karena visi Islam tentang sanksi atas pelakunya lebih dari sanksi sosial, melainkan strata jangkauan moralnya berhadapan langsung dengan laknat Allah dan adzab di neraka. Persepsi Tentang Korupsi Terma korupsi selama ini diartikan tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, berakibat merugikan kepentingan umum dan negara. Bentuk nyata tingkah laku korupsi bisa berwujud penggelapan, penyuapan, penyogokan, manipulasi data administrasi keuangan (termasuk mark up), pemerasan, penyelundupan, jual beli dukungan politik dan perbuatan sejenis lainnya. Pada tingkah laku tersebut unsur dominan korupsi terletak pada penyalahgunaan kekuasaan yang didelegasikan pada seseorang, melibatkan fungsi ganda jabatan dan fungsi pribadi sebagai anggota sosial, langsung atau tidak langsung negara dirugikan karenanya. Kerugian negara dalam kasus korupsi merupakan akibat dari ketidakjujuran atau kecurangan yang disembunyikan melalui berbagai cara. Tengara sebagian pengamat mengklaim bahwa dalam hukum Islam tidak mengenal hadd untuk tindak pidana korupsi, karena penggelapan lebih dikaitkan dengan amanah, membuat kerugian pada negara setara dengan mencuri kekayaan bait al mal dan dibenarkan orang menyuap pejabat dalam rangka mengusahakan hak pribadinya. Klaim tersebut terkesan hanya merujuk pada wacana terbatas dan menggeneralisir masalah. Di antara unsur material yang harus terpenuhi untuk pembuktian "pencurian" adalah keberadaan objek yang dicuri pada tempat yang memadai. Oleh karena pelaku penggelapan itu sebelumnnya telah memperoleh kewenangan hukum untuk menguasai obyek dimaksud atas nama "amanah/titipan", maka kasus tersebut dianggap tidak memenuhi unsur pidana material pencurian yang bisa dikenakan sanksi potong tangan. Oleh karenanya pakar hukum Syafi’iyah mengkategorikan penggelapan ke dalam delik "juhdu al 'ariyah" yang ancaman sanksinya berupa ta'zir, bukan hadd. Adapun pakar hukum dari madzhab Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan ulama Khawarij tetap menggolongkannya ke dalam delik pencurian atas dasar postulasi hadis Fatimah Mahzumi'ah. Dengan demikian penggelapan tetap dianggap sebagai tindak pidana (jarimah/jinayah), hanya saja klasifikasi sanksinya dipertentangkan antara hudud atau ta'zir. Yurisprudensi dari khalifah Umar meniadakan hukum potong tangan bagi pencuri yang mengambil harta benda bait al mal. Pelaku pencurian diperlakukan sebagai warga negara Islam yang berserikat ikut memiliki kekayaan yang tersimpan di bait al mal tersebut. Status hukum tersebut cukup menjadi unsur syubhat atau alibi hukum sehingga tidak patut dikenakan sanksi hadd pencurian. Pola pikir tersebut disikapi dengan pemilahan, apabila nilai benda yang dicuri dari bait al mal itu melebihi jatah pribadi pencuri dan kelebihan itu mencapai standar nishab pencurian, menurut doktrin hukum ulama Syiah/Imamiah tetap dikenakan sanksi hukum pencurian. Demikian pula paham hukum Imam Malik mengesampingkan yurisprudensi Khalifah Umar, dengan argumentasi bahwa status pemilikan atas sebagian kekayaan di bait al mal itu baru dianggap ada setelah cukup bukti hukum bahwa pencuri yang bersangkutan layak memperoleh dana penunjang untuk kebutuhan pribadi dari bait al mal. Sebelum terbit status pemilikan tersebut, tetap dipandang sebagai harta milik negara dan pencurian atasnya dikenakan sanksi sebagaimana layaknya. Seberapa besar sanksi ta'zir yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana yang merugikan bait al mal, dapat dikaji