Oleh: Moh. Jufri
A.PENDAHULUAN
Al-Qur’an 1 telah diturunkan agar dijadikan seabagai petunjuk dalam menghadapi berbagai situasi dan masa yang akan datang. Namun demikian, ayat-ayat tersebut memang diturunkan dalam berbagai situasi dan waktu yang berbeda-beda.2
Untuk lebih memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an, kiranya diperlukan pengetahuan ihwal latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an, atau yang sering disebut asbaabun nuzuul (sebab-sebab turunnya }suatu ayat { ). Dengan mengetahui asbaabun nuzuul suatu ayat, kita akan terlepas dari keragu-raguan dalam menafsirkannya.
Banyak ulama yang menganggap penting pengetahuan ihwal asbaabun nuzuul ayat-ayat al-Qur’an. Berbagai usaha pun telah mereka lakukan dalam meneliti dan mengumpulkan bahan-bahannya. Mereka ini antara lain: Imam al-Wahidi, Ibnu Daqiqil ‘Id, Ibnu Taimiyyah, dan lain-lain.3
Imam al-Wahidi berpendapat bahwa mengetahui tafsir suatu ayat al-Qur’an tidaklah mungkin tanpa mengetahui latar belakang peristiwa dan kejadian turunnya ayat tersebut. Ibnu Daqiqi ‘Id berpandangan bahwa mengetahui keterangan tentang turunnya suatu ayat merupakan cara yang paling baik untuk memahami makna ayat tersebut. Sedangkan Ibnu Taimyyah mengemukakan bahwa memgetahui asbaabun nuzuul suatu ayat dapat menolong kita memahami makana ayat tersebut. Pengetahuan ihwal asbaabun nuzuul suatu ayat memberikan dasar yang kokoh untuk menyelami makna suatu ayat al-Qur’an.4
___________________________________
1. Al-Qur’an : Kata al-qur’an berasal dari kata kerja qara’a yang berarti membaca dan bentuk masdar (kata dasar)-nya adalah qur’aan yang berarti bacaan. Al-Qur’an dengan makna bacaan dinyatakan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat, antara lain dalam surah-surah al-Qiyaamah : 16-18, al-Baqarah : 185, al-Hijr : 87., Taha : 2, an-Naml : 6, al-Ahqaaf : 87, al-Waaqi’ah : 77, al-Hasyr : 21, al-Insaan :23, dan al-Israa’ :88. Untuk lebih jelasnya lihat misalnya, Ensiklopedi Islam, Cet. 4, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, h. 132.
2.Lihat, Denffer, Ahmad Von, Ilmu Al-Qur’an , Pengendalam Dasar, Diterjemahkan dari buku aslinya berjudul, Ulum Al-Qur’an, An Introduction to the Sciences of the Qur’an, oleh Nasir Budiman, Ed. 1, Cet.1 Jakarta: Rajawali. 1988, h. 101
3.Lihat,K.H.Shaleh,dkk Asbaabun Nuzuul, Latar Belakang Historis Turunnya ayat-ayat al-Qur’an, Edisi kedua,Diponegoro Bandung:2000, Cet. 10, h. 4
4. Lihat. Ibid, h. 5 .
1
Dalam sejarah dikemukakan bahwa para ulama salaf pernah mengalami kesulitan dalam menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an. Namun setelah mendapatkan asbaabun nuzuul ayat-ayat tersebut, mereka tidak lagi mendapat kesulitan dalam menafsirkannya.5
Iamam al-Wahidi berpandapat bahwa pembicaraan mengenai asbaabun nuzuul ayat-ayat al-Qur’an tidaklah dibenarkan tanpa mengetahui peristiwanya, mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya, serta mendalami ilmunya
Dalam tarikh dikemukakan bahwa Muhammad bin Sirin pernah bertanya kepada ‘Ubaidah tentang makna suatu ayat al-Qur’an. ‘Ubaidah menjawab: “Bertaqwalah kepada Allah, serta akuilah dengan jujur bahwa orang yang mengetahui kapan diturunkannya ayat tersebut, telah berpulang (wafat).” Oleh karena itu, untuk mengungkap kembali kejadian tersebut perlu penelusuran secara mendalam dan akurat riwayat diturunkannya ayat tersebut berdasarkan Hadist-Hadist Nabi saw yang dapat dipertanggung jawabkan tentang keabsahannya.
Menurut al-Hakim di dalam kitab ‘Uluumul Hadits, apabila seorang shahabat, yang menyaksikan wahyu dan turunnya ayat-ayat al-Qur’an, mengatakan bahwa ayat anu turun berkenaan dengan anu, dapatlah disimpulkan bahwa Hadis itu musnad.6 Orang yang sependirian dengannya ialah Ibnush Shalah.
Ibnu Taimiyyah7 berpendapat bahwa suatu Hadist kadang-kadang menuturkan maksud suatu ayat, yang justru dalam ayat itu sendiri sudah jelas maksudnya. Hadist seperti ini menerangkan ayat tersebut, dan tidak mengenal asbaabun nuzuul-nya.8
Para ulama berbeda pendapat tentang ucapan shahabat, apakah termasuk
_________________________________
5. Berbagai contoh tentang kesulitan mengartikan beberapa ayat ataupun tentang faedah mengetahui asbaabun nuzuul suatu ayat, berdasarkan hasil penelitian dan penelahan para ulama, untuk lebih jelasnya, lihat, Kitab al-Itqaan fi ‘Uluumil Qur’an, bagian ke-10
6 Musnad artinya Hadis yang disandarkan atau tempat sandaran. Di dalam Ilmu Hadist, kata musnad berarti Hadist yang periwayatannya sampai kepada Nabi saw., Biasanya kata musnad digunakan untuk Hadist-Hadist yang bersumber dari Nabi saw. (Hasan al-Mas’udi, Minhatul Mughiits, [ttp], h.14).
