Selasa, 01 Mei 2012

METODE DA’WAH SECARA LANGSUNG





A. Pendahuluan

Setiap kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata da'wah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.

Syaikh Ali Mahfuzh -murid Syaikh Muhammad Abduh- sebagai pencetus gagasan dan penyusunan pola ilmiah ilmu da'wah memberi batasan mengenai da'wah sebagai: "Membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat ma'ruf dan maencegah dari perbuatan yang munkar, supaya mereka memperoleh keberuntungan kebahagiaan di dunia dan di akhirat."

Da'wah adalah usaha penyebaran pemerataan ajaran agama di samping amar ma'ruf dan nahi munkar. Terhadap umat Islam yang telah melaksanakan risalah Nabi lewat tiga macam metode yang paling pokok yakni da'wah, amar ma'ruf, dan nahi munkar, Allah memberi mereka predikat sebagai umat yang berbahagia atau umat yang menang .

Kata da'wah sering dirangkaikan dengan kata "Ilmu" dan kata "Islam", sehingga menjadi "Ilmu da'wah" dan Ilmu Islam" atau ad-da'wah al-Islamiyah.

Yang dimaksud Ilmu da'wah adalah suatu ilmu yang berisi cara-cara dan tuntunan untuk menarik perhatian orang lain supaya menganut, mengikuti, menyetujui atau melaksanakan suatu ideologi, agama, pendapat atau pekerjaan tertentu. Orang yang menyampaikan da'wah disebut da'i sedangkan yang menjadi obyek da'wah disebut mad'u. Setiap Muslim yang menjalankan fungsi da'wah Islam adalah da'i.

Adapun mengenai tujuan da'wah, yaitu: pertama, mengubah pandangan hidup. Dalam QS. Al Anfal: 24 di sana di siratkan bahwa yang menjadi maksud dari da'wah adalah menyadarkan manusia akan arti hidup yang sebenarnya. Hidup bukanlah makan, minum dan tidur saja. Manusia dituntut untuk mampu memaknai hidup yang dijalaninya.

Kedua, mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju terang-benderang. Ini diterangkan dalam firman Allah: "Inilah kitab yang kami turunkan kepadamu untuk mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada terang-benderang dengan izin Tuhan mereka kepada jalan yang perkasa, lagi terpuji." (QS. Ibrahim: 1).

Selain itu da’wah juga untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridlai oleh Allah Swt. Nabi Muhammad Salallaahu 'alaihi wa salam mencontohkan da'wah kepada ummatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan. Dimulai dari istrinya, keluarganya, dan teman-teman karibnya hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau risalah Nabi Saw adalah kaisar Heraclius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kista dari Persia(Iran) dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia).

Suatu kaum yang senantiasa berpegang teguh pada prinsip ber-amar ma'ruf nahi munkar akan mendapatkan balasan dan pahala dari Allah Swt. yang antara lain berupa:

1. Ditinggikan derajatnya ke tingkatan yang setinggi-tingginya (QS. Ali Imran: 110).
2. Terhindar dari kebinasaan sebagaimana dibinasakannya Fir'aun beserta orang-orang yang berdiam diri ketika melihat kedzalimannya.
3. Mendapatkan pahala berlipat dari Allah sebagaimana sabda Nabi Saw.: "Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun".
4. Terhindar dari laknat Allah sebagai mana yang terjadi pada Bani Isra'il karena keengganan mereka dalam mencegah kemunkaran. (QS. Al-Maidah: 78-79).

Secara prinsipil seorang Muslim dituntut untuk tegas dalam menyampaikan kebenaran dan melarang dari kemunkaran. Rasul Saw. bersabda: "Barang siapa di antara kamu menjumpai kemunkaran maka hendaklah ia rubah dengan tangan (kekuasaan)nya, apabila tidak mampu hendaklah dengan lisannya, dan jika masih belum mampu hendaklah ia menolak dengan hatinya. Dan (dengan hatinya) itu adalah selemah-lemahnya iman". Hadits ini memberikan dorongan kepada orang Muslim untuk ber-amar ma'ruf dengan kekuasaan dalam arti kedudukan dan kemampuan fisik dan kemampuan finansial. Amar ma'ruf dan khususnya nahi munkar minimal diamalkan dengan lisan melalui nasihat yang baik, ceramah-ceramah, ataupun khutbah-khutbah, sebab semua.