dari kasus pemalsuan cap dinas yang dimanfaatkan untuk mengecoh petugas bait al mal. Pelaku pemalsuan itu bernama Ma'nu bin Zaidah didera 100 kali pada hari pertama, 100 kali dera pada hari kedua dan jumlah dera yang sama pada hari ketiga. Setelah ada jaminan taubat, yang bersangkutan baru dilepas oleh Khalifah Umar. Pejabat negara yang dipekerjakan dengan gaji tetap dilarang memungut sebesar apapun dari orang yang dilayani. Pemungutan semacam itu apapun dalihnya dikategorikan ghulul (mengkhianati tugas) (HR Abu Dawud 2946). Bahkan segala bentuk pemberian/hadiah kepada pejabat negara, sekalipun tanpa diminta, dipandang sebagai ghulul juga (HR Ahmad 5:424). Bentuk-bentuk pemberian semacam itu pada syariat agama lama (Yahudi) diistilahkan al suhti (QS al Maidah 42, 62, 63). Penyuapan kepada pejabat mengindikasikan dua kesalahan sekaligus, yaitu mengabaikan perintah membuat keputusan sesuai aturan hukum dan melanggar suatu larangan yaitu menerima pemberian yang haram. Dalam pandangan Islam berlaku ancaman kutuk (laknat Allah) sebagai sanksi moral sehubungan dengan suap itu untuk tiga pihak, yaitu penerima, pemberi dan mediator yang menghubungkan antara pemberi dan penerima suap. Data mengenai pejabat yang diketahui terbukti menerima suap (rasywah) di zaman kepemimpinan rasulullah SAW dan khulafa al rasyidin (khalifah empat) dihukum dengan pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan, seperti yang menimpa Abdullah bin Lutabiah. Kasus penyuapan kepada pejabat yang ditolerir adalah "korupsi difensif” yakni dalam rangka mengurus sesuatu yang terancam terhambat atau terhenti, maka guna memperlancar upaya memperjuangkan sesuatu yang jelas-jelas menjadi haknya—sekira bila ditempuh secara wajar-wajar saja bisa mengalami kelambatan atau lewat waktu—maka terpaksa ditempuh dengan penyuapan. Pengecualian ini tetap dilekati kesadaran bahwa perbuatan tersebut berdampak negatif "membiarkan tindak kejahatan". Sejalan dengan pemikiran itu pihak penerima suap tetap dituduh sebagai melanggar hukum dan haram nilai suapnya. Khusus tindak pidana yang melibatkan aparat negara, baik yang berasal dari pengaduan masyarakat atau yang diketahui melakukan kecurangan (tertangkap basah menarik pungutan liar) dan berdasar audit data pembukuan kantor-kantor pemerintah, diselenggarakan mahkamah "wilayah al madzalim". Pada mulanya koordinator mahkamah ini ditangani oleh khalifah (kepala negara) dan dalam perkembangannya didelegasikan kepada tim yang dipimpin oleh qadhi' al qudhat (hakim agung). Persepsi Tentang Nepotisme Nepotisme (latin) adalah paham atau sifat yang mengutamakan/menguntungkan sanak keluarga sendiri atau teman sejawat dalam hal menduduki jabatan dalam pemerintahan, walaupun kurang memenuhi syarat. Rasionalitas rekrutmen pejabat mencakup kualitas intelektual, profesionalitas atau memiliki keterampilan teknis yang memadai dan teruji martabat kepribadian berupa integritas (kejujuran) dan semangat bekerja dalam kelompok. Persyaratan tersebut berorientasi pada kesejahteraan publik. Oleh karena nepotisme itu berobyek jabatan publik, maka tindakan itu dianggap sebagai corak dari korupsi politis, berawal dari komersialisasi jabatan yang berujung pada korupsi kekerabatan. Ekses (akibat) nepotisme terlihat pada aparat pemerintah dipadati oleh orang-orang yang tidak punya integritas dengan komitmen karakyatan. Aparat birokrasi jadi kosong dari orang yang berpotensi dan jujur. Sementara beredar isu bahwa nepotisme bukan sistem