7. Ibnu Taimiyyah, Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad (Harran, Turki, 10 Rabiulawal 661/22 Januari 1263, Damascus, 20 Zulkaidah 728 atau 27 september 1328). Seorang pemikir Islam terkemuka dan tokoh pembeharuan abad ke-8 H/ke-14 M, berasal dari keluarga cendikiawan, lingkungan yang cinta ilmu. Ayahnya, Syihabuddin Abdul Halim, adalah seorang ahli hadist dan ulama terkenal di Damascus yang mengajar di berbagai sekolah terkemuka di kota itu. Untuk lebih jelasnya, lihat, Ensiklopedi Islam,op.cit jilid, II, Cet. 4, h. 168-169.
8. Lihat,t, Ulum Al-Qur’an, An Introduction to the Sciences of the Qur’an, op.cit, h.5.
2
asbaabun nuzuul suatu ayat atau tafsirnya . Al-Bukhari memasukkan hal itu ke dalam musnad (Hadist yang didasarkan kepada Nabi saw.) sedangkan ulama lainnya tidak menganggapnya musnad, kecuali kalau di akhirnya disebut sebagai asbaabun nuzuul suatu ayat.9
Berbagai usaha telah dilakukan para ulama dalam menganalisis kandungan al-Qur’an. Ternyata, semakin dalam analisis dan pembahasan, semakin disadari betapa terbatasnya kemampuan manusia dibandingkan dengan kemahaluasan Ilmu Allah Ta’ala. :
Katakanlah : « Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) Kali-
Mat-kalimat Rabb-ku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
Kalimat-kalimat Rabb-ku, meskipun Kami Datangkan Tambahan sebanyak
Itu (pula).” (Q.S: 18 al-Kahf: 109).
Berdasrkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa, memahami asbaabun nuzuul adalah merupakan suatu keharusan untuk memahami isi kandungan ayat dan terhindar dari kesalahan dan asbaabun nuzuul sendirti sangat membantu untuk memahami arti dari ayat yang dimaksud.
Namun demikian, tidak semua ayat yang diturunkan itu mempunyai asbaabun nuzuul, terutama ayat yang diturunkan untuk tujuan umum atau sebagai permulaan, tanpa sebab seperti yang berkaitan dengan aqidah dan iman. Jadi al-Qur’an ditrurunkan dalam dua kategori : (1). Turun tanpa ada sebab dan yang (2). Turun karena ada suatu peristiwa atau pertanyaan yang memerlukan penjelasan.
Oleh karena itu, makalah ini membahas tentang ayat al-Qur’an yang turun karena suatu peristiwa atau pertanyaan. Pembahasan ini meliputi : pengertian, asbaabun nuzuul, pendekatan yang digunakan al-Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesannya, cara mengetahui asbaabun nuzuul, Kaidah yang Terkait dengan Asbaabun nuzuul.
B.PENGERTIAN ASBAABUN NUZUUL.
Asbaabun nuzuul (Ar. : al-asbab jama’ dari sabab = sebab ; an-nuzul = turun) . Sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an.10 Kata sabab (jamak,
___________________________________
9. Lihat, ibid, h. 6.
10.Lihat, Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid,1, Cet. IV, Ichtiar Baru Van Hoever, Jakarta: 2000, h. 133.
3
asbab) berarti penalaran, alasan, sebab; dan ma’rifat asbaabun nuzuul berarti pengetaahuan tentang sebab-seabab diturunkannya suatu wahyu. Yaitu pengetahuan tentang peristiwa dan lingkungan tertentu di dalam sejarah yang berkaitan dengan ayat-ayat tertentu di dalam al-Qur’an.11
Asbaabun nuzuul adalah sesuatu yang melatar belakangi turunnya satu ayat atau lebih, sebagai jawaban terhadap suatu peristiwa atau menceritakan suatu peristiwa, atau menjelaskan hukum yang terdapat dalam peristiwa tersebut.12
Menurut Azzargoni, asbaabun nuzuul adalah “Peristiwa yang terjadi pada masa nabi atau masalah yang dihadapi-Nya, maka turunlah suatu ayat atau beberapa ayat dari Allah SWT. Menerangkan apa yang berhubungan dengan itu, atau menjawab pertanyaan tersebut “.13
Menurut Muhammad Ali Ash Shobuni, asbaabun nuzuul adalah sesuatu peristiwa atau kejadian tertentu yang dalam pada itu kemudian turun satu atau beberapa ayat al-Qur’an, atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW. Untuk mengetahui hukum Syara’ atau untuk menafsirkan sesuatu yang berkaitan dengan agama, kemudian turun satu atau beberapa ayat.14
Menurut Manna’ Khalil al-Qattan, asbaabun nuzuul adalah “ sesuatu hal yang disebabkan Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukum)-nya, pada masa itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”.15
Muhammad Abdul Azim az-Zarqani, ahli ilmu tafsir, mendefinisikan asbaabab an-nuzuul sebagai suatu peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah SAW yang setelah itu turun ayat membicarakan atau menjelaskan ketentuan hukum tentang terjadinya peristiwa tersebut. Peristiwa yang terjadi tersebut bukan secara otomatis menjadi penyebab turunnya ayat yang membicarakan kasus itu. Oleh sebab itu, para ahli tafsir mengatakan bahwa hubungan peristiwa yang terjadi dengan turunnya ayat yang membicarakan peristiwa tersebut bukan dalam hubungan kausalitas (sebab akibat), tetapi memang Allah SAW ingin menu-
__________________________________
11.Lihat, Denffer, Ahmad Von, op.cit, h. 102
12. Lihat, Daud Al-Athhar, Perespektip Baru Ilmu Al-Qur’an, Quraish Shihab, Pustaka Hidayat, Bandung: 1994, h. 127
13.Lihat, Muhammad Abd, Al-Azhim, Manahil Al-Irfan Fi Uluumi Al-Qur’an, Isa Al-Baby Al-Malaby, Kairo, (tth), h. 106.
14, Lihat, Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-tibyan Fi Uluumi Al-Qur’an, Muhammad Qadi, Nur, Pustaka Amani, Jakarta: 1988, h.34.
15.Lihat, Manna Khalil Al-Qathan, Mabaahits Fi ‘Ulumi Al-Qur’an, Masyurat Al-Ashr Al-Hadist, (tth), h. 78.
4
runkan ayat itu pada saat atau sedang terjadinya peristiwa tersebut.16
Wahidi (Wafat 468/1075), salah seorang sarjana klasik dalam bidang ini pernah menulis ; “ Pengetahuan tentang tafsir dan ayat-ayat sangat tidak dimungkinkan, apabila tidak dilengkapi dengan adanya pengetahuan tentang kisah-kisah dan penjelasan yang berkaitan dengan diturunkannya suatu wahyu.17
Berdasarkan beberapa pengertian yang dilontarkan para pakar tafsir, yang berkaitan asbaabun nuzuul di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa asbaabun nuzuul adalah “ suatu peristiwa yang melatarbelakangi turunnya satu ayat atau beberapa ayat sebagai jawaban dan penjelasan terhadap pertanyaan dan menerangkan hukumnya pada saat terjadinya peristiwa (sebab) itu.”
C.PENDEKATAN AL-QUR’AN DALAM MENYAMPAIKAN PESAN-PESANNYA.
Al-Qur’an memiliki keunikan dalam menyampaikan pesan-pesan yang dikandungnya kepada ummat manusia. Apabila dikaji seacara mendalam, kita akan mendapatkan dua pendekatan18 yang digunakan al-Qur’an dalam penyampaian pesan-pesannya:
1. Pendekatan yang Tidak Didahului Pertanyaan.
Ayat yang diturunkan berisi perintah atau larangan yang ditujukan langsung kepada kaum Mukminim. Pendekatan inilah yang paling banyak digunakan al-Qur’an . Pendekatan tersebut biasanya menggunakan , ياآ يها الذ ين آ منوا …..(Wahai orang-orang yang beriman….). Orang yang merasa dipanggil dengan ungkapan itu akan bersip-siap mendengarkan isi panggilan itu , serta tergerak hatinya untuk melaksanakan petunjuk (perintah atau larangan ) yang diberikan Allah SAW kepadanya.
: _____________________________
16. Lhat, Abdul Aziz Dahlan, op.cit, h. 133, untuk lebih jelasnya simak pendapat M. Quraish Shihab, tentang asbaab an-nuzuul , beliau berpendapat bahwa, asbaab an-nuzuul bukanlah dalam artian hukum sebab akibat sehingga seakan-akan tanpa adanya suatu peristiwa atau kasus yang terjadi maka ayat tidak akan turun. Pemakaian kata asbaab bukanlah dalam artian sebenarnya. Tanpa terjadinya suatu peristiwa. Al-Qur’an tetap diturunkan oleh Allah SWT sesuai dengan iradat-Nya. Demikian pula kata an-nuzuul, bukan berarti turunnya ayat al-Qur’an dari suatu tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, karena Al-Qur’an tidak berbentuk fisik atau materi. Pengertian turun, menurut para mufassir, mengandung pengertian penyampaian atau penginformasian dari Allah SWT kepada utusan-Nya. Muhammad SAW, dari alam ghaib kea lam nyata melalui Malaikat Jibril. Lihat, Denffer, Ahmad Von, op.cit, h. 134.
17. Lihat, An-Nisaburi Wahidi, Asbab al-nuzul, Halabi, Kairo: 1387/1968, h.4.
18. Lihat, Muhammad Syaltut, al-Fatawaa, (tth), Kairo: Darul Qalam, h. 5-16.
5
Contoh ayat-ayat seperti ini antara lain:
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu perpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, “ (Q.S: 2, al-Baqarah 183).
“Hai orang-orang beriman, janaganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia.” (Q.S: 2, al-Baqarah: 264).
Di samping seruan langsung yang berisi perintah atau larangan kepada kaum Mukmin, ada pula seruan yang ditujukan kepada Nabi saw., tetapi maksudnya tertuju pula kepada semua ummatnya. Seruan seperti ini antara lain :
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu…… »
(Q.S,65,ath-Thalaaq :1)
Ada pula pendekatan yang tidak menyebutkan seruan, baik yang langsung kepada kaum Muslimin maupun yang ditujukan kepada Nabi saw., tetapi langsung menerangkan perintah, larangan, dll. Misalnya :
« Janganlah kamu jadikan (Nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan……. »
(Q.S.2.al-Baqarah : 224)
2.Pendekatan sebagai Jawaban atas Pertanyaan yang Ditujukan kepada Nabi saw.
a. Pertanyaan kaum Muslimin/Mukminin yang diajukan kepada Nabi saw. Biasanya berkenaan dengan hal-ihwal yang belum ada ketetapannya dari Allah swt., atau sebagai penjelasan lebih lanjut terhadap suatu ketetapan yang masih memerlukan penjelasan.19
“ Dan apabila Hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah Dekat……”
(Q.S.2, al-Baqarah: 186)
Pertanyaan lain ada juga yang berkenaan dengan keajaiban alam semesta, yang kemudian Dijawab Allah swt, di dalam al-Qur’an, seperti:
“ Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “ Bualan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat).haji.”
(Q.S. 2, al-Baqarah: 189).
Jawaban yang dikemukakan di dalam al-Qur’an biasanya dihubungkan dengan urgensinya serta kepentingan hidup ummat Islam sepanjang masa, baik
___________________________________
19, Lhat, Hal-hal seperti ini akan kita dapatkan dalam asbaabun nuzuul.
6
berkenaan dengan ibadah mahdlah (ibadah ritual), seperti : shalat, shaum, dll.ataupun muamalah (ibadah sosial), seperti perdagangan, pergaulan hidup, dll..
Di samping berupa pertanyaan di atas, terdapat pula bentuk permohonan fatwa kepada Rasulullah saw., Di dalam al-Qur;an disebutkan bahwa fatwa yang diminta itu antara lain berkenaan dengan kehidupan keluarga, perkawinan, waris, dll.. Firman Allah Ta’ala:
Dan mereka minta fatwa kepadamu tertang para wanita. Katakanlah:
“ Allah Memberi Fatwa kepadamu tentang mereka…..”
(Q.S.4, an-Nisaa’: 127)
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang الكلا لـة ). Katakanlah: “ Allah Memberi Fatwa kepadamu tentang كلا لة ….”
(Q.S. 4, an-Nisaa’: 176)
b. Selain pertanyaan atau permohonan fatwa yang dianjurkan oleh kaum Muslimin, terdapat pula pertanyaan-pertanyaan yang dianjurkan oleh orang-orang yang mengingkari dakwah Rasulullah saw,.Pertanyaan-pertanyaan tersebut kebanyakan terdapat dalam ayat-ayat Makkiyyah, yang isinya mengenai pokok-pokok agama ( ا صـولوا لد ين ). Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang ingkar tersebut biasanya mengandung unsur olok-olok dan penentangan, antara lain:
1. Tentang masalah kiamat. Allah Ta’ala Berfirman:
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?”
Katakanlah: “ Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah
Pada Sisi Rabb-Ku…”
(Q.S. 7, al-A’raaf:187)
Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit Katakanlaha:”Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di Sisi Allah…..”.
(Q.S. 33, al-Ahzab: 63)
(Orang-orang kafir ) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya?
(Q.S. 79. an-Naa-zi’aat: 42)
2. Tentang masalah ruh. Allah Ta’ala Berfirman:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Kataaakanlah: “ Ruh itu termasuk Urusan Rabb-Ku…..”
(Q.S.17, al-Israa’:85)
7
3. Tentang masalah kejadian masa lampau. Allah Ta’ala Berfirman:
Mereka akan bertanya kepadamu ( Muhammad ) tentang Dzulqarnain. Katakanlah: “ Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.”
(Q.S. 18. Al-Kahf: 83)
Menyimak dari uraian di atas yang menjelaskan tentang cara yang digunakan al-Qur’an menyampaikan pesan-pesannya dalam berbagai bentuk, maka dtuntu bagi siapa saja yang ingin menafsirkan al-Qur’an memahami dengan benar dan akurat tentang asbaabun nuzuul dari setip ayat atau beberapa ayat yang ia tafsirkan, demi menghindari kesalahan terhadap isi kandungan al-Qur’an.
D. CARA MENGETAHUI ASBAABUN NUZUUL.
Para ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an (Ulumul Qur’an) menyatakan bahwa karena asbaabun nuzuul, itu adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah saw, maka untuk mengetahui asbaabun nuzuul harus melalui periwayatan yang shahih 20 dari para shahabat yang mendengar atau yang menyaksikan langsung peristiwa yang berhubungan dengan turunnya ayat-ayat tertentu atau melalui para ahli yang telah melakukan penelitian dengan cermat, baik dari kalangan tabiin maupun ulama-ulama lainnya yang dapat dipercaya.21
Cara mengetahui asbaab an-nuzuul melalui periwayatan yang shahih tersebut terkadang dapat dilihat dari ungkapan perawi yang mengatakan, « sebab nuzuul al-ayah kazaa » (sebab turunnya ayat demikian). Adakalanya asbaab an-nuul tidak diungkapkan dengan kata sabab (sebab), tetapi diungkapkan dengan kalimat « fa nazalat (lalu turun ayat) Misalnya, perawi mengatakan « su’ila an-nabiy salaa Allaah ‘alasih wa sallm ‘an kazaa, fa nazlat….(Nabi saw ditanya tentang suatu hal, lalu turun ayat….) » . 22
Oleh karena itu, seseorang tidak dapat begitu saja menerima pendapat seorang penulis atau orang seperti itu bahwa suatu ayat diturunkan dalam keadaan
___________________________________
20. Yang dimaksud dengan shahih adalah mempunyai unsur-unsur, yaitu sanad bersambung, seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil, sanadnya bersifat dhabith, sanadnya terhindar dari syudzudz dan sanadnya terhindar dari illat. Lihat, Dr. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan denga pendekatan Ilmu Sejarah, Cet.I, Bulan Bintang Jakarta :1988,h. 111. lihat juga, Denffer, Ahmad Von, op.cit,h. 134
. 21 Lihat, Ibid, h.132.
22.Lihat, Ibid, h. 132.
8
yang tertentu. Untuk itu, kita harus mempunyai kepastian tentang siapa yang meriwayatkan peristiwa tersebut, apakah waktu itu ia memang sungguh-sungguh meyaksikan, dan kemudian siapa yang menyampaikannya kepada kita.
Penulis mencoba mengemukakan jenis-jenis riwayat dan penyebab terjadinya asbaabun nuzuul.
1. Adapun jenis-jenis riwayat yang berkaitan dengan asbaabub nuzuul,ada dua jenis, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Riawayat yang Pasti.
Pada jenis yang pertama(yang pasti), para periwayat dengan jelas menunjukkan bahwa peristiwa yang diriwayatkannya berkaitan erat dengan asbaabun nuzuul
Contoh:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa ayat: “Hai orang yang beriman ! Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan orang-orang yang memiliki kekuasaan di antara kamu……” (Q.S. 4, an-Nisaa’: 59), diwahyukan dalam kaitannya dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin Adi ketika Rasul menunjuknya sebagai panglima sariyya (detasemen, sebuah satuan tugas tentara. 23
b.Riwayat yang mungkin
Pada jenis kedua (yang mungkin), periwayat tidak menceritakan dengan jelas bahwa peristiwa yang diriwayatkannya berkaitan erat dengan asbaabun nuzuuul, tetapi hanya menjelaskan kemungkinannya.
Contoh:
Diriwayatkan oleh Urwa, az-Zubair bertengkar dengan seseorang dari kalangan Anshar, karena masalah aliran air (irigasi) di al-Harra. Rasulullah bersabda: “Wahai Zubair, aliri air tanahmu, dan kemudian biarkan ia mengairi tanah-tanah di sekitarmu.” Sahabat Anshar tersebut kemudian berkata:”Ya, Rasulullah, apakah ia keponakanmu ?” Pada saat itu Rasulullah dengan rona wajah yang memerah kemudian berkata:”Wahai Zubair, alirkan air ked tanahmu hingga penuh, dan kemudian biarkan selebihnya mengalir ke tertanggamu.” Tanpa bahwa Rasul saw memungkinkan Zubair memperoleh sepenuh haknya, justru sesudah seorang Anshar memperoleh menunjukkan kemarahannya.
Sebelumnya Rasul telah memberikan perintah yang adil bagi mereka
___________________________________
23. Lihat, Bukari, sahih Bukari, 9 Vol Jlid.VI, Kairo, 1313/1895,h.108.
9
berdua. Dan az-Zubair berkata: “saya tidak pasti, hanaya saja agaknya ayat mereka rela menjadikan kau (sebagaqi) hakim adalam segala perselisihan di antara berikut ini diwahyukan dalam kaitannya dengan peristiwa tersebut: “Tetapi tidak, demi Tuhanmu ! Mereka tiadalah beriman, kecuali jika mereka”. 24 (Q.S. 4, an-Nisaa’: 65),
c. Jenis-jenis Penyebab asbaabun nuzuul
Ada tiga jenis penyebab yang berkaitan erat dengan pewahyuan berepa ayat khusus dari al-Qua’an, yaitu:
1. Pewahyuan seabagai bentuk tanggapan atas suatu peristiwa khusus ataupun peristiwa umum.
2. Pewahyuan sebagai tanggapan atas pertanyaan yang diajukan seseorang
3. Pewahyuan atas dasar sebab yang lain, entah kita ketahui atau tidak.
Contoh :
1) Tanggapan Atas suatu Peristiwa.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasul pernah pergi ke al-Bath-ha, dan seturun dari gunung beliau berseru : » Wahai para sahabat, berkumpullah ! », demi me3lihat orang-orang Quraisy yang juga ikut mengelilinginya, maka belaiupun bersabda : »Apakah engkau akan percaya, apabila aku katakan bahwa musuh tengah mengancam dari balik punggung gunungm dan mereaka bersiap-siap untuk menyerang, entah di pagi hari ataupun di petang hari ? » Mereka pun menjawab : Ya, saya percaya, wahai Rasulullah ! » Dan aku akan jelaskan kepadamu tentang beberapa hukuman, » Maka Abu Lahab berkata : » Apakah hanya untuk madalah seperti ini kami semua erngakau kumpulkan, wahai Muhammad ? Sungguh terkuat, engkau ! » Maka Aallah kemudian menurunkan wahyu : » Binasalah kedua tangan Abu Lahab…..”25 (Q.S. 111, al-Halab:1)
Surat yang berkenaan dengan Abu Lahab ini diwahyukan seabagai tanggapan terhadap Abu yang berkata: “Cerlakalah engkau, wahai Myhammad!”
2) Tanggapan Atas Sauatu Peristiwa Khusus.
Surat al-Baqarah: 2: 158 yang berkaitan dengan Shafa dan Marwah diwahyukan sebagai tanggapan atas sebuah situasi khusus di Mekkah di masa Rasul SAW masih hidup.
___________________________________
24,Liahat, Bukhari, Ibid, h.109
25, Lihat, Bukhari, Ibid, h. 496
10
Diriwayatkan oleh Urwa, “ Aku bertanya kepada Aisyah (tentang Sai’ yang dilakukan antara Shafa dan Marwah).” Maka jawabnya: “ Sesungguhnya tidak ada urusannya dengan berhala Manat yang diletakkan dimushallal, yang bisa orang menganggap melakukan ihram atas namanya, sehingga kemudian tidak melakukan Sai’ antara ash-Shafa dan al-Marwah (karena di antara kedua bukit tersebut terletak dua berhala lainya). Maka kemudian Allah menurunkan wahyu: “ Sesungguhnya ash-Shafa dan al-Marwa merupakan di antara syiar Allah.” (Q.S. 2, al-Baqarah: 158). Oleh sebab itu Rasulullah dan ummat Islam pada umumnya biasa melakukan sai’(di antara kedua tempat tersebut). Berkata sufyan, “ Berhala Manat seebenarnya terletak di al-Mushallal di Qudaid .” Sedangkan Aisyah berkata: Ayat tersebut diwahyukan dalam kaitannya dengan kaum anshar. Mereka (dan suku) Ghassan biasa melakukan Ihram (sebelum masuk Islam ) atas nama Manat.” Kemudian Aisyah menambahkan, “ ada orang dari kalangan Anshar yang bisa berihram atas nama Manat, yaitu berhala yang terletak di antara Mekkah dan Madiaanah. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah ! Kami tidak melakukan lagi thawab (sa’i) antara ash-Shafa dan al-Marwah atas nama Manat.” 26
Untuk menjawab situasi tersebut, akhirnya diturunkanlah (Q.S. 2, al-Baqarah: 158
3) Tanggapan Atas Pertanyaan bersifat Umum
Ada sejumlah kesempatan, ketika wahyu diturunkan dalam rangka memberi petunjuk yang berkaitan dengan pertanyaan yang bersifat umum, yang muncul dikalangan para sahabat Rasul:
Diriwatkan Tsabbit dari anas, “di antara orang-orang Yahudi, apabila wanita di antara mereka ada yang sedang haid, maka mereka tidak makan bersama wanita tersebut, atau juga tidak tionggal serumah dengannya; sehingga kemudian para sahabat yang mengetahui masalah tersebut , kemudian bertanya kepada Rasul SAW tentang hal tersebut, dan kemudian turun wahyu:
“ Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid,(maka) Jawablah: Itu adalah gangguan, karena itu jauhilah wanita waktu haid…..” (Q.S. 2.al-Baqarah: 222).
Maka Rasulullah bersabda: Lakukanlah segalanya, kecuali menggaulinya……” 27
Riwayat seperti tersebut di atas jelas merupakan contoh yang baik, yaitu bagaimana Rasul sendiri menjelaskan makna suatu wahyu, ketiaka muncul perta-
__________________________________
26, Lihat, Bukhari, VI, Ibid,h 384, dan juga h. 22 dan 23.
27, Lihat , Muslim, Sahih Muslim bi-sharh al-Nawawi, Jilid, I., 18 Vol dalam 6 jilid Kairo:1384/1964.h. 592
11
nyaan serupa.
4). Beberapa Asbab dan Satu Wahyu
Dari riwayat sahabat, tampak nyata bahwa ayat tertentu dari al-Qur’an diwahyukan sebagai tanggapan atas lebih dari satu peristiwa, situasi, atau pertanyaan. atau bahwa penerapan ayat al-Qur’an yang tertentu berlaku untuk lebih dari satu peristiwa khusus, sebagaimana diperlihatkan di atas.
Contoh:
Surat al-Ikhlas (112) untuk pertama kali diturunkan sebagai tanggapan kepada kaum musyrikun di Mekkah sebelum masa Hijrah, dan kedua terhadap kaum ahli kitab yang ditemui di madinah sesudah berlangsungnnya hijrah.28
5) Beberapa Pandangan Tentang Sabab al-Nuzuul.
Juga terjadi bahwa para sahabat Nabi dalam menyebut suatu wahyu ternyata menegemukakan pandangan tentang Sabab al-Nuzuul yang berbeda. Hal ini disebabkan, seperti yang dijelaskan di atas bahwa ada berbagai asbab untuk satu wahyu yang khusus, dan masing-masing pribadi yang meriwayatkan keadaan yang dialaminya hanyalah salah satu dari berbagai kedaan yang ada.
Dengan kata lain, beberapa pandangan tentang suatu ayat yang sama telah dinilai keutamaannya berdasar aturan yang berlaku dalam ‘ulum al-hadist, dan salah satu di antaranya dinilai mana yang lebih kuat dibandingkan yang lainnya.29
Conroh:
Ada satu riwayat yang berkenaan dengan ayat (Q.S. 17.al-Isaraa’:85).
Menurut Ibnu Abbas, seperti yang diriwayatkan oleh Tirmisi, kaum Quraisy meminta kepada bangsa Yahudi agar diberi tahu tentang sesuatu yang dijadikan sebagai bahan pertanyaan yang diajukan kepada Rasul SAW, dan kemudian mereka mendapat saran agar bertanya tentang jiwa(al-ruh). Maka kemudian turunlah ayat (Q.S. 17, al-Isra’: 85).30
Dari Ibnu Mas’ud seperti yang diriwatkan oleh Bukhari, pernah berkata:
____________________________________
28, Lihat.Jalal al-Din Suyuti,al-Itqan fi’ulum al-qur’an, 2 Vol, dalam I. Maktab al-thqafiyya Beirut, 1393/1973,h. 262-3
29,Lihat, Deffer Ahmad Von, op.cit, h.114.
30 Lihat, Terjemahannya pada halaman: 7
12
“ Ketika aku tengah menemani Rasul di sebuah perkebunan, dan beliau sedang bersandar pada pelepah kurma, beberapa orang Yahudi berjalan melintas di depan berliau. Beberapa di antara mereka kemudian berbicara dengan sesama mereka: “Tanyai dia tentang ruh. Sebagian lagi berkata: Apa pentingnya bertanya yang demikian ? Dan sebagian lagi berkat: jangan-jangan ia akan memberi jawaban yang tidaj engakau sukai. Tetapi mereka kemudian berkata, bertanyalah ! Maka kemudian mereka bertanya kepada asul tentang ruh. Rasul berdiam diri saja dan tidak memberikan jawaban. Saya tahu bahwa beliau sedang menerima wahyu Ilahi, maka aku pun berdiam di tempatku. Ketiaka wahyu Ilahi tersebut selesai diturunkan, maka kemudian Rasul berkata:
Mereka menanyakan kepadamu tentang ruh. Jawablah, ‘Ruh adalah urusan Tuhanku. Tapi sedikit saja ilmu yang diberikan kepadamu!’
Riwayat kedua, walau yang pertama dinyatakan sahih oleh Tirmidzi. namun tetap dianggap lebih kuat karena berasal dari Ibnu Mas’ud yang berkata bahwa ia hadir pada saat turunnya wahyu tersebut, sedangkan riwayat Ibnu Abbas yang disampaikan oleh Tirmidzi tidak mengungkapkan hal tersebut.31
5). Khusus Atau Umum.
Pertanyaan dalam bidang tafsir yang masih berkaitan dengan asbaabun nuzuul adalah, apakah ayat yang diturunkan tersebut mempunyai implikasi khusus sebagaimana dengan keadaan khusus di mana ayat tersebut diturunkan, atau apakah sifat muatannya bersifat umum sehingga perlu dilaksanakan oleh setiap muslim di seapanjang waktu ?
Contoh:
“Adapun pencuri, lelaki ataupun perempuan, potonglah tangannya, sebagai balasan atas perbuatannya, sebagai hukum pengajaran dari Allah. (Sungguh) Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “
(Q.S.5. al-Maaidah:38).
Ayat tersebut walau diturnkan dalam kaitannya dengan orang tertentu, karena telah mencuri sepotong perhiasan dan kemudian telah dihukum dengan setimpal, namun pelaksanaanya bersifat umum.32
__________________________________
31. Lihat, Shahih al-Bukari, op.cit,h. 145-6; Bukhari, IV, No. 245.
32, Lihat, Wahidi, op.cit, h. 111, lihat juga, Tafsir Ibnu Jauzi, Beirut, 1964, Vol, II, h.348
13
F. Kaidah yang Terkait dengan Asbaabun Nuzuul.
Ulama tafsir dan usul Fikih mengatakan bahwa ada dua kaidah yang terkait dengamn masalah asbaabun nuzuul yang membawa implikasi cukup luas dalam pemahaman kandungan ayat tersebut yakni:
a. al-‘ibrah bi ‘umuum al-lafz laa bi khusuus as-sabab ( yang menjadi patokan adalah keumuman lafal, bukan karena sebab yang khusus) dan
b. al-‘ibarah bi khusuus as-sabab laa bi ‘umuum al-lafz ( yang menjadi patokan adalah sebab khusus, bukan keumuman lafal).
Kaidah ini berkaitan dengan permasalahan apakah ayat yang diturunkan Allah SWT berdasarkan sebab yang khusus harus dipahami sesuai dengan lafal umum ayat tersebut atau hanya terbatas pada sebab khusus yang melatabelakangi turunnya ayat itu.
Dalam masalah tersebut, terdapat perbedaan pendapat di kalangan mufassir dan ahli usul fikih, kaidah yang dipakai adalah kaidah pertama, yaitu memahami ayat sesuai dengan keumuman lafalnya, bukan karena sebab khususnya. Implikasinya adalah, sekalipun satu atau beberapa ayat diturunkan pada satu kasus, maka hukumnya berlaku secara umum sesuai dengan kandungan lafalnya, dan berlaku secara luas untuk seluruh kasus yang sama. Jalaluddin as-Suyuti, mufassir dan faqih Mazhab Syafi’i mengemukakan contoh ayat 38 dalam surah al-Maa’idah: (5), yang berbicara dalam masalah hukuman bagi pencuri. Menurutnya, ayat ini diturunkan pada kasus seorang wanita yang melakukan pencurian di zaman Rasulullah SAW, tetapi hukum ayat ini, potong tangan bagi pencuri, berlaku untuk seluruh pelaku pencurian.
Sebagian kecil mufassir dan ahli usul fikih. Khususnya mufassir kontemporer, berpendapat bahwa ayat itu semestinya dipahami sesuai dengan sebab khususnya, bukan berdasarkan lafalnya yang umum. Dalam kaitan dengan ini. Ridwan as-Sayyid, tokoh pembaharu dari mesir. Dan Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam suatu peristiwa terdapat unsur-unsur: (a) peristiwa yang terjadi,(b) pelaku, dan (c) waktu. Tetapi selama ini yang sering menjadi pertimbangan dalam kaidah tersebut hanya peristiwanya saja tanpa meneliti jauh waktu terjadinya peristiwa tersebut dan kondisi pelaku peristiwa tersebut. Akibat-
14
nya, hukum umum yang diambil sering tidak sejalan dengan waktu dan para pelaku peristiwa tersebut. Bagi orang yang melakukan kejahatan pencurian, misalnya, hukum yang diterapkan tidak hanya diterapkan sesuai dengan peristiwa pencurian itu saja, tetapi juga dipelajari secara cermat waktu terjadinya pencurian, dan kondisi pelaku pencurian tersebut. Dengan demikian, ulama yang berpegang pada kaidah al-‘ibarah bi khusuus al-sabab laa bi ‘umum al-lafz (berpendapat bahwa dalam menerapkan hukumsuatu ayat pada kasus lain dilakukan melalui kias (analogi).
Untuk melakukan analogi ini M.Quraish Shihab mengemukakan sangat penting dipertimbangkan factor waktu dan pelaku, di samping peristiwa itu sendiri. Menurutnya. Ayat-ayat al-Qur’an tidak diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya dan bahwa kenyataan itu mendahului atau persamaan dengan turunnya ayat. Oleh sebab itu, dalam memahami suatu ayat, amat penting diteliti waktu terajadinya peristiwa tersewbut, sehingga analogi yang diterapkan akan relevan dengan tujuan ayat. Implikasi dari pandanagan ini adalah bahwa pengembangan hukum yang dicakup oleh sebuat ayat yang umum tidak lagi didasarkan pada keumuman ayat tersebut, tetapi dilakukan kias. Namun demikian menurutnya perbedaan pendapat tersebut hanya muncul dikalangan mufassir dalam ayat-ayat yang bersifat umum yang tidak terdapat petunjuk di dalamnya bahwa ayat itu diperlakukan secara khusus. Apabila ada petunjuk yang menyatakan bahwa ayat itu berlaku secara khusus, maka seluruh mufassir dan ahli usul fikih sepakat memberlakukan ayat itu pada sebab yang khusus tersebut.33
_________________________________
33. Lihat, Ensiklopedi Hukum Islam, op.cit, h. 136 15
KESIMPULAN
Al-Qur’an diturunkan secara umum, diantaranya ada yang turun mempunyai asbaabun nuzuul ayat yaitu merupakan suatu peristiwa atau menjawab pertanyaan, dan ada juga tanpa mempunyai asbaabun nuzuul.
Asbaabun nuzuul merupakan salah satu ilmu terpenting dari ilmu-ilmu al-Qur;an berfungsi untuk menjelaskan suatu kejadian yang menyebabkan turunnya suatu ayat atau beberapa ayat yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi saw.
Asbaabun nuzuul sangat penting dalam upaya memahami dan mengetahui maksud suatu ayat, hikmah yang terkandung dalam penetapan suatu hukum sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur’an.
Untuk menentukan suatu ayat asbaabun nuzuul ini sebagai status shaheh, para ulama menggunakan beberapa ungkapan atau kaidah-kaidah tertentu yang memberi arti bahwa ayat tersebut benar-benar sebab yang melatarbealakanginya.
Dalam memahami ayat asbaabun nuzuul, kaidah-kaidah yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafal dan bukan kekhususan sebab. Dan inilah pendapat jumhur ulama.
16
DAFTAR KEPUSTAKAAN
‘Abd Al-Baqi, Muhammad Fu”ad, al-mu’jam al-mufahras li alfaz al-Qur’an al-
Karim, Kitab al-Sha’b, Kairo, (tth).
Al-Athhar, Daud, Perspektif Baru Ilmu al-Qur’an. Quraisy Shihab, Pustaka,
Bandung, 1994.
Al-Azhim, Muhammad Abd, Manahil Al-Irfan fi Ulumi Al-Qur ;an, Isa Al-Baby,
Al-Malaby, Kairo, (tth)
Al-Qathan, Manna Khaqlil, Mabahits fi Ulumi Al-Qur’an, Masyurat Al-
Hadist, (tth).
Ali-Ash-Shabuni, Syeh Muhammad, Attibyan fi Ulumi Al-Qur’an Qadi, Nur
Pustaka Amani, Jakarta, 1988.
Ahmad Von, Deffer, Ilmu Al-Qur’an Pengantar Dasar, Di terjemahkan dari buku
Aslinya yang berjudul, Ulum Al-Qur’an An Introduction to the sciences of the Quir’an, oleh Nasir Budiman, Ed,I
Cet. I, Jakarta, Rajawali 1988.
Al-Azhim, Muhammad Abd, Manahil bAl-Irfan fi Uluum AlQur’an, Isa Al-Baby
Al-Malaby, Kairo, (tth).
Bukhari, Sahih Bukhari, 9 Vol dalam Jilid 3, Kairo, 1313/1895
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I,Cet. IV, Ichtiar Baru Van
Hoever, Jakarta, 2000.
Dewan Redaksi,Ensiklopedi Islam, Jilid, IV, Cet, IV, Jakarta, Ichtiar Baru Van
Hoever, Jakarta, 2001
Ibnu Taimiya, Muqaddima fi Usul al-afsir. Dar Al-Qur’an Al-Karim, Kuwait,
(1391/1971.
Muslim, Sahih Muslim bi-Sharh al-Nabawi, Jilid, I, 18 Vonj dalam 6 Jilid, Kairo
1384/1964.
Shaleh, K. H, Q, Asbaabun Nuzuul, Latar Belakang Historis Turunnya ayat-ayat
Al-Qur’an , Edisi kedua, Cet. 10 Diponegoro, Bandung
2000,
Suyuti, Jalal al-Din, al-Itqan fi Ulum Al- Qur’an, 2 Vol, Dalam I, Maktab al-
Thaqafiyyah, Beirut, 1393/1973.
Ismail, Dr.M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet. I
Bulan Bintang Jakarta, 1988.
Wahidi, An-Nisaburi, Asbab Al-Nuzul, Halabi, Kairo, 1387/1968
17
ASBAABUN NUZUUL
(Al-Qur’an)
Dipresentasikan dalam Diskusi (Seminar) Mata Kuliah : “ Studi Al-Qur’an”
Program Studi Pengkajian Islam Konsentrasi: “ MPI”
Oleh:
MOH JUFRI
P.m. 1.206.0447
Dosen Pembimbing:
Dr. H. Ahmad Syukri, MA.
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUS AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN THAHA SAIFUDDN JAMBI
TAHUN: 2006-2007
subhanallah al quran diturunkan untuk petunjuk hidup manuasia.
BalasHapus