Muslim tentunya tidak ingin bila hanya termasuk di dalam golongan yang lemah imannya.Da'wah dan amar ma'ruf nahi munkar dengan metode yang tepat akan menghantarkan dan menyajikan ajaran Islam secara sempurna. Metode yang di terapkan dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar tersebut sebenarnya akan terus berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat yang dihadapi para da'i. Amar ma'ruf dan nahi munkar tidak bertujuan memperkosa fitrah seseorang untuk tunduk dan senantiasa mengikuti tanpa mengetahui hujjah yang dipakai, tetapi untuk memberikan koreksi dan membangkitkan kesadaran dalam diri seseorang akan kesalahan dan kekurangan yang dimiliki.

Ketegasan dalam menyampaikan amar ma'ruf dan nahi munkar bukan berarti menghalalkan cara-cara yang radikal. Implementasinya harus dengan strategi yang halus dan menggunakan metode tadarruj (bertahap) agar tidak menimbulkan permusuhan dan keresahan di masyarakat. Penentuan strategi dan metode amar ma'ruf nahi munkar harus mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang dihadapi. Jangan sampai hanya karena kesalahan kecil dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar justru mengakibatkan kerusakan dalam satu umat dengan social cost yang tinggi.

Dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar hendaknya memperhatikan beberapa poin yang insya Allah bisa diterapkan dalam berbagai bentuk masyarakat:

1. Hendaknya amar ma'ruf nahi munkar dilakukan dengan cara yang ihsan agar tidak berubah menjadi penelanjangan aib dan menyinggung perasaan orang lain. Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Musa dan Harun agar berbicara dengan lembut kepada Fir'aun (QS. Thaha: 44).
2. Islam adalah agama yang berdimensi individual dan sosial, maka sebelum memperbaiki orang lain seorang Muslim dituntut berintrospeksi dan berbenah diri, sebab cara amar ma'ruf yang baik adalah yang diiringi dengan keteladanan.
3. Menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar disandarkan kepada keihklasan karena mengharap ridla Allah, bukan mencari popularitas dan dukungan politik.
4. Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan menurut Al-Qur'an dan Al-Sunnah, serta diimplementasikan di dalam masyarakat secara berkesinambungan.

Dalam menyampaikan da'wah amar ma'ruf nahi munkar, para da'i dituntut memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, baik kepada Allah maupun masyarakat dan negara. Bertanggung jawab kepada Allah dalam arti bahwa da'wah yang ia lakukan harus benar-benar ikhlas dan sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh Al Qur'an dan Sunnah. Bertanggung jawab kepada masyarakat atau umat menganduang arti bahwa da'wah Islamiyah memberikan kontribusi positif bagi kehidupan sosial umat yang bersangkutan. Bertanggung jawab kepada negara mengandung arti bahwa pengemban risalah senantiasa memperhatikan kaidah hukum yang berlaku di negara dimana ia berda'wah. Jika da'wah dilakukan tanpa mengindahkan hukum positif yang berlaku dalam sebuah negara, maka kelancaran da'wah itu sendiri akan terhambat dan bisa kehilangan simpati dari masyarakat.

Dalil

Adalah keterangan yang dijadikan bukti atau alasan sesuatu kebenaran. Dalam Islam (ilmu matiq) dikenal dua macam dalil, yakni dalil naqli yang bersumber dari Al-Qur'an dan as-Sunnah dan dalil aqli, yaitu dalil yang berdasarkan hukum akal(logika), analisa akal dan pembahasan ilmu pengetahuan.Kata dalil juga boleh diartikan kaidah, patokan dalam suatu pembahasan, saranan, dan sebagai kaidah yang harus diterapkan kebenarannya dalam ilmu pasti.

Dalil-dalil Naqli yang berasal dari ayat-ayat al-Qur'an semuanya berstatus sebagai dalil-dalil ang qat'i al-wurud, artinya sudah diyakini merupakan wahyu Allah swt yang terpelihara dari campur tangan manusia. Sedangkan dalil aqli yaitu dalil-dalil yang diperoleh melalui proses penalaran akal(ijtihad). Ijtihad ini adakalanya dilakukan dengan membandingkan segi persamaan ('illat) yang terdapat pada suatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya dengan berbuatan lain yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam dalil naqli(kias). Ijtihad biasanya dilakukan dengan memperhatikan ruh tasyri'(jiwa atau semangat hukum), kemaslahatan umum, dan sebagainya.