yang buruk jika digunakan sebagaimana mestinya, ibarat katup pelepas pada bejana penampung air. Isu lain mengambil legitimasi dari kasus Musa menunjuk Harun yang masih saudari seibu sebagai pejabat perdana menteri dalam kepemimpinannya (QS Thaha: 29 dan al Furqan: 35) dan pejabat khalifah sepeninggal nabi keempatnya masih terikat hubungan kekeluargaan dengan nabi. Musa menjatuhkan pilihan tunggal pejabat perdana menteri kepada saudara seibu atas dasar pertimbangan penilaian yang mendapat perkenan dari Allah. Sedang keempat khalifah itu menduduki jabatan publik melalui prosedur demokratis, berlatarbelakang jasa pengorbanan berikut pengabdian serta senioritas mereka dalam perjuangan Islam terhitung sejak periode Mekah. Latar belakang tersebut cukup prospektif bagi jaminan kesejahteraan publik. Konsensus sejarah pun telah mengorbitkan mereka berempat pada predikat "ar-rasyidun" atas prestasi dalam melestarikan nilai-nilai kepemimpinan yang ditradisikan oleh nabi. Justru nepotisme mulai merambah pemerintahan sistem dinasti Bani Umayah dan seterusnya. Cukup keras ancaman moral yang disampaikan rasulullah seperti dikutip Abu Bakar tentang pengangkatan orang-seorang pada suatu jabatan karena kedekatan pribadi. Tanggung jawab moral hanya mungkin diupayakan apabila kepemimpinan (amanat) itu dipercayakan atas prinsip kerja "the right man on the right place". Di sisi lain rasulullah membenarkan komitmen orang yang membela keluarga, sepanjang pembelaan itu tidak menerjang hal yang dipandang dosa. Upaya Memberantas KKN Dari sudut pandang etis-normatif agama ditawarkan beberapa ide strategi guna memberantas KKN, antara lain: 1. Memfungsikan kekuatan infrastruktur politik yang terdiri atas organisasi sosial-politik dan mass media (media 2. Memposisikan lembaga sosial keagamaan sebagai mitra suprastruktur politik dalam menangani terapi moralitas atas gejala dan semakin merebaknva praktek KKN. Kampanye anti KKN memakai pendekatan moral keagamaan bisa diprogramkan guna membangun kesadaran moral dan loyalitas mental. Pemasyarakatan fiqih sosial perlu diagendakan berbasis wawasan tasawuf pada semua strata pendidikan dan pembinaan teknis pegawai; 3. Ciptakan netralitas pegawai dari rangkap jabatan di luar kedinasan dan meniadakan jabatan multifungsi; 4. Mengoptimalkan kekuasaan yudikatif dalam rangka menegakkan supremasi hukum dengan cara: - Pemantapan otonomi dan independensi lembaga penegak hukum; - Memasukkan tindak korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai tindak pidana, bukan sekedar diproses sebagai perkara perdata atau ketatausahaan; - Menerapkan sanksi pidana atas pelaku KKN dengan sanksi yang ekstrim dan progresif; 5. Prinsip yang mendasari rekrutmen pegawai/pejabat mengembangkan pola uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pada semua jenjang kepangkatan maupun eselon dengan menyertakan tes psikologi moral keagamaan. Redaksi sumpah jabatan dan ikrar prasetya abdi negara (pegawai negeri) serta sumpah Saptamarga prajurit perlu secara eksplisit memuat tekad menghindari KKN: 6. Perlu diupayakan pengikisan budaya feodal, melalui penciptaan kultur egalitarian, menghindari kosentrasi kelas-kelas sosial dan memberdayakan layanan publik dengan pendekatan kerakyatan. Semoga kita, terhidar dari sifat terla’nat iru dan menjadi manusia membela kepentingan orang banyak dari pada kepentingan diri sendiri dan keluarga, AMIN YA……. RABBAL ALAMIN……. |
ARTIKEL:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar