Kamis, 18 Oktober 2012

Asal Usul dan Hukum Mencium Hajar Aswad

Assalamualaikum Wr. Wb.

Pak Ustaz, yang saya ingin tanyakan asal usul Hajar Aswad itu dan bagaimana ia sampai ditempatkan di samping Ka”bah. Apakah ada sunnahnya kita menciumnya? Dan apa nilai, fungsinya dan hukumnya mencium Hajar Aswad tersebut?
Terima kasih sebelum nya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jawaban :
Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hajar Aswad maknanya adalah batu hitam. Batu itu kini ada di salah satu sudut Ka`bah yang mulia yaitu di sebelah tenggara dan menjadi tempat start dan finish untuk melakukan ibadah tawaf di sekeliling Ka`bah.
Dinamakan juga Hajar As`ad, diletakkan dalam bingkai dan pada posisi 1,5 meter dari atas permukaan tanah. Batu yang berbentuk telur dengan warna hitam kemerah-merahan. Di dalamnya ada titik-titik merah campur kuning sebanyak 30 buah. Dibingkai dengan perak setebal 10 cm buatan Abdullah bin Zubair, seorang shahabat Rasulullah SAW.
Batu ini asalnya dari surga sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sejumlah ulama hadis.
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hajar Aswad turun dari surga berwarna lebih putih dari susu lalu berubah warnanya jadi hitam akibat dosa-dosa bani Adam.” (HR Timirzi, An-Nasa`I, Ahmad, Ibnu Khuzaemah dan Al-Baihaqi).
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW bersada, “Demi Allah, Allah akan membangkit hajar Aswad ini pada hari qiyamat dengan memiliki dua mata yang dapat melihat dan lidah yang dapat berbicara. Dia akan memberikan kesaksian kepada siapa yang pernah mengusapnya dengan hak.” (HR Tirmizy, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, At-Tabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Asbahani).
At-Tirmizi mengatakan bahwa hadits ini hadits hasan. Sedangkan Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalam kitab Shahihul Jami` no. 2180, 5222 dan 6975.
Dari Abdullah bin Amru berkata, “Malaikat Jibril telah membawa Hajar Aswad dari surga lalu meletakkannya di tempat yang kamu lihat sekarang ini. Kamu tetap akan berada dalam kebaikan selama Hajar Aswad itu ada. Nikmatilah batu itu selama kamu masih mampu menikmatinya. Karena akan tiba saat di mana Jibril datang kembali untuk membawa batu tersebut ke tempat semula. (HR Al-Azraqy).
Bagaimanapun juga Hajarul Aswad adalah batu biasa, meskipun banyak kaum muslimin yang menciumnya atau menyentuhnya, hal tersebut hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Umar bin Al-Khattab berkata, “Demi Allah, aku benar-benar mengetahui bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberi madharat maupun manfaat. Kalalulah aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu aku pun tidak akan melakukannya.”
Wallahu a`lam bish-shawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Beberapa Hukum dalam Ibadah Haji


Assalamualaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya memiliki beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana jika sedang mengelilingi Ka’bah tiba-tiba bersentuhan dengan yang bukan muhrim, apakah sah atau tidak?
2. Bagaimana jika sedang ibadah haji tiba-tiba haid? Apakah harus mengulangi?
3. Bagaimana jika sedang ibadah haji tiba-tiba sakit?
4. Bagaimana jika kita sedang berjalan dari shafa ke Marwa tiba-tiba jatuh pingsan?
Demikian pertanyaan saya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jawaban
Assalamu ”alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sentuhan kulit antara laki dan wanita terkait dengan masalah batal wudhu’ atau tidak, adalah masalah khilaf di kalangan para ulama. Meski mereka berdalil pada nash yang sama.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih) (QS Al-Maidah: 6)
Sebagian ulama memaknai lafadz au laamastumunnisaa’ pada ayat di atas dengan penafsiran zahir dan hakiki, sehingga sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram bagi mereka dianggap penyebab batalnya wudhu’.
Namun sebagian ulama yang lain menggunakan pemahaman maknawi. Kata menyentuh dalam ayat ini bukan sentuhan kulit melainkan bentuk penghalusan dari jima’ (setubuh).
Ulama lain membedakan antara yang menyentuh dengan yang disentuh. Yang menyentuh batal wudhu’nya sedangkan yang disentuh tidak batal. Dan sekian perbedaan lainnya yang semua merupakan ijtihad.
Mereka yang berpaham batal wudhu” karena sentuhan kulit ada yang sementara ”pindah mazhab”, kalau berhadapan dengan situasi sulit seperti saat tawaf yang berdesakan. Adapula yang tetap berprinsip demikian, namun agar terhindar mereka menggunakan pakaian yang sangat menutup aurat dengan berlapis.
Sedang Haji Tiba-tiba Haidh
Semua ritual ibadah haji tidak ada satu pun yang mensyaratkan suci dari hadats, kecuali tawaf dan sa”i saja. Sedangkan wuquf di Arafah, bermalam di Muzdalifah atau melontar jamarat di Mina dan ibadah lainnya, tidak mensyaratkan suci dari hadats kecil atau hadats besar. Jadi tidak ada masalah dengan semua itu, kecuali tawaf ifadhah.
Dan hal ini bisa diantisipasi lewat obat-obatan penunda haidh yang hukumnya telah dibolehkan oleh para ulama salaf dan khalaf.
Di masa lalu, Aisyah ra pernah mengalami hal tersebut dan mungkin belum ada antisipasinya. Sehingga oleh Rasulullah SAW beliau diminta untuk menunggu di Makkah hingga usai haidhnya.
Pingsan Waktu Sa’i
Bila seseorang sedang menjalankan ibadah sa’i lalu pingsan, maka wudhu’nya batal. Untuk itu dia harus mengambil wudhu’ lagi. Namun tidak harus mengulangi sejak awal, cukup meneruskan dari posisi terakhir dia pingsan (batal wudhu’).
Hal yang sama juga berlaku waktu tawaf di sekeliling Ka’bah. Bila batal wudhu, baik karena kentut atau pingsan dan lainnya, maka begitu selesai berwudhu’ kembali, tidak perlu diulang dari awal. Cukup diteruskan dari posis terakhir saat batal wudhu’.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Hubungan Idul Adha dengan Ibadah Haj


Assalamu ‘Alaikum Wr.Wb. Ustadz yang saya hormati, ada beberapa pertanyaan dari saya antara lain:
1. Apa benar pada hakekatnya Hari Raya Idul Adha tidak ada hubungannya dengan Ibadah Haji, maksudnya masing-masing adalah suatu hal yang terpisah. Namun kebanyakan masyarakat menganggapnya Hari Raya Idul Adha adalah Hari Raya Haji, mohon Penjelasannya beserta dalil yang menguatkannya Ustadz.
2. Seandainya saya memiliki uang yang cukup untuk berhaji, namun hanya untuk satu orang, sedangkan orang tua belum pernah berhaji. Mana yang mesti didahulukan saya yang masih muda atau orang tua?
Demikian, Jazakumullah.
Wassalammu ”Alaikum Wr. Wb.
Jawaban :
Assalamu ”alaikum warahmatullahi wa barakatuh,
Alhamdulillah wash-shalatu wassalamu ”ala rsulillah, wa ba”du

Antara Idul Adha dan Ibadah Haji
Sulit untuk memisahkan antara ibadah haji dengan Hari Raya Idul Adha. Meskipun seorang yang merayakan Idul Adha tidak harus berangkat haji ke baitullahil haram. Namun hubungan antara keduanya sangat erat.
Dari segi waktu pelaksanaan, keduanya dilakukan di bulan Dzul Hijjah. Hari Idul Adha jatuh pada tanggal 10 Dzul Hijjah. Pada hari itu umat Islam disunnahkan untuk melakukan shalat ”Idul Adha dan menyembelih hewan qurban. Dan pada hari yang sama, jutaan jamaah haji bergerak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melontar jumrah sebagai bagian utuh dari ritual ibadah haji.
Tepat sehari sebelumnya yakni tanggal 9 Dzul Hijjah, ketika para jamaah haji berwuquf di ”Arafah, umat Islam seluruh dunia disunnahkan untuk melakukan puasa sunnah. Nama puasanya disebut dengan puasa ”Arafah. Dan puasa ”Arafah adalah ibadah yang disunnahkan terkait dengan hari Raya ”Idul Adha.
Namun dari segi tempat pelaksanaan, kedua ibadah itu memang bisa dilakukan terpisah. Jamaah haji melakukan semua ritual ibadahnya di Mekkah, Mina, Arafah dan Muzdalifah. Sedangkan yang umat Islam lainnya bisa merayakan hari raya Adha itu di mana saja mereka berada.
Ketika umat Islam disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 Dzul Hijjah, para jamaah haji tidak disunnahkan untuk melakukan puasa. Sebab saat itu mereka sedang melakukan wuquf di ”Arafah yang tentunya membutuhkan tenaga ekstra. Sebab mereka tinggal hanya di tenda-tenda sementara.
Demikian juga ketika umat Islam disunnahkan untuk shalat Idul Adha pada tanggal 10 Dzul Hijjah, jamaah haji pun tidak diharuskan untuk melakukannya. Sebab saat itu mereka sedang sibuk bergerak dari Muzdalifah menuju ke Mina untuk melontar jumrah.
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ”Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy”arilharam . Dan berdzikirlah Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (QS Al-Baqarah: 198)

Haji Untuk Orang Tua atau Untuk Diri Sendiri?
Seandainya Anda memiliki uang yang cukup untuk berhaji, namun hanya untuk satu orang, sedangkan orang tua Anda belum pernah berhaji. Maka yang mesti didahulukan adalah diri anda terlebih dahulu. Mengapa bukan orang tua anda?
Sebab kewajiban berhaji itu adalah fardhu ”ain bagi tiap orang beriman yang mampu. Begitu seseorang telah memiliki kemampuan, maka wajiblah atasnya untuk melakukan ibadah haji. Sedangkan memberikan biaya pergi haji kepada orang lain, termasuk kepada orang tua sendiri, hukumnya bukan kewajiban, melainkan hanya sunnah saja.
Demikian juga sebaliknya, seorang ayah yang dicukupkan Allah rezekinya pada suatu ketika, maka saat itu sudah ada beban kewajiban untuk pergi haji baginya. Sedangkan memberikan biaya pergi haji buat anak dan istri yang menjadi tanggungannya, pada dasarnya tidak wajib hukumnya. Secara tingkat prioritas, seorang ayah atau suami berkewajiban untuk mencukupi nafkah keluarganya terlebih dahulu, bila ada kelebihannya maka wajiblah atasnya pergi haji. Dan tidak wajib membiayai pergi haji keluarga bila belum cukup hartanya.
Apalagi seorang anak yang pada hakikatnya tidak diwajibkan untuk menafkahi orang tuanya. Bila anak itu baru mampu untuk membiayai satu orang untuk pergi haji, tentu bukan menjadi kewajibannya untuk membiayai haji buat orang tuanya.
Semua ini berlaku manakala biayanya memang hanya cukup untuk satu orang saja. Adapun bila cukup untuk banyak orang, tentu akan lebih utama bila seorang anak memberikan biaya haji untuk orang tuanya dan juga keluarganya.
Wallahu a’lam bish-shawab
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Memaknai Ibadah Haji

Memahami makna ibadah haji, membutuhkan pemahaman secara khusus sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya, karena praktek-praktek ritual ibadah ini dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim as. Bersama keluarga beliau. Ibrahim as. dikenal sebagai “Bapak para Nabi”, juga “Bapak monotheisme,” serta “proklamator keadilan Ilahi” kepada beliaulah merujuk agama-agama samawi terbesar selama ini.
Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang mempengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tapi seperti tulis al-Akkad,
“Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as. Merupakan penemuan manusia yang terbesar dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, … yang itu dikuasai manusia, sedangkan penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tapi kesewenang-wenangan ini tak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim as. itu tetap menghiasi jiwanya … penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tak diketahuinya, berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya …”
“Kepastian” yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan tata kerja alam ini, tak dapat diperolehnya kecuali melalui keyakinan tentang ajaran Bapak monotheisme itu, karena apa yang dapat menjamin kepastian tersebut jika sekali Tuhan ini yang mengaturnya dan di lain kali tuhan itu?
Dengan demikian monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar hakikat keagamaan yang besar, tapi sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga lebih tepat, lebih teliti lagi, lebih meyakinkan. Apalagi Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu manusia, tapi Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang imanen sekaligus transenden, yang dekat dengan manusia, menyertai mereka semua secara keseluruhan dan orang per orang, sendirian atau ketika dalam kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga, pada saat kehidupannya, bahkan sebelum dan sesudah kehidupan dan kematiannya. Bukannya Tuhan yang sifat-sifat-Nya hanya monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat dihubungi mereka, tapi Tuhan manusia seluruhuya secara universal.
Ajaran Ibrahim as. atau “penemuan” beliau benar-benar merupakan suatu lembaran baru dalam sejarah kepercayaan dan bagi kemanusiaan, walaupun tauhid bukan sesuatu yang tak dikenal sebelum masa beliau, demikian pula keadilan Tuhan, serta pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua sampai masa Ibrahim bukan merupakan ajaran kenabian dan risalah seluruh umat manusia. Di Mesir 5.000 tahun lalu telah dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan, serta persamaan antara sesama manusia, tapi itu merupakan dekrit dari singgasana kekuasaan yang kemudian dibatalkan oleh dekrit penguasa sesudahnya.
Ibrahim datang mengumandangkan keadilan Ilahi, yang mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun kuatnya seseorang. Ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan seseorang yang paling lemah sekali pun, karena kekuatan si kuat diperoleh dari pada-Nya, sedangkan kelemahan si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut atau menganugerahkan kekuatan itu pada siapa saja sesuai dengan sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya.
Ibrahim hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan, antara kebolehan memberi sesajen yang dikorbankan berupa manusia, atau ketidakbolehannya dengan alasan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat mulia, melalui Ibrahim as. secara amaliah dan tegas larangan tersebut dilakukan, bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar untuk dikorbankan atau berkorban, tapi karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Putranya Ismail diperintahkan Tuhan untuk dikorbankan, sebagai pertanda bahwa apa pun –bila panggilan telah tiba wajar untuk dikorbankan demi karena Allah. Setelah perintah tersebut dilaksanakan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Tuhan dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya dengan domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pada manusia, maka praktek pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan.
Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencaharian dan pengalaman-pengalaman kerohanian yang dilaluinya dan hal ini secara agamis atau Qur’ani terbukti bukan saja dalam penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam, sebagaimana diuraikan dalam QS. al-An’am 6:75, Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. “, tapi juga dalam keyakinan tentang hari kebangkitan. (Menarik untuk diketahui bahwa beliaulah satu-satunya Nabi yang disebut al-Qur’an meminta pada Tuhan untuk diperlihatkan bagaimana caranya menghidupkan yang mati, dan permintaan beliau itu dikabulkan Tuhan, lihat, QS. al-Baqarah 2:260) dimana Allah swt berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu ?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah[165] semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”.
Demikian sebagian kecil dari keistimewaan Nabi Ibrahim, sehingga wajar jika beliau dijadikan teladan seluruh manusia, seperti ditegaskan al-Qur’an surah al-Baqarah 2:127.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Keteladanan tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk ibadah haji dengan berkunjung ke Makkah, karena beliaulah bersama putranya Ismail yang membangun (kembali) fondasi-fondasi Ka’bah (QS. al-Baqarah 2:127), dan beliau pulalah yang diperintahkan untuk mengumandangkan syari’at haji sebaggaimana firmanNYA Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus] yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (QS. al-Haj 22:27).
Keteladanan yang diwujudkan dalam bentuk ibadah tersebut dan yang praktek-praktek ritualnya berkaitan dengan peristiwa yang beliau dan keluarga alami, pada hakikataya merupakan penegasan kembali dari setiap jamaah haji, tentang keterikatannya dengan prinsip-prinsip keyakinan yang dianut Ibrahim, yang intinya adalah,
  1. Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari Allah swt.
  2. Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak.
  3. Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal lainnya.
Ketiga inti ajaran ini tercermin dengan jelas atau dilambangkan dalam praktek-praktek ibadah haji ajaran Islam. Tulisan ini akan menitikberatkan uraian menyangkut butir ketiga, walau pun disadari, keyakinan tentang keesaan Tuhan dan ketundukan semua makhluk di bawah pengawasan, pengaturan dan pemeliharaan-Nya, mengantar makhluk ini, khususnya manusia menyadari bahwa mereka semua sama dalam ketundukan pada Tuhan, manusia dalam pandangan al-Qur’an, sama dari segi ini dengan makhluk-makhluk lain, karena walau pun manusia memiliki kemampuan menggunakan makhluk-makhluk lain, namun kemampuan tersebut bukan bersumber dari dirinya, tapi akibat penundukan Tuhan dan karena itu ia tak dibenarkan berlaku sewenang-wenang terhadapnya, tapi berkewajiban bersikap bersahabat dengannya.
Keyakinan akan keesaan Tuhan juga mengantar manusia untuk menyadari, bahwa semua manusia dalam kedudukan yang sama dari segi nilai kemanusiaan, karena semua mereka diciptakan dan berada di bawah kekuasaan Allah swt.
Allah swt berfirman : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat 13) . Dalam ayat tsb menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan akan keesaan Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.
Ibadah haji dikumandangkan Ibrahim as. sekitar 3600 tahun lalu. Sesudah masa beliau, praktek-prakteknya sedikit atau banyak telah mengalami perubahan, namun kemudian diluruskan kembali oleh Muhammad saw. Salah satu hal yang diluruskan itu, adalah praktek ritual yang bertentangan dengan penghayatan nilai universal kemanusiaan haji.
Dalam Al-Qur’an difirmankan, Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang: (Surah al-Baqarah 2:199), dalam ayat tsb Allah menegur sekelompok manusia (yang dikenal dengan nama al-Hummas) yang merasa diri memiliki keistimewaan sehingga enggan bersatu dengan orang banyak dalam melakukan wuquf.
Mereka wukuf di Mudzdalifah sedang orang banyak di Arafah. Pemisahan diri yang dilatarbelakangi perasaan superioritas dicegah oleh al-Qur’an dan turunlah ayat tersebut diatas. “Bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tak jelas apakah praktek bergandengan tangan saat melaksanakan thawaf pada awal periode sejarah Islam, bersumber dari ajaran Ibrahim dalam rangka mempererat persaudaraan dan rasa persamaan. Namun yang pasti Nabi saw membatalkannya, bukan dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tapi karena alasan-alasan praktis pelaksanaan thawaf.
Salah satu bukti yang jelas tentang keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusiaan adalah isi khutbah Nabi saw pada haji wada’ (haji perpisahan) yang intinya menekankan: Persamaan; keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain; dan larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.
Pengamalan Nilai-nilai Kemanusiaan Universal
Makna kemanusiaan dan pengalaman nilai-nilainya tak hanya terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan dengan yang lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Bermula dari kesadaran akan fitrah atau jati dirinya serta keharusan menyesuaikan diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini.
Kemanusiaan mengantar putra-putri Adam menyadari arah yang dituju serta perjuangan mencapainya. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia adalah makhluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.
Makna-makna tersebut dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan kesemuanya pada akhirnya mengantar jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal. Berikut ini dikemukakan secara sepintas beberapa diantaranya.
Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut al-Qur’an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat Makany di tempat dimana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. “Di Miqat ini ada pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya. [2]
Di Miqat dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan atau seharusnya dipengaruhi jiwanya oleh pakaian ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang disisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain, kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.
Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Dilarang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata-mata bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.
Ketiga, Ka’bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana misalnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka’bah ini pernah berada dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu, namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah swt memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah swt dan usahanya untuk menjadi hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.
Keempat, setelah selesai melakukan thawaf yang menjadikan pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia lain, serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah swt dilakukanlah sa’i. Di sini muncul lagi Hajar, budak wanita bersahaja yang diperistrikan Nabi Ibrahim itu, diperagakan pengalamannya mencari air untuk putranya. Keyakinan wanita ini akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh, terbukti jauh sebelum peristiwa pencaharian ini, ketika ia bersedia ditinggal (Ibrahim) bersama anaknya di suatu lembah yang tandus, keyakinannya yang begitu dalam tak menjadikannya samasekali berpangku tangan menunggu turunnya hujan dari langit, tapi ia berusaha dan berusaha berkali-kali mondar-mandir demi mencari kehidupan. Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang arti harfiahnya adalah “kesucian dan ketegaran” [3] –sebagai lambang bahwa mencapai kehidupan harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran– dan berakhir di Marwah yang berarti “ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati dan memaafkan orang lain” [4].
Adakah makna yang lebih agung berkaitan dengan pengamalan kemanusiaan dalam mencari kehidupan duniawi melebihi makna-makna yang digambarkan di atas? Kalau thawaf menggambarkan larutnya dan meleburnya manusia dalam hadirat Ilahi, atau dalam istilah kaum sufi al-fana’ fi Allah maka sai’ menggambarkan usaha manusia mencari hidup –yang ini dilakukan begitu selesai thawaf– yang melambangkan bahwa kehidupan dunia dan akhirat merupakan suatu kesatuan dan keterpaduan. Maka dengan thawaf disadarilah tujuan hidup manusia. Setengah kesadaran itu dimulai sa’i yang menggambarkan, tugas manusia adalah berupaya semaksimal mungkin. Hasil usaha pasti akan diperoleh baik melalui usahanya maupun melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya air Zamzam itu.
Kelima, di Arafah, padang yang luas lagi gersang itu seluruh jamaah wuquf (berhenti) sampai terbenamnya matahari. Di sanalah mereka seharusnya menemukan ma’rifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula ia menyadari langkah-langkahnya selama ini, sebagaimana ia menyadari pula betapa besar dan agung Tuhan yang kepadaNya bersimpuh seluruh makhluk, sebagaimana diperagakan secara miniatur di padang tersebut. Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di padang ‘arafah untuk menjadi ‘arif atau sadar dan mengetahui. Kearifan apabila telah menghias seseorang, maka Anda akan, menurut Ibnu Sina, “Selalu gembira, senyum, betapa tidak senang hatinya telah gembira sejak ia mengenal-Nya, … di mana-mana ia melihat satu saja, … melihat Yang Maha Suci itu, semua makhluk di pandangnya sama (karena memang semua sama, … sama membutuhkan-Nya). Ia tak akan mengintip-ngintip kelemahan atau mencari-cari kesalahan orang, ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun karena jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang.
Keenam, dari Arafah para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan senjata menghadapi musuh utama yaitu setan, kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina dan di sanalah para Jamaah haji melampiaskan kebencian dan kemarahan mereka masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya.
Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah, apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan mengantarkan setiap pelakunya dalam lingkungan kemanusiaan yang benar sebagaimana dikehendaki Allah.
Oleh : M. Quraish Shihab
CATATAN KAKI
1. Lihat Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Al-’Aqaid Wa al-mazahib, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut 1978, h. 12-15.
2. Lihat lebih jauh Ali Syariati dalam Haji, penterjemah Anas Mahyuddin, Pustaka Bandung, 1983, h. 12.
3. Lihat al-Qurthuby dalam Tafsirnya al-jami’li Ahkam al-Qur’an, Dar al-Kitab al-Arabi, Cairo 1967, Jilid 11, h. 180.
4. Lihat Abdul Halim Mahmud, Al-tafkir al-falsafi fi ‘l-Islam, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, 1982. h. 430.

Rabu, 17 Oktober 2012

Pahala Membaca Shalawat

Pahala Membaca Shalawat

اَتاني ات من عند ربي عزوجل فقال من صلى عليك من امتك صلاة كتب الله له بها عشر حسنات ومحاعنه عشر سيئات ورفع له عشر درجات وردّ عليه مثلها (رواه احمد عن ابي طلحة)
"Telah datang kepadaku utusan dari Tuhanku Azza Wajalla dan berkata: "Barangsiapa membaca shalawat sekali kepadaku, Allah mencatat kepadanya sepuluh kebaikan, Allah menghapus kepadanya sepuluh kejelekan, Allah mengangkat kepadanya sepuluh derajat dan Allah memberikan balasan kepadanya dengan balasan yang setimpal" (HR. Ahmad dari Abi Tholhah).

Allah Swt. telah bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, kemudian Allah memerintahkan kepada para malaikat dan orang-orang mukmin agar membaca shalat kepada beliau (Al Ahzab: 56).
Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw, antara lain berfungsi:
1. Sebagai ibadah, karena melaksanakan perintah Allah Swt.
2. Sebagai doa atau permohonan semoga Allah Swt senantiasa mencurahkan rahmat dan keselamatan
    kepada Nabi Muhammad saw.
3. Sebagai balas budi orang mukmin kepada Nabi Muhammad Saw
4. Sebagai ungkapan syukur kepada Rasulullah saw atas jasa-jasanya kepada ummat manusia.
Perjuangan Rasulullah saw kepada ummatnya, pada garis besarnya ialah mengeluarkan manusia dari dlulumat=alam yang gelap gulita ila an nuur= menuju ke alam yang terang benderang.
Sungguh kita merasa bersyukur karena kita memiliki seorang pemimpin yang namanya terus menerus disebut namanya dalam kebaikan. Rasanya tidak ada sedetikpun yang orang tidak menyebut nama beliau.
Beberapa pahala yang dijanjikan Rasulullah saw dalam hadits di atas sebagai motivasi agar kita umatnya senantasa bershalawat kepadanya.***(diambil dari Rindang, Kanwil Depag jateng No. 07/Th.XXXV/Feb. 2010)

Selasa, 31 Juli 2012

PAHALA SETIAP MALAM SHALAT TARAWIH DARI 1 - 30 DAN KEUTAMAANNYA

Adapun pahala dari sholat Tarawih / tarawih malam pertama sampai tiga puluh (1 - 30 ) adalah :


Hadits diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib R.A, suatu hari Rasullullah SAW ditanya oleh sahabatnya, tentang keistimewaan shalat tarawih pada bulan Ramadan. Maka Rasullullah SAW bersabda; Siapa yang melaksanakan shalat tarawih pada :

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-1: Terlepaslah ia dari dosa-dosanya seperti ketika ia baru dilahirkan oleh ibunya.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-2 : Allah swt memberi pengampunan kepadanya dan kepada kedua orang tuanya jika keduanya mukmin (orang yang beriman)

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-3 : Malaikat berseru dari bawah Arsy ; mulailah beramal semoga allah swt mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-4 : Mendapatkan pahala sama dengan pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqon (al Quran)

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-5 : Allah memberi pahala kepadanya seperti pahala orang yang shalat di Masjid Alharam (masjidil haram) di Makkah,masjid Nabawi di Madinah dan masjid Al Aqsha di Palestina.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-6 : Allah akan memberi pahala seperti pahala orang yang tawaf di-baitul mamur, dan batu-batu serta tanah liat memohonkan ampun untuknya. (subhanallah sungguh luar biasa, batu dan tanah yang kita injak selama ini,ternyata bisa memintakan ampunan kepada Allah untuk kita).

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-7 : Seakan-akan dia berjumpa nabi Musa a.s kemudian menolongnya dari Kerajaan Firaun dan Hamman.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-8 : Allah memberikan kepadanya, apa yang pernah Allah berikan kepada Nabi Ibrahim a.s

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-9 : Dia menjadi seperti seorang hamba Allah yang beribadah kepadanya seperti ibadahnya seorang nabi.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-10 : Allah memberikan anugerah kepadanya,berupa kebaikan dunia dan kebaikan akhirat.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-11 : Maka ia akan meninggal dunia dalam keadaan seperti bayi yang baru lahir (meninggal dengan tanpa membawa dosa /husnul khotimah)

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-12 : Pada Hari Kiamat, Anda akan bangkit dengan muka cemerlang seperti bulan.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-13 : Pada Hari kiamat, Anda akan bebas dari ketakutan yang membuat manusia sedih.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-14 : Para malaikat memberi kesaksian shalat tarawih anda, dan Allah tidak menghisab anda lagi.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-15 : Anda akan menerima shalawat dari para malaikat, termasuk malaikat penjaga Arsy dan Kursi.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-16 : Anda akan mendapat tulisan “Selamat” dari Allah, anda bebas dari surga, dan lepas dari neraka.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-17 : Allah akan memberi pahala kepada anda sesuai pahala para nabi.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-18 : Malaikat akan memohon kepada Allah agar anda selalu mendapat restu.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-19 : Allah akan mengangkat derajat anda ke Firdaus (surga yang tinggi)

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-20 : Diberikan pahala kepada anda sesuai pahala para syuhada dan shalihin.

Pahala Sholat Tarawih Malam ke-21 : Allah akan membuatkan sebuah bangunan dari cahaya untuk anda disurga.
Pahala Sholat Tarawih Malam ke-22 : Anda akan merasa aman dan bahagia pada hari kiamat, karena Anda terhindar dari rasa takut yang amat sangat.
Pahala Sholat Tarawih Malam ke-23 : Allah akan membuat sebuah kota untuk Anda di dalam surga.
Pahala Sholat Tarawih Malam ke-24 : Allah akan mengabulkan 24 permohonan Anda selagi Anda masih hidup di dunia.
Pahala Sholat Tarawih Malam ke-25 : Anda akan bebas dari siksa kubur.
Pahala Sholat Tarawih Malam ke-26 : Allah akan derajat amal kebaikan Anda sebagaimana derajat amal kebaikan Anda selama 40 tahun.
Pahala Sholat Tarawih Malam ke-27 : Anda akan secepat kilat bila melewati Siratalmustakim nanti.
Pahala Sholat Tarawih Malam ke-28 : Anda akan dinaikkan 1.000 kali oleh Allah di dalam surga kelak.
Pahala Sholat Tarawih Malam ke-29 : Allah akan memberi pahala kepada Anda seperti Anda menjalani ibadah haji 1.000 kali yang diterima Allah.
Pahala Sholat Tarawih Malam ke-30 : Allah menyuruh kepada Anda untuk memakan semua buah di surga, minum air kausar, mandi air salsabila (air surga), karena Allah Tuhan Anda, dan Anda hamba Allah yang setia
Read more: http://konsultasisawit.blogspot.com/2011/08/pahala-sholat-tarawih-tarawih-malam.html#ixzz211YBmQkiEnam Keutamaan Bulan Ramadhan
Minggu, 15 Agustus 2010, 16:32 WIB

 RAMADHAN DAN KEUTAMAANNYA


Ramadhan adalah bulan berkah, bulan sejuta hikmah, dan bulan kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan. Pendek kata, beruntunglah orang-orang yang bertemu dengan Ramadhan dan bisa berbuat kebajikan di dalamnya. Kemuliaan dan keberkahan Ramadhan telah disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
“Wahai segenap manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa di siang harinya sebagai kewajiban, dan qiyam di malam harinya sebagai sunah. Barangsiapa menunaikan ibadah yang difardukan, maka pekerjaan itu setara dengan orang mengerjakan 70 kewajiban.
Ramadhan merupakan bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga. Ramadhan merupakan bulan santunan, bulan yang di mana Allah melapangkan rezeki setiap hamba-Nya. Barangsiapa yang memberikan hidangan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, maka akan diampuni dosanya, dan dibebaskan dari belenggu neraka, serta mendapatkan pahala setimpal dengan orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang berpuasa tersebut.” (HR Khuzaimah).\

Dari hadis di atas, ada beberapa keutamaan Ramadhan.
1.     Syahrul azhim (bulan yang agung). Azhim adalah nama dan sifat Allah. Namun, juga digunakan
        untuk    menunjukkan kekaguman terhadap kebesaran dan kemuliaan sesuatu. Ramadhan mulia dan
        agung, karena Allah sendiri telah mengagungkan dan memuliakannya.
2.    Syahrul mubarak. Bulan ini penuh berkah, berdayaguna dan bermanfaat. Detik demi detik, waktu
       yang berjalan pada bulan suci ini, ia bagaikan rangkaian berlian yang sangat berharga bagi orang
       beriman. Karena semuanya diberkahi dan amal ibadahnya dilipatgandakan.

3.     Syahru shiyam. Pada bulan Ramadhan dari awal hingga akhir kita menegakkan satu dari lima rukun
       (tiang) Islam yang sangat penting, yaitu shaum (puasa).

4.    Syahru nuzulil qur'an. “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai
       petunjuk bagi manusia, penjelasan bagi petunjuk, dan furqan (pembeda).” (Al-Baqarah [2]: 185).

5.    Syahrul musawwah (bulan santunan). Di bulan Ramadhan sangat dianjurkan bagi setiap Muslim
       untuk    saling bederma, berkasih sayang dengan sesamanya yang keadaannya jauh memprihatinkan
       daripada kita.

6.    Syahrus shabr (bulan sabar). Bulan Ramadhan melatih jiwa Muslim untuk senantiasa sabar tidak
       mengeluh dan tahan uji. Sabar adalah kekuatan jiwa dari segala bentuk kelemahan mental, spiritual,
       dan operasional. Orang bersabar akan bersama Allah sedangkan balasan orang-orang yang sabar
       adalah surga. Semoga semua bisa memanfaatkan momentum Ramadhan ini untuk memperbanyak
       ibadah kepada Allah. Amin.











Selasa, 01 Mei 2012


Berita Redaksi
Opini

FUNGSI MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH DI MUKA BUMI

ALLAH SWT menciptakan alam semesta dan menentukan fungsi-fungsi dari  setiap elemen alam ini. Mata hari punya fungsi, bumi punya fungsi, udara punya fungsi, begitulah seterusnya; bintang-bintang, awan, api, air, tumbuh-tumbuhan dan seterusnya hingga makhluk yang paling kecil masing-masing memiliki fungsi dalam kehidupan. Pertanyaan kita adalah apa sebenarnya fungsi manusia dalam pentas kehidupan ini? Apakah sama fungsinya dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan? atau mempunyai fungsi yang lebih istimewa ?
Bagi seorang atheis, manusia tak lebih dari fenomena alam seperti makhluk yang lain. Oleh karena itu, manusia menurut mereka hadir di muka bumi secara alamiah dan akan hilang secara alamiah. Apa yang dialami manusia, seperti peperangan dan bencana alam yang menyebabkan banyak orang mati, adalah tak lebih sebagai peristiwa alam yang tidak perlu diambil pelajaran atau dihubungkan dengan kejahatan dan dosa, karena dibalik kehidupan ini tidak ada apa-apa, tidak ada Tuhan yang mengatur, tidak ada sorga atau neraka, seluruh kehidupan adalah peristiwa alam. Bagi orang atheis fungsi manusia tak berbeda dengan fungsi hewan atau tumbuh-tumbuhan, yaitu sebagai bagian dari alam.
Bagi orang yang menganut faham sekuler, manusia adalah pemilik alam yang boleh mengunakannya sesuai dengan keperluan. Manusia berhak mengatur tata kehidupan di dunia ini sesuai dengan apa yang dipandang perlu, dipandang baik dan masuk akal karena manusia memiliki akal yang bisa mengatur diri sendiri dan memutuskan apa yang dipandang perlu. Mungkin dunia dan manusia diciptakan oleh Tuhan, tetapi kehidupan dunia adalah urusan manusia, yang tidak perlu dicampuri oleh agama. Agama adalah urusan individu setiap orang yang tidak perlu dicampuri oleh orang lain apa lagi oleh negara.
Agama Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu sebagai hamba Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia adalah kecil dan tak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi sebagai khalifatullah, manusia diberi fungsi sangat besar, karena Allah Maha Besar maka manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi memiliki tanggung jawab dan otoritas yang sangat besar.
Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan umat manusia, karena alam semesta memang diciptakan Tuhan untuk manusia. Sebagai wakil Tuhan manusia juga diberi otoritas ketuhanan; menyebarkan rahmat Tuhan, menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, menegakkan keadilan, dan bahkan diberi otoritas untuk menghukum mati manusia. Sebagai hamba manusia adalah kecil, tetapi sebagai khalifah Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai bagi manusia untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah dibanding binatang.
Fungsi Khalifah
Pada  dasarnya,  akhlak  yang  diajarkan   Alquran   terhadap lingkungan bersumber dari fungi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan  menuntut  adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan  mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam  pandangan  akhlak Islam,  seseorang  tidak  dibenarkan mengambil  buah  sebelum  matang,  atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Ini  berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua  proses yang sedang  terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga  ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.” Binatang, tumbuhan,  dan benda-benda  tak  bernyawa  semuanya diciptakan  oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Karena itu dalam Alquran ditegaskan bahwa :
Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan  burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan  umat-umat (juga)  seperti manusia...”  (QS. Al-An’am  [6] : 38)
Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran  bahwa  apapun  yang  berada  di  dalam  genggaman tangannya,   tidak lain   kecuali    amanat    yang    harus dipertanggungjawabkan. “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin yang berhembus di udara,  dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawabannya, manusia menyangkut pemeliharaan  dan pemanfaatannya”, demikian   kandungan  penjelasan  Nabi  Saw. tentang firman-Nya dalam Alquran
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kemikmatan (yang  kamu  peroleh).” (At-Takatsur, [102]:  8)
Dengan demikian  manusia bukan  saja  dituntut  agar tidak  alpa  dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.
Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu yang ditentukan” (QS Al-Ahqaf [46]: 3).
Pernyataan Allah ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan  kepentingan  diri  sendiri,  kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus  berpikir  dan bersikap  demi  kemaslahatan  semua pihak.  Ia  tidak  boleh bersikap  sebagai penakluk alam  atau  berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang,  istilah  penaklukan  alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani  yang beranggapan bahwa  benda-benda  alam  merupakan dewa-dewa yang memusuhi  manusia sehingga harus ditaklukkan.
Yang menundukkan alam menurut Alquran adalah  Allah.  Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 13)
Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya  tunduk  kepada  Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat. Aquran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad Saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad Saw. bahkan memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. “Nama” memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.
Ini berarti bahwa manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak  boleh  tunduk  dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda  itu. Ia tidak boleh diperbudak  oleh  benda-benda  itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga  mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apapun  asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.
Memanfaatkan Segala Potensi
Manusia merupakan khalifah di bumi ini, diciptakan oleh Allah dengan berbagai kelebihan dan kesempurnaan yang menyertainya. Kita diberi akal pikiran dan juga hawa nafsu sebagai pelengkapnya. Manusia telah diberikan berbagai fasilitas di muka bumi sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia. Semua yang kita perlukan telah terhampar di alam semesta, manusia hanya perlu mengelolanya saja.
Dalam kelangsungan hidup manusia terjadi berbagai perkembangan di dunia, semakin kompleksnya kebutuhan manusia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan terciptanya berbagai mesin-mesin dan berbagai alat komunikasi yang membantu meringankan kehidupan dan pekerjaan manusia. Didorong dengan nafsu keserakahannya, manusia hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, negara hanya berpikir untuk memajukan perekonomian dan pembangunan besar-besaran diberbagai sektor, tanpa memikirkan dampak lingkungan yang diakibatkan dari apa yang dilakukan manusia. Termasuk penduduk Indonesia perilakunya juga seperti itu, bisa dikatakan kepeduliannya sangat kecil terhadap lingkungan, ini tidak lepas dari tingkat kesadaran masyarakat dan juga desakan ekonomi yang juga menuntut masyarakat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya tanpa menghiraukan dampak lingkungan yang diakibatkan.
Kegiatan manusia di dunia ini banyak menimbulkan masalah bagi lingkungan, erosi tanah, polusi udara, banjir, tanah longsor, tanah yang hilang kesuburannya, hilangnya spesies-spesies dalam ekosistem, kekeringan, hilangnya biota-biota laut dan yang paling memprihatinkan adalah pemanasan suhu global, yaitu peristiwa pemanasan bumi yang disebabkan oleh peningkatan ERK (Efek Rumah Kaca) yang disebabkan oleh gas rumah kaca (GRK), seperti CO2, CH4, Sulfur dan lain-lain yang menyerap sinar panas atau menyebabkan terperangkapnya panas matahari (sinar infra merah). ERK (greenhouse effect) bukan berarti disebabkan oleh bangunan-bangunan yang berdinding kaca, tapi hanya merupakan istilah yang berasal dari para petani di daerah iklim sedang yang menanam tanaman di rumah kaca.
Global Warming sangat perlu diperhatikan oleh seluruh penduduk dunia, dan termasuk didalamnya penduduk Indonesia, dengan bersinergi menurunkan dan memperlambat peningkatan greenhouse effect. Langkah-langkah nyata harus dilakukan oleh masyarakat, karena sangat besarnya dampak yang diakibatkan oleh pemanasan global bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain yang hidup di bumi.
Kita ketahui Indonesia merupakan negara maritim. Pemanasan global yang saat ini terjadi akan memicu naiknya suhu atmosfer bumi, dan akan menaikkan permukaaan air laut, yang juga didukung oleh pencairan es di kutub bumi. Hal ini dapat memicu tenggelamnya negara kita, didahului dengan tenggelamnya ribuan pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia. Kalau pemanasan global tidak cepat ditanggulangi dan membiarkan kegiatan-kegiatan manusia yang tidak ramah dengan lingkungan, mungkin beberapa abad lagi negara kita akan tenggelam dan berakhirlah peradaban manusia di dunia.
Seiring pertumbuhan penduduk yang cenderung tidak dapat dikendalikan dan selalu menunjukkan peningkatan. Hal ini juga terjadi di Indonesia, akan memicu naiknya kebutuhan-kebutuhan manusia seperti pangan, tempat tinggal, listrik, BBM dan banyak kebutuhan lainnya. Kesemuanya itu akan meningkatkan kebutuhan manusia akan lahan-lahan yang digunakan untuk produksi pertanian, perkebunan, pertambangan, tempat tinggal, jalan-jalan dan fasilitas umum. Hal ini tidak bisa dipungkiri, dan akhirnya terjadilah penebangan pohon-pohon dan hutan untuk memenuhi kebutuhan untuk bahan baku industri tanpa menghiraukan dampak lingkungan yang akan diderita.
Ini  berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua  proses yang sedang  terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga  ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.” Binatang, tumbuhan,  dan benda-benda  tak  bernyawa  semuanya diciptakan  oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan ummat manusia, karena alam semesta memang diciptakan Allah untuk manusia. Sebagai hamba manusia adalah kecil, tetapi sebagai khalifah Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai bagi manusia untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah dibanding binatang.

Takwa dalam Al-Quran1

Orang yang takwa dalam Al-Quran adalah manusia ideal, kekasih Tuhan. “Ketahuilah, sungguh para kekasihnya itu adalah orang-orang yang takwa” (Al-Anfal 8:34) Ibadat diwajibkan agar orang menjadi takwa. Derajat manusia ditentukan oleh ketakwaannya. Sebagian arifin berkata: Sesungguhnya kebaikan dunia dan akhirat dihimpunkan dalam satu kata- takwa. Karena itu, banyak ayat Al-Quran yang menjanjikan segala kebaikan “duniwai dan ukhrawi, lahir dan batin- untuk orang yang takwa. Sayyid Qasim Syubbar1, secara singkat mendaftar 12 keutamaan orang takwa:
  1. Pujian dan penghargaan dari Allah swt: Jika kamu bersabar dan bertakwa maka demikian itu termasuk perkara yang sangat menentukan (Ali Imran 3:186).
  2. Penjagaan dan pemeliharaan: Jika kamu bersabar dan bertakwa, tidak akan memperdayakan kamu tipuan mereka sedikit pun (Ali Imran 3:120).
  3. Bantuan dan pertolongan: Sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang takwa (Al-Nahl 128).
  4. Jalan keluar dari segala kesulitan dan rezeki yang halal: Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, Allah jadikan baginya jalan keluar dan Allah beri dia rezeki dari tempat yang tidak terduga (Al-Thalaq 2,3)2.
  5. Memperbaiki amal: Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlan ucapan yang benar. Nanti Allah memperbaiki amal-amal kamu (Al-Ahzab 33:70-71).
  6. Ampunan dosa: Setelah ayat di atas “dan mengampuni dosa-dosa kamu”
  7. Memperoleh dan memastikan kecintaan Allah: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa (Al-Tawbah 4,7).
  8. Amal-amal diterima: Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa (Al-Maidah 27).
  9. Kemuliaan dan ketinggian derajat: Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa (Al-Hujurat 13).
  10. Diberikan kabar gembira di dunia dan di akhirat: Orang-orang yang beriman dan keadaan mereka bertakwa. Bagi mereka kabar gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat (Yunus 63-64).
  11. Keselamatan dari neraka: Kemudian kami akanmenyelamatkan orang-orang yang bertakwa danmembiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut (Maryam 19:68).
  12. Kekekalan di surga: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Allah dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (Ali Imran 3:133).
Saya ingin menambahkan lima keutamaan lainnya yang dianugrahkan Tuhan bagi orang yang bertakwa:
Bantuan gaib berupa kedatangan malaikat: Ya, bila kamu bersabar dan bertakwa dan mereka menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda (Ali Imran 3:125).
Kemudahan dalam berbagai urusan: Maka barangsiapa yang memberikan hartanya dan bertakwa; dan membenarkan pahala yang terbaik; maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (Al-Layl 92: 5-7). Dibukakan keberkahan dari langit dan bumi: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf 96).
Tidak takut dan tidak berdukacita: “Sebahagian diberinya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Al-A’raf 30).
Diberikan ilmu dan pemisah antara benar dan salah: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Anfal 29); “Dan bertakwalah kepada Allah, Allah akan mengajarimu. Dan Allah MahaMengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah 282).
Dibukakan keberkahan dari langit dan bumi: Jika sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa kami bukakan pintu keberkahan dari langit dan bumi (Al-A’raf 7:96).
Karena begitu mulianya orang yang takwa, Tuhan memberikan banyak penjelasan dalam Al-Quran berkenaan dengan karakteristik takwa. Takwa tidak diambangkan menjadi kata abstrak yang penafsirannya diserahkan kepada definisi para ulama. Paling tidak, dalam empat tempat dalam Al-Quran3 Tuhan memperinci makna takwa, hampir-hampir sangat operasional.
Karakteristik Orang Bertakwa dalam Al-Quran

Sangat menakjubkan bahwa ayat-ayat pertama yang menjelaskan karakteristik takwa dalam Al-Quran adalah ayat-ayat yang paling komprehensif. Ayat-ayat lainnya hanya memberikan penjelasan tambahan. Karena itu, pembahasan dalam makalah ini dipusatkan pada tafsir al-Baqarah 2:1-4:
Alif Lam Mim
Kitab al-Quran ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang takwa,
Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib yang mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang kami anugrahkan kepada mereka
Dan mereka yang beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat
Dari rangkaian ayat di atas kita dapat menyebutkan tiga karakteristik utama manusia takwa: keimanan kepada yang gaib, hubungan akrab dengan Tuhan, dan perkhidmatan kepada manusia.4
Keimanan kepada yang gaib. Seluruh perilaku orang yang bertakwa ditegakkan di atas sebuah pandangan dunia, worldview, bahwa di balik dunia yang material ini ada dunia yang lebih luas lagi. Tidak ada makna apa pun bagi perbuatan manusia yang baik seperti salat, zakat, dan kebajikan lainnya tanpa pijakan pada keyakinan akan yang gaib. Bahkan keimanan kepada Tuhan sekali pun harus dimulai dengan pandangan dunia ini. Peringatan Tuhan -dan petunjuk Tuhan- hanya akan diterima oleh orang yang percaya kepada yang gaib: Sungguh telah kami berikan kepada Musa, Harun, furqan, dan penerangan serta peringatan bagi orang yag bertakwa; yakni, orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka berdasarkan keimanan kepada yang gaib dan mereka merasa takut akan tibanya hari kiamat (Al-Anbiya 21:48-49); Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya berdasarkan keimanan kepada yang gaib dan mendirikan salat dan barangsiapa mensucikan dirinya sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri dan kepada Allah-lah kembalimu (Fathir 35:18); Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yamg mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah berdasarkan keimanan kepada yang gaib. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia (Yasin 36:11); Yaitu orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah berdasarkan keimana kepada yang gaib dan dia datang denga hati yang bertaubat. (Qaf 50:33).
Dr Muhammad Shadiqi5 menjelaskan “orang-orang yang beriman kepada yang gaib” sebagai berikut:
Iman secara harfiah berarti meletakkan dirimu dalam ketenangan dan ketentraman. Kehidupan dunia dan segala perhiasannya selalu berubah dan berakhir dengan kebinasaan. Beriman kepada kehidupan dunia saja akan menambah kecemasan dan kegelisahan. Sedangkan keimanan kepada yang gaib- kegaiban uluhiah hari akhir dan wahyu- adalah keimanan yang menentramkan manusia yang memberikannya ketenangan dari segala kecemasan: ketahuilah dengan zikir kepada Allah hati menjadi tentram
Percaya kepada yang gaib artinya keimanan kepada yang gaib dari panca indra mereka berupa hal-hal yang mengharuskan kita mempercayiannya seperti kebangkitan, perhitungan, surga, neraka, tauhid dan semua hal yang tidak diketahui dengan kesaksian tetapi diketahui dengan petunjuk (dalil-dalil)
Keimanan kepada yang gaib dari panca indra hewani adalah hal yang membedakan manusia dari binatang yang lain di atas alat indrannya manusia mempunyai akal. Dengan akallah dia mengetahui apa yang tidak diketahui alat indra. Sesungguhnya akal dan alat indra bekerja sama untuk membenarkan yang gaib dari panca indra sebagimana keduanya juga bekerja sama dalam pengetahuan empiris. Pengetahuan indra saja tidak mencukupi walaupun untuk pengetahuan empiris. Begitu pula semata-mata akal tidak cukup bahkan untuk membenarkan yang gaib sekalipun kecuali sedikit saja.
Membatasi persepsi hanya kepada alat-alat indra saja sangat reduksionis. Membatasi pada akal saja terlalu berlebihan. Karena itulah kita melihat ayat-ayat yang menghimpun antara akal dan indra untuk mencapai keimanan kepada yang gaib; berdasarkan petunjuk ayat-ayat yang indrawi dan ayat-ayat diri yang tidak indrawi: akan kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat kami di alam semesta dan dalam diri mereka sampai jelaslah bagi mereka bahwa Dia itu benar (41:53)
Tafsir al-Shadiqi ini mengingatkan kita pada konsep evolusi manusia dari Gary Zukav6. Ia membedakan antara “five-sensory humana” dan “multisensory human”:
We are evolving from five-sensory humans into multisensory humans. Our five senses, together, form a single sensory system that designed to perceive physical reality. The perception of multisensory human extend beyond physical reality to the larger dynamical systems of which our physical reality is a part. The multisensory human is able to perceive and to appreciate, the role that our physical reality plays in a larger picture of evolution, and the dynamic by which our physical reality is created and sustained. This realm is invisible to the five-sensory human.
It is in this invisible realm that the origins of our deepest values are found. From the perspective of this invisible realm, the motivations of those who consciously sacrifice their lives for higher purposes makes sense, the power of Gandhi is explicable, and the compassionate act of the Christ are comprehensible in a fullness that is not accessible to the five sensory human…
From the perception of the five sensory human, we are alone in a universe that is physical. From the perception of the multisensory human, we are never alone, and the Universe is alive, conscious, intelligent, and compassionate. From the perception of the five sensory human, the physical world is an unaccountable given in which we unaccountably find ourselves, and we strive to dominate it so that we can survive. From the perception of the multisensory human, the physical world is a learning environment that is created jointly by the souls that share it, and everything that occurs within it serves their learning.
1 Sayyid Qasim Syubbar. Al-Mu’minun fi Al-Quran. 1:45. Qum: Muassasah al-Nasyr akl-Islami, 1411.
2 Rasulullah saw berpesan kepada Abu Dzar: Sekiranya manusia mengambil ayat ini cukuplah itu bagi mereka. Dalam hadis lain, Nabi menjelaskan bahwa meberikan “jalan keluar” artinya dari segala kesulitan dunia dan akhirat ( Lihat Syubbar, ibid.).
3 Al-Baqarah 2:1-4; Al-Baqarah 2:177; Ali Imran 3: 133-136; Al-Dzariat 51:17.
4 Sayyid Kamal Faghih Imani et al. An Enlightening Commentary into the Light of The Holy Quran. Isfahan: Imam Ali Public Library, 1999. I:76-85, menyebutkan ketiganya dengan kata-kata: Faith in The Unseen, Relationship with Allah and Relationship with People
5 Muhammad Shadiqi. Al-Furqan fi Tafsir Al-Quran bi Al-Quran wa al-Sunnah. Teheran: Farhangg-Islami, 1406. I: 171.
6 Gary Zukav. The Seat of the Soul. New York: Simon and Schuster, 1990, hlm 27-

PENGERTIAN IMAN MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH. [IMAN DAPAT BERTAMBAH ATAU BERKURAN

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Bagaimana pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah .? Apakah Iman itu bisa bertambah atau berkurang .?"

Jawab.
Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah ; ikrar dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi, Iman itu mencakup tiga hal :

[1] Ikrar dengan hati.
[2] Pengucapan dengan lisan.
[3] Pengamalan dengan anggota badan

Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim 'Alaihis Sallam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah dalam Al-Qur'an.

"Arrtinya : Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman : 'Apakah kamu belum percaya'. Ibrahim menjawab :'Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya". [Al-Baqarah : 260]

Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat di dalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.

Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.

Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.

Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.

Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya". [Al-Mudatstsir : 31]

"Artinya : Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata :'Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?'. Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir". [At-Taubah : 124-125]

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.

Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah ? Ada beberapa sebab, di antaranya.

[1]. Mengenal Allah (Ma'rifatullah) dengan nama-nama (asma') dan sifat-sifat-Nya. Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma' Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya dari pada yang lain.

[2]. Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar'iyah. Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta'ala berfirman. :

"Artinya : Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan" [Adz-Dzariyat : 20-21].

Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah.

[3]. Banyak melaksanakan ketaatan. Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi'liyah. Berdzikir -umpamanya- akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.

Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu :

[1]. Jahil terhadap asma' Allah dan sifat-sifat-Nya. Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari'fatullah seseorang tentang asma' dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.

[2]. Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar'iyah. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.

[3]. Berbuat maksiat. Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :"Artinya : Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman". [Al-Hadits].

[4]. Meninggalkan ketaatan. Meninggalkan keta'atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa. Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu ketika sedang haid, bahkan memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki, maka jelas akan mengurangi keimannya dari sisi yang satu ini.


[Disalin dari kitab Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, edisi Indonesia Soal-Jawab Masala

METODE DA’WAH SECARA LANGSUNG





A. Pendahuluan

Setiap kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata da'wah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.

Syaikh Ali Mahfuzh -murid Syaikh Muhammad Abduh- sebagai pencetus gagasan dan penyusunan pola ilmiah ilmu da'wah memberi batasan mengenai da'wah sebagai: "Membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat ma'ruf dan maencegah dari perbuatan yang munkar, supaya mereka memperoleh keberuntungan kebahagiaan di dunia dan di akhirat."

Da'wah adalah usaha penyebaran pemerataan ajaran agama di samping amar ma'ruf dan nahi munkar. Terhadap umat Islam yang telah melaksanakan risalah Nabi lewat tiga macam metode yang paling pokok yakni da'wah, amar ma'ruf, dan nahi munkar, Allah memberi mereka predikat sebagai umat yang berbahagia atau umat yang menang .

Kata da'wah sering dirangkaikan dengan kata "Ilmu" dan kata "Islam", sehingga menjadi "Ilmu da'wah" dan Ilmu Islam" atau ad-da'wah al-Islamiyah.

Yang dimaksud Ilmu da'wah adalah suatu ilmu yang berisi cara-cara dan tuntunan untuk menarik perhatian orang lain supaya menganut, mengikuti, menyetujui atau melaksanakan suatu ideologi, agama, pendapat atau pekerjaan tertentu. Orang yang menyampaikan da'wah disebut da'i sedangkan yang menjadi obyek da'wah disebut mad'u. Setiap Muslim yang menjalankan fungsi da'wah Islam adalah da'i.

Adapun mengenai tujuan da'wah, yaitu: pertama, mengubah pandangan hidup. Dalam QS. Al Anfal: 24 di sana di siratkan bahwa yang menjadi maksud dari da'wah adalah menyadarkan manusia akan arti hidup yang sebenarnya. Hidup bukanlah makan, minum dan tidur saja. Manusia dituntut untuk mampu memaknai hidup yang dijalaninya.

Kedua, mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju terang-benderang. Ini diterangkan dalam firman Allah: "Inilah kitab yang kami turunkan kepadamu untuk mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada terang-benderang dengan izin Tuhan mereka kepada jalan yang perkasa, lagi terpuji." (QS. Ibrahim: 1).

Selain itu da’wah juga untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridlai oleh Allah Swt. Nabi Muhammad Salallaahu 'alaihi wa salam mencontohkan da'wah kepada ummatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan. Dimulai dari istrinya, keluarganya, dan teman-teman karibnya hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau risalah Nabi Saw adalah kaisar Heraclius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kista dari Persia(Iran) dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia).

Suatu kaum yang senantiasa berpegang teguh pada prinsip ber-amar ma'ruf nahi munkar akan mendapatkan balasan dan pahala dari Allah Swt. yang antara lain berupa:

1. Ditinggikan derajatnya ke tingkatan yang setinggi-tingginya (QS. Ali Imran: 110).
2. Terhindar dari kebinasaan sebagaimana dibinasakannya Fir'aun beserta orang-orang yang berdiam diri ketika melihat kedzalimannya.
3. Mendapatkan pahala berlipat dari Allah sebagaimana sabda Nabi Saw.: "Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun".
4. Terhindar dari laknat Allah sebagai mana yang terjadi pada Bani Isra'il karena keengganan mereka dalam mencegah kemunkaran. (QS. Al-Maidah: 78-79).

Secara prinsipil seorang Muslim dituntut untuk tegas dalam menyampaikan kebenaran dan melarang dari kemunkaran. Rasul Saw. bersabda: "Barang siapa di antara kamu menjumpai kemunkaran maka hendaklah ia rubah dengan tangan (kekuasaan)nya, apabila tidak mampu hendaklah dengan lisannya, dan jika masih belum mampu hendaklah ia menolak dengan hatinya. Dan (dengan hatinya) itu adalah selemah-lemahnya iman". Hadits ini memberikan dorongan kepada orang Muslim untuk ber-amar ma'ruf dengan kekuasaan dalam arti kedudukan dan kemampuan fisik dan kemampuan finansial. Amar ma'ruf dan khususnya nahi munkar minimal diamalkan dengan lisan melalui nasihat yang baik, ceramah-ceramah, ataupun khutbah-khutbah, sebab semua.

Muslim tentunya tidak ingin bila hanya termasuk di dalam golongan yang lemah imannya.Da'wah dan amar ma'ruf nahi munkar dengan metode yang tepat akan menghantarkan dan menyajikan ajaran Islam secara sempurna. Metode yang di terapkan dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar tersebut sebenarnya akan terus berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat yang dihadapi para da'i. Amar ma'ruf dan nahi munkar tidak bertujuan memperkosa fitrah seseorang untuk tunduk dan senantiasa mengikuti tanpa mengetahui hujjah yang dipakai, tetapi untuk memberikan koreksi dan membangkitkan kesadaran dalam diri seseorang akan kesalahan dan kekurangan yang dimiliki.

Ketegasan dalam menyampaikan amar ma'ruf dan nahi munkar bukan berarti menghalalkan cara-cara yang radikal. Implementasinya harus dengan strategi yang halus dan menggunakan metode tadarruj (bertahap) agar tidak menimbulkan permusuhan dan keresahan di masyarakat. Penentuan strategi dan metode amar ma'ruf nahi munkar harus mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang dihadapi. Jangan sampai hanya karena kesalahan kecil dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar justru mengakibatkan kerusakan dalam satu umat dengan social cost yang tinggi.

Dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar hendaknya memperhatikan beberapa poin yang insya Allah bisa diterapkan dalam berbagai bentuk masyarakat:

1. Hendaknya amar ma'ruf nahi munkar dilakukan dengan cara yang ihsan agar tidak berubah menjadi penelanjangan aib dan menyinggung perasaan orang lain. Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Musa dan Harun agar berbicara dengan lembut kepada Fir'aun (QS. Thaha: 44).
2. Islam adalah agama yang berdimensi individual dan sosial, maka sebelum memperbaiki orang lain seorang Muslim dituntut berintrospeksi dan berbenah diri, sebab cara amar ma'ruf yang baik adalah yang diiringi dengan keteladanan.
3. Menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar disandarkan kepada keihklasan karena mengharap ridla Allah, bukan mencari popularitas dan dukungan politik.
4. Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan menurut Al-Qur'an dan Al-Sunnah, serta diimplementasikan di dalam masyarakat secara berkesinambungan.

Dalam menyampaikan da'wah amar ma'ruf nahi munkar, para da'i dituntut memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, baik kepada Allah maupun masyarakat dan negara. Bertanggung jawab kepada Allah dalam arti bahwa da'wah yang ia lakukan harus benar-benar ikhlas dan sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh Al Qur'an dan Sunnah. Bertanggung jawab kepada masyarakat atau umat menganduang arti bahwa da'wah Islamiyah memberikan kontribusi positif bagi kehidupan sosial umat yang bersangkutan. Bertanggung jawab kepada negara mengandung arti bahwa pengemban risalah senantiasa memperhatikan kaidah hukum yang berlaku di negara dimana ia berda'wah. Jika da'wah dilakukan tanpa mengindahkan hukum positif yang berlaku dalam sebuah negara, maka kelancaran da'wah itu sendiri akan terhambat dan bisa kehilangan simpati dari masyarakat.

Dalil

Adalah keterangan yang dijadikan bukti atau alasan sesuatu kebenaran. Dalam Islam (ilmu matiq) dikenal dua macam dalil, yakni dalil naqli yang bersumber dari Al-Qur'an dan as-Sunnah dan dalil aqli, yaitu dalil yang berdasarkan hukum akal(logika), analisa akal dan pembahasan ilmu pengetahuan.Kata dalil juga boleh diartikan kaidah, patokan dalam suatu pembahasan, saranan, dan sebagai kaidah yang harus diterapkan kebenarannya dalam ilmu pasti.

Dalil-dalil Naqli yang berasal dari ayat-ayat al-Qur'an semuanya berstatus sebagai dalil-dalil ang qat'i al-wurud, artinya sudah diyakini merupakan wahyu Allah swt yang terpelihara dari campur tangan manusia. Sedangkan dalil aqli yaitu dalil-dalil yang diperoleh melalui proses penalaran akal(ijtihad). Ijtihad ini adakalanya dilakukan dengan membandingkan segi persamaan ('illat) yang terdapat pada suatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya dengan berbuatan lain yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam dalil naqli(kias). Ijtihad biasanya dilakukan dengan memperhatikan ruh tasyri'(jiwa atau semangat hukum), kemaslahatan umum, dan sebagainya.

B. Kewajiban Da’wah

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hubungan manusia dengan manusia yang lainnya. Sehingga individu dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat . Tidak ada satupun agama ataupun ideologi lain yang memiliki aturan seperti itu apalagi menandinginya. Rosulullah SAW telah menjelaskan hubungan individu dengan masyarakat ini melalui sabdanya :

“ Perumpamaan orang yang menjaga dan menerapkan batas ( peraturan ) Allah adalah laksana kelompok penumpang kapal yang mengundi tempat duduk mereka . Sebagian mereka mendapat tempat dibagian atas dan sebagian lain dibagian bawah, jika mereka membutuhkan air maka harus berjalan melewati bagian atas kapal. Maka merekapun berujar,” bagaimana jika kami lubangi saja bagian bawah kapal ini (untuk mendapatkan air), toh hal itu tidak menyakiti orang yang berada dibagian atas”. Jika kalian biarkan mereka berbuat menuruti keinginan mereka itu, maka binasalah mereka dan seluruh penumpang kapal itu. Tetapi jika kalian cegah mereka, maka selamatlah mereka dan seluruh penumpang yang lain”. (HR. Bukhari)

Dari hadist diatas Rasulullah menunjukkan bagaimana keterpaduan individu dan masyarakat, dimana individu berbuat untuk kemaslahatan masyarakat dan masyarakat berbuat untuk menjaga individu. Oleh karena itu jika masyarakat melakukan kemaksiatan seperti syirik kewajiban kitalah yang mengerti agama islam ini dengan kaffah menjaga mereka dari api neraka yaitu caranya dengan berdakwah.

Dulu ketika Rosulullah SAW diangkat sebagai utusan Allah SWT, Beliau menyebarkan islam dengan cara berdakwah baik secara sembunyi – sembunyi (karena pada waktu itu kaum Quraisy masih sangat kuat sedangkan Rosul tidak punya kekuatan untuk melawannya) maupun terang – terangan . Beliau berusaha untuk menyebarkan agama islam ini keseluruh penjuru dunia, setelah Beliau wafat diteruskan oleh Kulafaur Rasyidin kemudian diteruskan oleh para ulama’. Namun zaman sekarang ini yaitu zaman modernisasi, aturan - aturan agama islam semakin mengikis, dengan pengikisan aturan agama ini sehingga negara – negara yang penduduknya sebagian besar islam akan hancur karena mereka mengikuti aturan –aturan dari barat. Contohnya negara kita sendiri meskipun 87% penduduk negara kita adalah islam namun seks bebas dimana-mana sehingga AIDS menyebar dengan cepat dan dengan sangat bangga kita merupakan negara korupsi urutan ke 3 sedunia. Selain itu Rosulullah SAW juga bersabda bahwa orang-orang islam pada suatu masa akan tunduk kepada orang-orang kafir . Dalam kenyataannya hadist Rosul itu dapat terbukti, dulu orang islam ditakuti orang kafir namun sekarang orang kafir ditakuti orang islam misalnya Arab Saudi yang merupakan negara islam dan tempat dilahirkannya Rosulullah sekarang tunduk kepada negara AS dan ketika Irak di serang oleh AS tanpa ada sebab orang muslim sedunia tidak membantu orang muslim yang ada di Irak. Dan sekarang bagaimana dengan nasib islam nantinya?

C. Penyakit-penyakit Da'i

Adalah bentuk hambatan yang dialami juru dakwah(da'i) sehingga berakibat mengganggu aktivitinya sebagai muballigh. Di antara bentuk-bentuk penyakit tersebut adalah:

1. Futuur

Penyakit hati (ruhani) yang melanda juru da'wah dari yang semula giat dan bersemangat, menjadi lemah dan kehilangan gairah. hal-hal yang menyebabkan juru da'wah terserang penyakit ini adalah: (1) Sikap berlebihan yang tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi baik fizikal, kesihatan maupun spritual; (2) Tidak mengawal hal-hal yang mubah, seperti makan minum, tidur dan beraktivitas seksual sehingga nafsu berkuasa; (3) Memisahkan diri dari Jamaah; (4) Kurang mengingat kematian; (5) lalai dalam beribadah.

2. Isti'jal

Jenis penyakit juru da'wah yang ingin mencapai perubahan atas realiti yang dialami kaum muslimin dalam waktu yang sesingkat-singkatnya tanpa memperhatikan lingkungan, akibat, dan tanpa melihat kenyataan, juga tanpa persiapan yang cukup sebelumnya baik sistem maupun sarana. Dengan kata lain, Isti'jal merupakan cara-cara da'wah yang menginginkan hasil yang maksimal dengan waktu yang sesingkat mungkin.

D. Macam-macam Metode Da’wah secara Langsung

1. Metode Dakwah Walisongo

Secara konseptual metode dakwah walisongo biasa disebut dengan istilah ”Mau’izatul hasanah wa mujahadah billati hiya ahsan.” Metode ini biasa digunakan untuk tokoh-tokoh khusus (pemimpin), misalnya para bupati, adipati, para raja, maupun para tokoh-tokoh masyarakat setempat. Dasar metode ini adalah QS An-Nahl (16) : 125, yang artinya :”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Para tokoh khusus itu diperlakukan secara personal, dihubungi secara istimewa. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman tentang islam, peringatan-peringatan secara lemah lembut, tukar pikiran dari hati ke hati dan penuh toleransi. Ini yang dimaksud Mau’izatul Hasanah. Namun apabila cara tersebut belum juga berhasil, barulah menggunakan cara berikutnya, yakni Al Mujadalah billati hiya ihsan.

Cara kedua ini diterapkan kepada tokoh yang secara terus terang menunjukkan sikap kurang setuju terhadap islam. Rangkain cara ini bisa dilihat ketika Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan kawan-kawan berdakwah kepada Arya Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijakan Raden Rahmat, maka Arya Damar kemudian masuk islam bersama istrinya. Dan tak lama kemudian diikuti pula oleh hampir segenap anak negerinya.

Demikian pula halnya ketika beliau berdakwah terhadap Prabu Brawijaya. Ketika mendengar wejangan yang demikian bagus dari Sunan Ampel, sesunggunya terasa sulit bagi Prabu Brawijaya untuk menolak. Tapi karena beliau berkedudukan sebagai raja, tentu banyak pertimbangan yang membuatnya tidak mudah begitu saja menerima pendapat orang lain, terutama dalam hal keagamaan. Meski repot mengelak, akhir nya beliau menolak secara halus, dengan alasan bahwa sebagai raja dia terikat adat kebiasaan kerajaan dan tradisi rakyatnya tidak bisa diabaikan begitu saja.

Namun lain halnya dengan sang permaisuri yang tidak mempunyai beban berat. Prabu tidak keberataan bila permaisuri memang berkehendak masuk Islam.

Metode seperti ini digunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah kepada Adipati Pandanarang di Semarang. Pada mulanya terjadi perdebatan seru, dan perdebatan itu berakhir dengan tunduknya Adipati untuk masuk Islam. Ia sangat terkesan dengan anjuran Sunan Kalijaga tentang peri kesopanan (akhlaq). Bahkan saking tertariknya dengan Sunan Kalijaga, maka dia rela mengorbankan pangkat dan keduniaan, harta dan keluarganya demi menuruti syarat-syarat yang diajukan Sunan Kalijaga agar dapat diteriama sebagai murid untuk berguru ilmu keislaman.

Lain halnya dengan Sunan Kudus. Beliau ini berdakwah dengan lembunya yang dihias istimewa. Diberitakan bahwa Sunan Kudus pernah mengikat seekor lembu di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang diperlakukan istimewa itu. Setelah mereka datang berkerumun di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini sangat praktis dan strategis. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang ke ramat bagi umat Hidu. Menyaksikan bahwa lembu tidak dihinakan oleh Sunan Kudus,

terbitlah niat dan simpati masyarakat penganut Hindu. Berangkat dari titik perhatian inilah masyarakat kemudian berhasil diislamkan.

Metode tadarruj atau tarbiyatul ummah dipergunakan sebagai proses pengelompokan yang disesuaikan dengan tahap pendidikan ummat. Agar ajaran islam dapat dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat secara merata. Maka tampaklah metode yang ditempuh walisongo didasarkan pada pokok pikiran ‘li kulli maqam maqat’, yakni memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat ada tingkat, bidang materi dan kurikulumnya. Begitu pula saat menyampaikan ajaran fiqih yang ditujukan terutama bagi masyarakat awam dengan jalan pesantren dan melalui lembaga sosial.

Metode lembaga ssosial melalui pendidikan sosial atau usaha kemasyarakatan diupa yakan agar ajaran-ajaran islam bersiat praktis (mudah diterapkan) dapat menjadi tradisi yang memungkinkan terciptanya adat islami dan bersifat normatif. Dengan begitu diharapkan ajaran islam secara sadar atau tidak sadar masyarakaat telah menjalankan ajaran serta amalan yang islami, karena memang sudah menjadi adat istiadat. Misalnya, menjadikan masjid sebagai lembaga pendidikan, merayakan upacara kelahiran, pernikahan, kematian, khitanan, dll.

Sesuai karakter yang termuat di dalamnya, maka ilmu kalam atau tauhid disampaikan sebagai taklim (pengajaran) melaliu pesantren. Sedang penyampaiannya kepada masyarakat ditempuh melalui cerita-cerita wayang. Untuk keperluan itu, maka diciptakan lakon Dewa Ruci, Jimaat Kalima Sada, dan dikarang pula buku-buku bacaan umum, misalnya Kitab Ambiyo (kitab Al Anbiyaa), berisi kisah para nabi.

Selanjutnya ilmu tasawuf, yang oleh Sunan Bonang disebut sebagai ilmu suluk. Ilmu ini di sampaikan melalui wirid, yaitu pengajaran dengan wejangan, tertutup dan sangat ekslusif. Tempat dan waktunya ditentukan. Ilmu ini hanya disediakan untuk orang-orang tertentu yg sudah memiliki dasar yang diperlukan untuk laku tasawuf. Ketentuan ini di samping atas suatu kelaziman karena tasawuf merupakan ilmu lanjut yang dengan sendirinya menuntut suatu ilmu dasar, juga demi menjaga salah paham, salah pengertian dan salah penggunaan terhadap ilmu ini. Contoh masalah ini adalah ketika Raden Fatah menyatakaan keinginan untuk berguru kepada Sunan Ampel, maka Raden Fatah ditanya lebih dulu apakah sudah memiliki dasar. Dan karena ternyata Raden Fatah memilikinya, maka tidak diharuskan masuk pondok pesantren, tetapi langsung ditempatkan dalam kelompok wirid, Raden Fatah memang telah memiliki dasar ilmu yang dibawanya sejak dari Palembang.

Metode lainnya adalah kaderisasi dan penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Tempat yang dituju adalah daerah-daerah yang sama sekali kosong penghuni atau kosong pengaruh islamnya. Sunan Kalijaga mengkader Kyai Gede Adipati Pandanarang untuk berhijrah ke Tembayat dan mengislamkan masyarakat di daerah tersebut dan sekitarnya, hingga kemudian Pandanarang dikenal sebagai Sunan Tembayat.

Sunan Kalijaga juga mengutus Ki Cakrajaya dari Purworejo dan setelah berhasil mengislamkan daerah tersebut, maka dianjurkan pindah ke daerah Lowanu, dan terus mengalami keberhasilan dalam penyebaran islam. Adaapun Sunan Ampel memerintahkan Raden Fatah berhijrah ke hutan Bintara, membuka hutan tersebut dan membuat kota baru, dan sekaligus mengimami masyarakat yang akan terbentuk nantinya. Ternyata Bintara ini berkembang hingga menjadi Demak, basis perjuangan Islam pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu Sunan Ampel juga mengirim utusan (mubaligh) kepada raja-raja, misalnya Sayyid Ya’qub (Syaikh Wali Lanang) dikirim ke Blambangan untuk mengislamkan Prabu Satmudha. Sedang Khalifah Kusen (Husain) ke Madura untuk mengislamkan Arya Lembupeteng, dan lain-lain.

Mengamati metode dakwah walisongo ini berikut bukti-buktinya, maka tidak berlebihan bila dikatakan, bahwa walisongo telah meneladani metode dakwah sebagaimana pernah dilakukan oleh rasulullah saw. Wallahu ‘alam.

Aliran Kebatinan

Kata kebatinan diambil dari kata bahasa Arab bathana, yang artinya batin atau dalam atau bagian dalam, yaitu lawan kata luar, atau bagian luar. Kata tersebut dipinjam oleh sebuah aliran yang menamakan dirinya Bathiniyah atau aliran kebatinan. Karena dalam melaksa nakan ritual keagamaan hanya cukup di batin saja, atau cukup eling (ingat) saja tanpa gerakan tertentu. Bila ditinjau dari berbagai aspek baik kitab sucinya, ajarannya, cara ibadahnya, kepercayaan, dan lain-lainnya , maka tampak jelas bahwa aliran kebatinan atau yang lebih dikenal kejawen atau islam abangan, bukanlah suatu agama dan bukan pula bagian dari agama Islam. Hanya saja namanya yang mendompleng kata-kata Islam. Dimana mereka menyebutnya dengan sebutan Islam abangan, Islam kejawen, Islam kebatinan, Islam murni, Islam Hak, Islam kuring (Sunda), dan lain-lainnya, yang pada umumnya dengan embel-embel islam. Namun justru ajarannya memojokkan Islam.

Aliran kebatinan tidak lebih hanyalah merupakan paguyuban atau organisasi yang terdiri atas beberapa manusia yang mengadopsi suatu kepercayaan yang bersifat ruhaniah dan meditasisme yg berujung untuk mendapatkan suatu ketenangan jiwa atau ketenangan batin, dari hasil embrio asimilasi akhlak berbagai ajaran agama, seperti Islam, Hindu, dan Budha. Jenis aliran kebatinan ini dikenal dengan sebutan aliran kepercayaan. Di masa sebelum perang kemerdekaan RI, jumlahnya sangat sedikit, namun mulai membengkak jumlahnya setelah Indonesia merdeka yaitu antara tahun 1950-1975M. Nama aliran inipun berbeda-beda, seperti: Ngelmu Sejati, Islam Murni, Islam Hak, Islam Kejawen, Agama Kuring, dll.

2. Da'wah Fardiah

Metode da'wah yang dilakukan seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Biasanya da'wah fardiah terjadi tanpa persiapan yang matang dan tersusun secara tertib. Termasuk kategori da'wah seperti ini adalah: menasihati teman sekerja, teguran, anjuran memberi contoh. Termasuk dalam hal ini pada saat mengunjungi orang sakit, pada waktu ada acara tahniah (ucapan selamat), dan pada waktu upacara kelahiran (tasmiyah).

3. Da'wah Ammah

Merupakan jenis da'wah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khitabah (pidato).

Da'wah Ammah ini kalau ditinjau dari segi subyeknya, ada yang dilakukan oleh perorangan dan ada yang dilakukan oleh organisasi tertentu yang berkecimpung dalam soal-doal da'wah.

Hidayah

Petunjuk Allah Swt kepada manusia mengenai keimanan dan keislaman. Dalam al-Qur'an tidak didapati kata hidayah tersebut. Kata hidayah merupakan bentuk masdar (infinitif) dari kata kerja hada (telah menunjuki atau membimbing) dan yahdi (akan atau sedang menunjuki atau membimbing), yang sangat banyak dalam al-Qur'an. Selain itu pengertian petunjuk atau bimbingan yang terkandung dalam kata hidayah itu persis sama dengan kata al-huda, yang amat banyak kita jumpai dalam al-Quranul karim.

Pengertian hidayah yang terkandung dalam kata hada, yahdi dan al-huda itu pada umumnya mengacu kepada bimbingan atau petunjuk bagi manusia kepada jalan yang lurus (as-sirath-al-mustaqim), yang baik (at-thayyib) yang benar (al-haq), atau jalan yang terpuji (as-sirat al-hamid).

Hidayah itu diberikan oleh Allah kepada manusia supaya manusia mengikutinya dengan baik, agar mereka berhasil memperoleh apa yang mereka butuhkan di dunia ini dengan cara yang baik, benar, lurus, atau terpuji, sehigga mereka berbahagia dunia dan akhirat. Tugas muballigh dalam hal ini adalah memberikan penerangan kepada ummat manusia agar mereka dapat memperoleh hidayat dari Allah Swt.

4. Da'wah bil-Lisan

Dakwah jenis ini adalah penyampaian informasi atau pesan da'wah melalui lisan (ceramah atau komunikasi langsung antara subyek dan obyek da'wah). Da'wah jenis ini akan menjadi efektif bila: disampaikan berkaitan dengan hari ibadah seperti khutbah Jum'at atau khutbah hari Raya, kajian yang disampaikan menyangkut ibadah praktis, konteks sajian terprogram, disampaikan dengan metode dialog dengan hadirin.

5. Dakwah bil-Haal

Da'wah bil al-Hal adalah da'wah yang mengedepankan perbuatan nyata. Hal ini dimaksudkan agar si penerima da'wah (al-Mad'ulah) mengikuti jejak dan hal ikhwal si da'i (juru da'wah). Da'wah jenis ini mempunyai pengaruh yang besar pada diri penerima da'wah.

Pada saat pertama kali Rasulullah Saw batu tiba di kota Madinah beliau mencontohkan dakwah bil al hal ini dengan mendirikan masjid Quba, dan mempersatukan kaum anshor dan kaum muhajirin dalam ikatan ukhuwah Islamiyah.

6. Da'wah bit-Tadwin

Memasuki zaman global seperti saat sekarang ini pola da'wah bit at-Tadwin( da'wah melalui tulisan) baik dengan menerbitkan kitab-kitab, buku, majalah, internet, koran, dan tulisan-tulisan yang mengandung pesan da'wah sangat penting dan efektif.

Keuntungan lain dari da'wah model ini tidak menjadi musnah meskipun sang dai, atau penulisnya sudah wafat. Menyangkut da'wah bit-Tadwim ini Rasulullah saw bersabda," Sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada."

7. Da'wah bil Hikmah

Yakni menyampaikan da'wah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak obyek da'wah mampu melaksanakan da'wah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain da'wah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi da'wah yang dilakukan atas dasar persuasif.

Dalam kitab al-Hikmah fi al Da'wah Ilallah ta'ala oleh Said bin Ali bin wahif al-Qathani diuraikan lebih jelas tentang pengertian al-Hikmah, antara lain: Menurut bahasa; adil, ilmu, sabar, kenabian,al-Qur'an dan Injil; memperbaiki (membuat manjadi lebih baik atau pas) dan terhindar dari kerusakan; ungkapan untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yang utama; obyek kebenaran(al-haq) yang didapat melalui ilmu dan akal; pengetahuan atau ma'rifat. Menurut istilah Syar'i; valid dalam perkataan dan perbuatan, mengetahui yang benar dan mengamalkannya, wara' dalam Dinullah, meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menjawab dengan tegas dan tepat.

8. Metode Dakwah Rasulullah Saw

Rasulullah Saw. à Tauladan dalam Dakwah

Menciptakan Perubahan

Masyarakat Kufur MAKKAH Masyarakat Islam MADINAH

~ Karakter Dakwah Rasulullah

1.TANPA KEKERASAN = Laa Maadiyah

2.Pemikiran (Fikriyah)

1. Pemikiran Aqidah
2. Ide-ide Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Hukum, Pendidikan, dll.

Merubah: Pemikiran & Perasaan Umat

Tdk Islami à Islami

3. Politik (Siyasah)

Mengaplikasikan Islam scr kaffah di Masyarakat oleh Negara/Daulah lslamiyah

Aktivitas Politik :

1. Membina masyarakat dengan Islam (Aqidah dan Syariah).
2. Pergolakan pemikiran à Kritik dan penentangan terhadap ide-ide kufur (Demokrasi, Nasionalisme, dll).
3. Membongkar rencana jahat negara kafir Penjajah.
4. Mengkritik dan mengoreksi penguasa yang tidak menerapkan Islam.

4. Thalabun Nushrah : Meminta dukungan dari fihak-fihak yang memiliki kekuasaan riil dalam masyarakat

* Perlindungan dakwah
* Perantara untuk mencapai kekuasaan


Kunci Perubahan Masyarakat

1. Terdapat Jamaah Dakwah
2. Terdapat ide Islam yang jelas dan komprehensip
3. Terdapat kader dakwah yang tangguh
4. Kesadaran masyarakat
5. Mendapatkan dukungan pemilik kekuasaan melalui aktivitas Thalabun Nushrah


Setiap Muslim wajib berdakwah bersama sebuah Jamaah (Partai) yang memiliki ide-ide Islam secara menyeluruh; berjuang dengan aktivitas politik, tanpa kekerasan, untuk mewujudkan kehidupan Islam (penerapan Islam secara total), melalui tegaknya Khilafah Islamiyah.

9. Dakwah Bil-Qolam

Suatu metode dakwah yang lebih efektif, efisien, dan mengena. Metode yang tetap meninggalkan gading ketika si penulis telah wafat. Dapat dinikmati semua manusia di berbagai penjuru. Mudah dimengerti.

Dakwah amr bi alma'ruf wa nahyi an al mungkar adalah kewajiban setap muslim. Mengenai cara atau metode berdakwah diserahkan kepada masing-masing individu, sesuai dengan keadaan lingkungan masyarakatnya. Dengan catatan tidak keluar dari tuntunan syariat dan nilai-nilai agama. Dakwah juga harus efektif, mengena kepada obyek yang di dakwahi. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: "Serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS An Nahl: 125)

Ayat diatas membagi dakwah dalam tiga metode; pertama, dengan hikmah. Hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil (Al Quran, Khadim al Haramain Asy Syarifain). Para ulama mengategorikan metode dakwah ini (bilhikmah) diperuntukan bagi golongan intelektual yang awam terhadap agama. Dengan sentuhan-sentuhan yang dapat dicerna oleh pemahaman kelompok ini, dakwah dapat diterima.

Kedua, bilmau'izah hasanah (pelajaran yang baik). Cara berdakwah yang tepat bagi masyarakat awam dibawah tingkat para ahli pikir atau cendikiawan. Dan ketiga, dakwah malalui bantahan atau debat adu argumentasi dengan syarat menggunakan cara yang baik. Metode terakhir ini cara berdakwah bagi orang yang keras membantah dan menolak dengan ajakan (dakwah) kepada Islam. Meskipun dia mengetahui kebenaran Islam tapi dengan keras menolak ajakan (dakwah) kepada Islam, maka cara terbaik adalah mengadu argumentasi dan berusaha meyakinkan secara rasional.

Dari ketiga metode yang diwarkan dalam Al Quran tampaknya dakwah melalui tulisan (bilqolam) dapat masuk untuk ketiga segmen objek dakwah. Walaupun, jika kita lihat bahwa budaya membaca masih terbatas pada komunitas masyarakat yang intelektualnya "cukup mapan". Hal yang berbeda dengan mendengar (ceramah). Bedakwah melalui media tulisan sangat besar pengaruhnya dan memungkinkan golongan orang yang terpelajar atau bukan akan dapat merasakannya.

Sebagai gambaran, ketika KH. Zainuddin MZ mengadakan pengajian di lapangan terbuka, maka yang dapat mendengarkan "hanya" dihadiri sekitar 10 ribu orang. Tetapi ketika seorang menuliskan ceramahnyan tersebut di buku, koran atau media lainya, maka pengajian tersebut bisa dinikmati oleh umat di seluruh pelosok negeri yang jumlahnya berlipat-lipat dari yang hadir di lapangan tadi. Di sisi lain, sebuah tulisan tidak akan punah dan lekang dari laju zaman dan waktu. Bahkan dengan tulisan seseorang akan dikenang jasanya, diamalkan filsafahnya yang semua itu menjadi amal jariah tiada henti meski telah meninggal dunia sekalipun.

Yusuf Qardhawi pernah mengatakan: "dahulu di Eropa dibebaskan dengan pedang, tapi kini insya Allah akan dibebaskan melalui pena (qolam)" bahkan puluhan tahun yang lalu KH. Imam Zarkasyi menyatakan:" andai kata murid saya tinggal seorangpun meski tetap akan saya ajar sampai tamat. Kalau tidak ada maka saya akan mengajar dengan pena." Pada kenyataanya, obsesi dari dua ulama besar tersebut mempunyai andil yang besar dalam islamisasi masyarakat.

Di negara-negara Barat (eropa dan amerika) pertumbuhan Islam cukup signifikan. Hal ini selain usaha para ulama berdakwah secara langsung, peran buku, majalah, internet, dan media tulis lain sangat berperan. Cerita-cerita mengenai seseorang yang "hanya" membaca terjemah Al-Quran dengan bahasa Inggris kemudian masuk Islam menjadi fenomena tersendiri bagi urgennya dakwah bilqolam. Salah seorang yang terkenal adalah Dr. Maurice Bucaile, seorang ahli bedah berkebangsaan Prancis dengan studinya mengenai perbandingan Bible (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dan Al -Quran serta Sains Modern (La Bibble Le Qoran et La Sience). Sementara obsesi KH. Imam Zarkayi nampaknya terealisasi dalam dua bentuk, santri di Pondok Modern kini bertambah banyak dan buku-buku karyanya kini juga tetap terpakai.

Tetapi melihat kenyataan yang ada, dari segi kualitas maupun kuantitas, umat Islam masih jauh tertinggal dari orang-orang Barat atau non Islam dalam penguasaan dunia informasi dan tehnik. Hal ini tentunya faktor yang mempengaruhi syi'ar agama melalui media tulisan yang mengakibatkan kurang berkembangnya dan kalah bersaing dengan pengaruh musuh-musuh islam. Di sinilah timbul ghozwul fikr, suatu perang pemikiran atau peradaban. Tentunya timbulnya strategi pengikisan aqidah dan syariat Islam melalui cara non fisik ini mempunyai latar belakang yang kuat.

Ghozwul fikr dimulai ketika kaum Salib dikalahkan dalam sembilan kali peperangan besar, mereka kalah letak oleh kaum muslimin (Abu Syauqi Lc: 2001). Kemenangan muslim sangat spektakuler karena semua peperangan yang terjadi di luar perkiraan akal manusia. Misalnya, pasukan Khalid bin Walid pernah memimpin perang dengan jumlah tentaranya sekitar 3000 pasukan, sedangkan pasukan Romawi yang dihadapinya berjumlah 100.000 pasukan. Hampir 1 banding 35, dan kaum muslimin memenangkan pertempuran itu. Peran-perang yang lain juga demikian. Akhinya dunia Barat berfikir, dan strategi barupun digelar. Apabila umat Islam telah mengambil strategi dengan ghoswul fikr via tulisan yang terasa besar pengaruhnya, maka umat Islam hendaknya mulai menyadari urgensi dakwah bilqolam ini.

Sebenarnya AlQuran pada ayat pertama diturunkan, Allah SWT menyuruh umat Islam untuk membaca (iqra' bismi robbika aladzi kholaq). "membaca" di sini menurut para mufassir juga diartikan membaca alam dan lingkungan. Sejauh ini, keterbelakangan umat Islam, salah satunya tidak adanya budaya membaca dan menulis. Berhubung dengan penguasa teknologi dan organisasi oleh dunia barat, lengkaplah kakurangan umat Islam. Kedua faktor yang terdapat dalam kalangan muslim akan menjadi sulit untuk menfilter arus informasi atau pengaruh dari media massa yang merugikan nilai-nilai keislaman. Hingga ketika pengaruh yang miskin nilai-nilai keislaman meluas, umat menjadi reaksioner sampai melakukan hal ekstrim. Kasus yang sempat mencuat beberapa waktu lalu, sweeping buku-buku "kiri". Tepat apa yang dikatakan Helvy Tiana Rosa, bahwa perlawanan dengan membakar buku dan semisalnya justru membuat umat menjadi bodoh, buta dengan apa yang selama ini dimusuhi (an-naasu aduwwun ma jahluhu). Bagaimana akan memusuhi dan membasmi suatu paham jika tidak tahu dengan membaca? Maka, itu semua harus dilawan dengan tulisan lagi.

Maka dapat diambil kesimpulan, dakwah bilqolam mempunyai urgensi dalam dua hal; syi'ar agama sebagai dakwah yang dibebankan setiap individu dan menjawab tantangan dari musuh-musuh Islam (ghazwul fikr). Akhirnya, mari kita renungi firman Allah SWT: Katakanlah apakah sama antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu.” (QS. Az-Zumar: 9).

10. Metode Dakwah menurut Muthahhari

Lebih jauh, berikut ini akan disajikan mengenai metode dakwah menurut pandangan Muthahhari.

Pertama, dakwah tidak diperbolehkan melalui usaha-usaha yang menipu dan cara-cara yang keliru. Seperti dikemukakan oleh Muthahhari, bahwa Islam sama sekali tidak dapat berdamai dengan kesalahan, dan Islam dengan alasan apapun tidak membolehkan untuk menggunakan jalan kebohongan untuk mencapai kebenaran.

Dengan mengutip pandangan dari Haji Mirza Husain Nuri, guru dari Almarhum Haji Syaikh ‘Abbas Qumi, Muthahhari menyebutkan dua kesalahan yang sering dilupakan oleh para da’i:

1. Mereka tidak berkata benar, dengan mengatakan jika mereka menyebutkan sebuah hadits lemah yang kemudian terbukti palsu, maka hal itu dianggap tidak akan menjadi masalah karena tujuan mereka lebih penting.
2. Mereka yakin bahwa tujuan mereka adalah untuk mendorong orang untuk menangisi Imam Husain; dan karenanya dianggap sebagai tujuan yang luhur.

Mengenai poin pertama, Muthahhari mengatakan bahwa Islam secara tegas melarang penggunaan kebohongan di bawah kondisi apa pun, sekalipun untuk menyiarkan agama.

Sehubungan dengan poin kedua, Muthahhari pun mengajukan kritik khususnya terhadap para da’i syi’i yang lebih menekankan untuk menangisi Imam Husain meskipun dengan cara-cara yang salah. Berkenaan dengan hal tersebut, Muthahhari mengutip contoh yang dibawakan oleh Haji Mirza Husain Nuri. Yakni kisah tentang sarjana dari kelompok Yazdi yang sedang dalam perjalanan melewati padang pasir untuk mengunjungi tempat suci Imam Ridha As di Masyhad. Karena perjalanan ini terjadi di bulan Muharram dan malam Asyura, ia sangat kecewa karena takut tidak sampai ke Masyhad agar ia dapat menghadiri upacara perkabungan untuk Imam Husain As. Karena tidak ada pilihan lain, ia memutuskan untuk tinggal di sebuah desa dan menghadiri upacara berkabung di sana.

Seorang khatib naik ke mimbar dan orang-orang yang hadir di masjid membekalinya dengan sekantung batu. Sang khatib kaget ketika tak seorang pun yang menangis selama khutbah. Lalu si khatib mematikan lampu dan mulai melemparkan batu-batu itu kepada orang-orang yang hadir. Orang-orang mulai menangis dan berteriak. Setelah upacara selesai, cendekiawan Yazdi bertanya kepada khatib, mengapa ia melakukan kejahatan seperti itu. Ia menjawab, “Ini adalah satu-satunya cara untuk membuat orang-orang itu menangisi Imam Husain As, dan saya harus menggunakan cara apa pun yang mungkin untuk dapat membuat mereka menangis”. Cendekiawan itu mengatakan bahwa sang khatib tersebut salah dan mengatakan bahwa kesyahidan Imam Husain memiliki cerita yang cukup menyedihkan hati untuk membuat orang-orang itu mencucurkan air mata, jika memang mereka benar-benar cinta dan pengikut setia Imam Husain. Tetapi jika orang-orang itu tidak mengetahui siapa Imam Husain, mereka tidak akan menangis bahkan untuk ratusan tahun mendatang.

Dari kisah yang dikutip Muthahhari di atas, beliau sesungguhnya hendak mengatakan bahwa tujuan utama para da’i adalah bukan membuat orang-orang untuk menangisi Imam Husain, melainkan memberikan pengajaran mengenai kepribadian dan keteladanan dari Imam Husain. Setelah mereka mengenalnya, maka dengan sendirinya mereka tidak usah dipaksa untuk menangisi Imam Husain karena mereka akan menyelaminya sendiri berdasarkan pengajaran-pengajaran yang telah diberikan.

Kedua, berdakwah harus dimaksudkan untuk “melapangkan dada seseorang”, yaitu meningkatkan kapasitas iman dalam hatinya. Terkadang penyampaian perintah melalui penjelasan-penjelasan yang nyata tidaklah cukup; seorang da’i harus juga mempengaruhi akal dengan menyampaikan pesan-pesan itu secara benar. Apa yang disampaikan kepada mata dan telinga tidak selalu diterima oleh kesadaran dan pengetahuan. Apa yang mengubah pesan menjadi kesadaran bukanlah suara ataupun bentuk dari simbol-simbol tulisan, namun sesuatu yang disebut dengan nalar dan logika. Pengetahuan tidak menerima selain nalar dan logika. Muthahhari lalu mengutip ayat al-Qur’an surat an-Nahl [16]:125:

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ.

Artinya: “Serulah manusia menuju jalan Tuhanmu dengan hikmat (pengetahuan), pengajaran yang baik, dan ajaklah mereka berdebat dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa saja yang telah sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui siapa saja yang diberikan petunjuk”.

Ayat di atas dikutip oleh Muthahhari untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an pun telah menggariskan metode dakwah yang relevan, yang salah satunya melalui metode hikmat, yaitu pengetahuan yang berbasis kepada nalar dan logika.

Ketiga, dakwah mesti disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami yang dapat meresap ke dalam hati dan jiwa manusia yang paling dalam. Muthahhari menegaskan, bahwa di dalam menyampaikan pesan-pesan Ilahi seorang Nabi sangat berbeda dengan seorang filosof. Seorang filosof, bagaimanapun pun beratnya ia berupaya, hanya dapat mempengaruhi pikiran manusia saja. Dan itu pun hanya untuk kalangan tertentu. Selain itu, dalam menyampaikan gagasannya seorang filosof perlu menggunakan terminologi khusus dengan ratusan frase dan istilah yang sulit untuk dipahami secara sekilas. Sebenarnya mereka melakukan hal demikian karena ketidakmampuan mereka dalam mengungkapkan secara sederhana. Di sisi lain, para nabi tidak memerlukan ungkapan terminologi yang demikian. Mereka mengungkapkan seluruh gagasannya dalam kata-kata yang sangat jelas dan mudah dipahami. Apa yang telah dikatakan dalam fraseologi filosofis yang membingungkan mengenai masalah Keesaan Tuhan, diungkapkan oleh para Rasul dalam dua kalimat sederhana, mudah dipahami, dan meresap ke dalam hati siapa saja yang mendengarnya.

Artinya: “Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah Maha Utuh. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia” (QS. Al-Ikhlas [114]:1-4).

Pada ayat di atas, prinsip filosofis mengenai keesaan Allah diungkapkan dalam kata-kata yang sederhana dan sangat mudah dipahami.

Selanjutnya Muthahhari menekankan, bahwa hanya seorang da’i yang pesan-pesannya disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang benar dan kuat, namun sederhana dan memberi penerangan yang akan berhasil dalam menyeru manusia kepada Allah. Khutbah Imam Ali, misalnya, yang amat fasih, masih dapat dimengerti oleh orang awam dan orang yang hadir dapat menarik manfaat dari khutbah-khutbah ini berdasarkan tingkat pemahaman mereka masing-masing.

Keempat, dakwah harus mengandung kabar gembira dan peringatan. Hal ini terkait dengan karakteristik utama kenabian sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, sebagaimana yang termaktub dalam ayat al-Qur’an yang artinya:

“Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah (QS. Al-Ahzâb [33]:45-47).

Muthahhari menjelaskan bahwa membawa berita gembira adalah sesuatu yang membesarkan hati. Ketika seseorang hendak mengajak anak-anaknya untuk mengerjakan sesuatu, ada dua cara untuk melakukannya, apakah dengan memakai kabar gembira atau dengan memberikan peringatan, atau keduanya pada waktu yang bersamaan, sama-sama akan membawa keberhasilan.

1. Membesarkan hati dengan berita gembira. Sebagai contoh, jika seseorang ingin mengirim anaknya ke sekolah, ia akan bercerita tentang segala sesuatu yang menarik tentang sekolah dan manfaat yang akan ia peroleh dari sekolah itu. Cerita ini akan membesarkan hati si anak dan mendorong perasaan dan cintanya terhadap sekolah.

2. Memberi peringatan tentang akibat buruk. Seorang anak yang telah diterangkan tentang akibat buruk tidak bersekolah dan tetap buta huruf, akan lebih senang pergi ke sekolah daripada tidak.

Membesarkan hati dan membawa kabar gembira harus selalu diutamakan dan peringatan mengikutinya sebagai pendorong. Kadang-kadang kedua metode tersebut dipergunakan karena keduanya diperlukan dan terkadang berita gembira saja tidak mencukupi. Membawa berita gembira sangat diperlukan, tetapi bukanlah metode yang cukup. Hal ini berlaku pula dalam memberi peringatan. Alasan mengapa al-Qur’an disebut sebagai Sab’u al-Matsani, adalah karena al-Qur’an menggunakan secara selaras antara berita gembira dan peringatan.

Demikian pula dalam berdakwah, seperti disebutkan oleh Muthahhari, dua metode ini seharusnya dipergunakan hingga yang satu menjadi pelengkap bagi yang lainnya. Sangat salah apabila hanya menekankan pada kabar gembira saja dan melupakan peringatan. Keduanya harus dipergunakan, meskipun lebih banyak “kabar gembira” yang diberikan dan lebi sedikit “peringatan”. Karena itulah, dalam kitab suci al-Qur’an kata “membawa kabar gembira” selalu mendahului “memberi peringatan” dalam banyak ayat-ayatnya.

Itulah pembahasan mengenai metode dakwah yang digagas oleh Muthahhari. Metode-metode dakwah yang telah dijelaskan di atas terlihat sangat spektakuler sebagai sebuah metode dakwah yang original, sangat mendasar, dan aplikatif sebagai sebuah metode ideal dalam kegiatan dakwah di masa kini. Ide-ide mengenai dakwah Muthahhari di atas adalah sebuah jawaban dan harapan yang cerah untuk perkembangan ilmu dakwah, dan untuk memajukan masyarakat Islam yang memang sedang membutuhkan pemikiran cemerlang untuk kembali membangun peradaban dunia.