B. Kewajiban Da’wah

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hubungan manusia dengan manusia yang lainnya. Sehingga individu dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat . Tidak ada satupun agama ataupun ideologi lain yang memiliki aturan seperti itu apalagi menandinginya. Rosulullah SAW telah menjelaskan hubungan individu dengan masyarakat ini melalui sabdanya :

“ Perumpamaan orang yang menjaga dan menerapkan batas ( peraturan ) Allah adalah laksana kelompok penumpang kapal yang mengundi tempat duduk mereka . Sebagian mereka mendapat tempat dibagian atas dan sebagian lain dibagian bawah, jika mereka membutuhkan air maka harus berjalan melewati bagian atas kapal. Maka merekapun berujar,” bagaimana jika kami lubangi saja bagian bawah kapal ini (untuk mendapatkan air), toh hal itu tidak menyakiti orang yang berada dibagian atas”. Jika kalian biarkan mereka berbuat menuruti keinginan mereka itu, maka binasalah mereka dan seluruh penumpang kapal itu. Tetapi jika kalian cegah mereka, maka selamatlah mereka dan seluruh penumpang yang lain”. (HR. Bukhari)

Dari hadist diatas Rasulullah menunjukkan bagaimana keterpaduan individu dan masyarakat, dimana individu berbuat untuk kemaslahatan masyarakat dan masyarakat berbuat untuk menjaga individu. Oleh karena itu jika masyarakat melakukan kemaksiatan seperti syirik kewajiban kitalah yang mengerti agama islam ini dengan kaffah menjaga mereka dari api neraka yaitu caranya dengan berdakwah.

Dulu ketika Rosulullah SAW diangkat sebagai utusan Allah SWT, Beliau menyebarkan islam dengan cara berdakwah baik secara sembunyi – sembunyi (karena pada waktu itu kaum Quraisy masih sangat kuat sedangkan Rosul tidak punya kekuatan untuk melawannya) maupun terang – terangan . Beliau berusaha untuk menyebarkan agama islam ini keseluruh penjuru dunia, setelah Beliau wafat diteruskan oleh Kulafaur Rasyidin kemudian diteruskan oleh para ulama’. Namun zaman sekarang ini yaitu zaman modernisasi, aturan - aturan agama islam semakin mengikis, dengan pengikisan aturan agama ini sehingga negara – negara yang penduduknya sebagian besar islam akan hancur karena mereka mengikuti aturan –aturan dari barat. Contohnya negara kita sendiri meskipun 87% penduduk negara kita adalah islam namun seks bebas dimana-mana sehingga AIDS menyebar dengan cepat dan dengan sangat bangga kita merupakan negara korupsi urutan ke 3 sedunia. Selain itu Rosulullah SAW juga bersabda bahwa orang-orang islam pada suatu masa akan tunduk kepada orang-orang kafir . Dalam kenyataannya hadist Rosul itu dapat terbukti, dulu orang islam ditakuti orang kafir namun sekarang orang kafir ditakuti orang islam misalnya Arab Saudi yang merupakan negara islam dan tempat dilahirkannya Rosulullah sekarang tunduk kepada negara AS dan ketika Irak di serang oleh AS tanpa ada sebab orang muslim sedunia tidak membantu orang muslim yang ada di Irak. Dan sekarang bagaimana dengan nasib islam nantinya?

C. Penyakit-penyakit Da'i

Adalah bentuk hambatan yang dialami juru dakwah(da'i) sehingga berakibat mengganggu aktivitinya sebagai muballigh. Di antara bentuk-bentuk penyakit tersebut adalah:

1. Futuur

Penyakit hati (ruhani) yang melanda juru da'wah dari yang semula giat dan bersemangat, menjadi lemah dan kehilangan gairah. hal-hal yang menyebabkan juru da'wah terserang penyakit ini adalah: (1) Sikap berlebihan yang tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi baik fizikal, kesihatan maupun spritual; (2) Tidak mengawal hal-hal yang mubah, seperti makan minum, tidur dan beraktivitas seksual sehingga nafsu berkuasa; (3) Memisahkan diri dari Jamaah; (4) Kurang mengingat kematian; (5) lalai dalam beribadah.

2. Isti'jal

Jenis penyakit juru da'wah yang ingin mencapai perubahan atas realiti yang dialami kaum muslimin dalam waktu yang sesingkat-singkatnya tanpa memperhatikan lingkungan, akibat, dan tanpa melihat kenyataan, juga tanpa persiapan yang cukup sebelumnya baik sistem maupun sarana. Dengan kata lain, Isti'jal merupakan cara-cara da'wah yang menginginkan hasil yang maksimal dengan waktu yang sesingkat mungkin.

D. Macam-macam Metode Da’wah secara Langsung

1. Metode Dakwah Walisongo

Secara konseptual metode dakwah walisongo biasa disebut dengan istilah ”Mau’izatul hasanah wa mujahadah billati hiya ahsan.” Metode ini biasa digunakan untuk tokoh-tokoh khusus (pemimpin), misalnya para bupati, adipati, para raja, maupun para tokoh-tokoh masyarakat setempat. Dasar metode ini adalah QS An-Nahl (16) : 125, yang artinya :”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Para tokoh khusus itu diperlakukan secara personal, dihubungi secara istimewa. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman tentang islam, peringatan-peringatan secara lemah lembut, tukar pikiran dari hati ke hati dan penuh toleransi. Ini yang dimaksud Mau’izatul Hasanah. Namun apabila cara tersebut belum juga berhasil, barulah menggunakan cara berikutnya, yakni Al Mujadalah billati hiya ihsan.

Cara kedua ini diterapkan kepada tokoh yang secara terus terang menunjukkan sikap kurang setuju terhadap islam. Rangkain cara ini bisa dilihat ketika Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan kawan-kawan berdakwah kepada Arya Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijakan Raden Rahmat, maka Arya Damar kemudian masuk islam bersama istrinya. Dan tak lama kemudian diikuti pula oleh hampir segenap anak negerinya.

Demikian pula halnya ketika beliau berdakwah terhadap Prabu Brawijaya. Ketika mendengar wejangan yang demikian bagus dari Sunan Ampel, sesunggunya terasa sulit bagi Prabu Brawijaya untuk menolak. Tapi karena beliau berkedudukan sebagai raja, tentu banyak pertimbangan yang membuatnya tidak mudah begitu saja menerima pendapat orang lain, terutama dalam hal keagamaan. Meski repot mengelak, akhir nya beliau menolak secara halus, dengan alasan bahwa sebagai raja dia terikat adat kebiasaan kerajaan dan tradisi rakyatnya tidak bisa diabaikan begitu saja.

Namun lain halnya dengan sang permaisuri yang tidak mempunyai beban berat. Prabu tidak keberataan bila permaisuri memang berkehendak masuk Islam.

Metode seperti ini digunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah kepada Adipati Pandanarang di Semarang. Pada mulanya terjadi perdebatan seru, dan perdebatan itu berakhir dengan tunduknya Adipati untuk masuk Islam. Ia sangat terkesan dengan anjuran Sunan Kalijaga tentang peri kesopanan (akhlaq). Bahkan saking tertariknya dengan Sunan Kalijaga, maka dia rela mengorbankan pangkat dan keduniaan, harta dan keluarganya demi menuruti syarat-syarat yang diajukan Sunan Kalijaga agar dapat diteriama sebagai murid untuk berguru ilmu keislaman.

Lain halnya dengan Sunan Kudus. Beliau ini berdakwah dengan lembunya yang dihias istimewa. Diberitakan bahwa Sunan Kudus pernah mengikat seekor lembu di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang diperlakukan istimewa itu. Setelah mereka datang berkerumun di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini sangat praktis dan strategis. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang ke ramat bagi umat Hidu. Menyaksikan bahwa lembu tidak dihinakan oleh Sunan Kudus,

terbitlah niat dan simpati masyarakat penganut Hindu. Berangkat dari titik perhatian inilah masyarakat kemudian berhasil diislamkan.

Metode tadarruj atau tarbiyatul ummah dipergunakan sebagai proses pengelompokan yang disesuaikan dengan tahap pendidikan ummat. Agar ajaran islam dapat dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat secara merata. Maka tampaklah metode yang ditempuh walisongo didasarkan pada pokok pikiran ‘li kulli maqam maqat’, yakni memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat ada tingkat, bidang materi dan kurikulumnya. Begitu pula saat menyampaikan ajaran fiqih yang ditujukan terutama bagi masyarakat awam dengan jalan pesantren dan melalui lembaga sosial.

Metode lembaga ssosial melalui pendidikan sosial atau usaha kemasyarakatan diupa yakan agar ajaran-ajaran islam bersiat praktis (mudah diterapkan) dapat menjadi tradisi yang memungkinkan terciptanya adat islami dan bersifat normatif. Dengan begitu diharapkan ajaran islam secara sadar atau tidak sadar masyarakaat telah menjalankan ajaran serta amalan yang islami, karena memang sudah menjadi adat istiadat. Misalnya, menjadikan masjid sebagai lembaga pendidikan, merayakan upacara kelahiran, pernikahan, kematian, khitanan, dll.

Sesuai karakter yang termuat di dalamnya, maka ilmu kalam atau tauhid disampaikan sebagai taklim (pengajaran) melaliu pesantren. Sedang penyampaiannya kepada masyarakat ditempuh melalui cerita-cerita wayang. Untuk keperluan itu, maka diciptakan lakon Dewa Ruci, Jimaat Kalima Sada, dan dikarang pula buku-buku bacaan umum, misalnya Kitab Ambiyo (kitab Al Anbiyaa), berisi kisah para nabi.

Selanjutnya ilmu tasawuf, yang oleh Sunan Bonang disebut sebagai ilmu suluk. Ilmu ini di sampaikan melalui wirid, yaitu pengajaran dengan wejangan, tertutup dan sangat ekslusif. Tempat dan waktunya ditentukan. Ilmu ini hanya disediakan untuk orang-orang tertentu yg sudah memiliki dasar yang diperlukan untuk laku tasawuf. Ketentuan ini di samping atas suatu kelaziman karena tasawuf merupakan ilmu lanjut yang dengan sendirinya menuntut suatu ilmu dasar, juga demi menjaga salah paham, salah pengertian dan salah penggunaan terhadap ilmu ini. Contoh masalah ini adalah ketika Raden Fatah menyatakaan keinginan untuk berguru kepada Sunan Ampel, maka Raden Fatah ditanya lebih dulu apakah sudah memiliki dasar. Dan karena ternyata Raden Fatah memilikinya, maka tidak diharuskan masuk pondok pesantren, tetapi langsung ditempatkan dalam kelompok wirid, Raden Fatah memang telah memiliki dasar ilmu yang dibawanya sejak dari Palembang.

Metode lainnya adalah kaderisasi dan penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Tempat yang dituju adalah daerah-daerah yang sama sekali kosong penghuni atau kosong pengaruh islamnya. Sunan Kalijaga mengkader Kyai Gede Adipati Pandanarang untuk berhijrah ke Tembayat dan mengislamkan masyarakat di daerah tersebut dan sekitarnya, hingga kemudian Pandanarang dikenal sebagai Sunan Tembayat.

Sunan Kalijaga juga mengutus Ki Cakrajaya dari Purworejo dan setelah berhasil mengislamkan daerah tersebut, maka dianjurkan pindah ke daerah Lowanu, dan terus mengalami keberhasilan dalam penyebaran islam. Adaapun Sunan Ampel memerintahkan Raden Fatah berhijrah ke hutan Bintara, membuka hutan tersebut dan membuat kota baru, dan sekaligus mengimami masyarakat yang akan terbentuk nantinya. Ternyata Bintara ini berkembang hingga menjadi Demak, basis perjuangan Islam pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu Sunan Ampel juga mengirim utusan (mubaligh) kepada raja-raja, misalnya Sayyid Ya’qub (Syaikh Wali Lanang) dikirim ke Blambangan untuk mengislamkan Prabu Satmudha. Sedang Khalifah Kusen (Husain) ke Madura untuk mengislamkan Arya Lembupeteng, dan lain-lain.

Mengamati metode dakwah walisongo ini berikut bukti-buktinya, maka tidak berlebihan bila dikatakan, bahwa walisongo telah meneladani metode dakwah sebagaimana pernah dilakukan oleh rasulullah saw. Wallahu ‘alam.

Aliran Kebatinan

Kata kebatinan diambil dari kata bahasa Arab bathana, yang artinya batin atau dalam atau bagian dalam, yaitu lawan kata luar, atau bagian luar. Kata tersebut dipinjam oleh sebuah aliran yang menamakan dirinya Bathiniyah atau aliran kebatinan. Karena dalam melaksa nakan ritual keagamaan hanya cukup di batin saja, atau cukup eling (ingat) saja tanpa gerakan tertentu. Bila ditinjau dari berbagai aspek baik kitab sucinya, ajarannya, cara ibadahnya, kepercayaan, dan lain-lainnya , maka tampak jelas bahwa aliran kebatinan atau yang lebih dikenal kejawen atau islam abangan, bukanlah suatu agama dan bukan pula bagian dari agama Islam. Hanya saja namanya yang mendompleng kata-kata Islam. Dimana mereka menyebutnya dengan sebutan Islam abangan, Islam kejawen, Islam kebatinan, Islam murni, Islam Hak, Islam kuring (Sunda), dan lain-lainnya, yang pada umumnya dengan embel-embel islam. Namun justru ajarannya memojokkan Islam.

Aliran kebatinan tidak lebih hanyalah merupakan paguyuban atau organisasi yang terdiri atas beberapa manusia yang mengadopsi suatu kepercayaan yang bersifat ruhaniah dan meditasisme yg berujung untuk mendapatkan suatu ketenangan jiwa atau ketenangan batin, dari hasil embrio asimilasi akhlak berbagai ajaran agama, seperti Islam, Hindu, dan Budha. Jenis aliran kebatinan ini dikenal dengan sebutan aliran kepercayaan. Di masa sebelum perang kemerdekaan RI, jumlahnya sangat sedikit, namun mulai membengkak jumlahnya setelah Indonesia merdeka yaitu antara tahun 1950-1975M. Nama aliran inipun berbeda-beda, seperti: Ngelmu Sejati, Islam Murni, Islam Hak, Islam Kejawen, Agama Kuring, dll.

2. Da'wah Fardiah

Metode da'wah yang dilakukan seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Biasanya da'wah fardiah terjadi tanpa persiapan yang matang dan tersusun secara tertib. Termasuk kategori da'wah seperti ini adalah: menasihati teman sekerja, teguran, anjuran memberi contoh. Termasuk dalam hal ini pada saat mengunjungi orang sakit, pada waktu ada acara tahniah (ucapan selamat), dan pada waktu upacara kelahiran (tasmiyah).

3. Da'wah Ammah

Merupakan jenis da'wah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khitabah (pidato).

Da'wah Ammah ini kalau ditinjau dari segi subyeknya, ada yang dilakukan oleh perorangan dan ada yang dilakukan oleh organisasi tertentu yang berkecimpung dalam soal-doal da'wah.

Hidayah

Petunjuk Allah Swt kepada manusia mengenai keimanan dan keislaman. Dalam al-Qur'an tidak didapati kata hidayah tersebut. Kata hidayah merupakan bentuk masdar (infinitif) dari kata kerja hada (telah menunjuki atau membimbing) dan yahdi (akan atau sedang menunjuki atau membimbing), yang sangat banyak dalam al-Qur'an. Selain itu pengertian petunjuk atau bimbingan yang terkandung dalam kata hidayah itu persis sama dengan kata al-huda, yang amat banyak kita jumpai dalam al-Quranul karim.

Pengertian hidayah yang terkandung dalam kata hada, yahdi dan al-huda itu pada umumnya mengacu kepada bimbingan atau petunjuk bagi manusia kepada jalan yang lurus (as-sirath-al-mustaqim), yang baik (at-thayyib) yang benar (al-haq), atau jalan yang terpuji (as-sirat al-hamid).

Hidayah itu diberikan oleh Allah kepada manusia supaya manusia mengikutinya dengan baik, agar mereka berhasil memperoleh apa yang mereka butuhkan di dunia ini dengan cara yang baik, benar, lurus, atau terpuji, sehigga mereka berbahagia dunia dan akhirat. Tugas muballigh dalam hal ini adalah memberikan penerangan kepada ummat manusia agar mereka dapat memperoleh hidayat dari Allah Swt.

4. Da'wah bil-Lisan

Dakwah jenis ini adalah penyampaian informasi atau pesan da'wah melalui lisan (ceramah atau komunikasi langsung antara subyek dan obyek da'wah). Da'wah jenis ini akan menjadi efektif bila: disampaikan berkaitan dengan hari ibadah seperti khutbah Jum'at atau khutbah hari Raya, kajian yang disampaikan menyangkut ibadah praktis, konteks sajian terprogram, disampaikan dengan metode dialog dengan hadirin.

5. Dakwah bil-Haal

Da'wah bil al-Hal adalah da'wah yang mengedepankan perbuatan nyata. Hal ini dimaksudkan agar si penerima da'wah (al-Mad'ulah) mengikuti jejak dan hal ikhwal si da'i (juru da'wah). Da'wah jenis ini mempunyai pengaruh yang besar pada diri penerima da'wah.

Pada saat pertama kali Rasulullah Saw batu tiba di kota Madinah beliau mencontohkan dakwah bil al hal ini dengan mendirikan masjid Quba, dan mempersatukan kaum anshor dan kaum muhajirin dalam ikatan ukhuwah Islamiyah.

6. Da'wah bit-Tadwin

Memasuki zaman global seperti saat sekarang ini pola da'wah bit at-Tadwin( da'wah melalui tulisan) baik dengan menerbitkan kitab-kitab, buku, majalah, internet, koran, dan tulisan-tulisan yang mengandung pesan da'wah sangat penting dan efektif.

Keuntungan lain dari da'wah model ini tidak menjadi musnah meskipun sang dai, atau penulisnya sudah wafat. Menyangkut da'wah bit-Tadwim ini Rasulullah saw bersabda," Sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada."

7. Da'wah bil Hikmah

Yakni menyampaikan da'wah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak obyek da'wah mampu melaksanakan da'wah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain da'wah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi da'wah yang dilakukan atas dasar persuasif.

Dalam kitab al-Hikmah fi al Da'wah Ilallah ta'ala oleh Said bin Ali bin wahif al-Qathani diuraikan lebih jelas tentang pengertian al-Hikmah, antara lain: Menurut bahasa; adil, ilmu, sabar, kenabian,al-Qur'an dan Injil; memperbaiki (membuat manjadi lebih baik atau pas) dan terhindar dari kerusakan; ungkapan untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yang utama; obyek kebenaran(al-haq) yang didapat melalui ilmu dan akal; pengetahuan atau ma'rifat. Menurut istilah Syar'i; valid dalam perkataan dan perbuatan, mengetahui yang benar dan mengamalkannya, wara' dalam Dinullah, meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menjawab dengan tegas dan tepat.

8. Metode Dakwah Rasulullah Saw

Rasulullah Saw. à Tauladan dalam Dakwah

Menciptakan Perubahan

Masyarakat Kufur MAKKAH Masyarakat Islam MADINAH

~ Karakter Dakwah Rasulullah

1.TANPA KEKERASAN = Laa Maadiyah

2.Pemikiran (Fikriyah)

1. Pemikiran Aqidah
2. Ide-ide Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Hukum, Pendidikan, dll.

Merubah: Pemikiran & Perasaan Umat

Tdk Islami à Islami

3. Politik (Siyasah)

Mengaplikasikan Islam scr kaffah di Masyarakat oleh Negara/Daulah lslamiyah

Aktivitas Politik :

1. Membina masyarakat dengan Islam (Aqidah dan Syariah).
2. Pergolakan pemikiran à Kritik dan penentangan terhadap ide-ide kufur (Demokrasi, Nasionalisme, dll).
3. Membongkar rencana jahat negara kafir Penjajah.
4. Mengkritik dan mengoreksi penguasa yang tidak menerapkan Islam.

4. Thalabun Nushrah : Meminta dukungan dari fihak-fihak yang memiliki kekuasaan riil dalam masyarakat

* Perlindungan dakwah
* Perantara untuk mencapai kekuasaan


Kunci Perubahan Masyarakat

1. Terdapat Jamaah Dakwah
2. Terdapat ide Islam yang jelas dan komprehensip
3. Terdapat kader dakwah yang tangguh
4. Kesadaran masyarakat
5. Mendapatkan dukungan pemilik kekuasaan melalui aktivitas Thalabun Nushrah


Setiap Muslim wajib berdakwah bersama sebuah Jamaah (Partai) yang memiliki ide-ide Islam secara menyeluruh; berjuang dengan aktivitas politik, tanpa kekerasan, untuk mewujudkan kehidupan Islam (penerapan Islam secara total), melalui tegaknya Khilafah Islamiyah.

9. Dakwah Bil-Qolam

Suatu metode dakwah yang lebih efektif, efisien, dan mengena. Metode yang tetap meninggalkan gading ketika si penulis telah wafat. Dapat dinikmati semua manusia di berbagai penjuru. Mudah dimengerti.

Dakwah amr bi alma'ruf wa nahyi an al mungkar adalah kewajiban setap muslim. Mengenai cara atau metode berdakwah diserahkan kepada masing-masing individu, sesuai dengan keadaan lingkungan masyarakatnya. Dengan catatan tidak keluar dari tuntunan syariat dan nilai-nilai agama. Dakwah juga harus efektif, mengena kepada obyek yang di dakwahi. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: "Serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS An Nahl: 125)

Ayat diatas membagi dakwah dalam tiga metode; pertama, dengan hikmah. Hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil (Al Quran, Khadim al Haramain Asy Syarifain). Para ulama mengategorikan metode dakwah ini (bilhikmah) diperuntukan bagi golongan intelektual yang awam terhadap agama. Dengan sentuhan-sentuhan yang dapat dicerna oleh pemahaman kelompok ini, dakwah dapat diterima.

Kedua, bilmau'izah hasanah (pelajaran yang baik). Cara berdakwah yang tepat bagi masyarakat awam dibawah tingkat para ahli pikir atau cendikiawan. Dan ketiga, dakwah malalui bantahan atau debat adu argumentasi dengan syarat menggunakan cara yang baik. Metode terakhir ini cara berdakwah bagi orang yang keras membantah dan menolak dengan ajakan (dakwah) kepada Islam. Meskipun dia mengetahui kebenaran Islam tapi dengan keras menolak ajakan (dakwah) kepada Islam, maka cara terbaik adalah mengadu argumentasi dan berusaha meyakinkan secara rasional.

Dari ketiga metode yang diwarkan dalam Al Quran tampaknya dakwah melalui tulisan (bilqolam) dapat masuk untuk ketiga segmen objek dakwah. Walaupun, jika kita lihat bahwa budaya membaca masih terbatas pada komunitas masyarakat yang intelektualnya "cukup mapan". Hal yang berbeda dengan mendengar (ceramah). Bedakwah melalui media tulisan sangat besar pengaruhnya dan memungkinkan golongan orang yang terpelajar atau bukan akan dapat merasakannya.

Sebagai gambaran, ketika KH. Zainuddin MZ mengadakan pengajian di lapangan terbuka, maka yang dapat mendengarkan "hanya" dihadiri sekitar 10 ribu orang. Tetapi ketika seorang menuliskan ceramahnyan tersebut di buku, koran atau media lainya, maka pengajian tersebut bisa dinikmati oleh umat di seluruh pelosok negeri yang jumlahnya berlipat-lipat dari yang hadir di lapangan tadi. Di sisi lain, sebuah tulisan tidak akan punah dan lekang dari laju zaman dan waktu. Bahkan dengan tulisan seseorang akan dikenang jasanya, diamalkan filsafahnya yang semua itu menjadi amal jariah tiada henti meski telah meninggal dunia sekalipun.

Yusuf Qardhawi pernah mengatakan: "dahulu di Eropa dibebaskan dengan pedang, tapi kini insya Allah akan dibebaskan melalui pena (qolam)" bahkan puluhan tahun yang lalu KH. Imam Zarkasyi menyatakan:" andai kata murid saya tinggal seorangpun meski tetap akan saya ajar sampai tamat. Kalau tidak ada maka saya akan mengajar dengan pena." Pada kenyataanya, obsesi dari dua ulama besar tersebut mempunyai andil yang besar dalam islamisasi masyarakat.

Di negara-negara Barat (eropa dan amerika) pertumbuhan Islam cukup signifikan. Hal ini selain usaha para ulama berdakwah secara langsung, peran buku, majalah, internet, dan media tulis lain sangat berperan. Cerita-cerita mengenai seseorang yang "hanya" membaca terjemah Al-Quran dengan bahasa Inggris kemudian masuk Islam menjadi fenomena tersendiri bagi urgennya dakwah bilqolam. Salah seorang yang terkenal adalah Dr. Maurice Bucaile, seorang ahli bedah berkebangsaan Prancis dengan studinya mengenai perbandingan Bible (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dan Al -Quran serta Sains Modern (La Bibble Le Qoran et La Sience). Sementara obsesi KH. Imam Zarkayi nampaknya terealisasi dalam dua bentuk, santri di Pondok Modern kini bertambah banyak dan buku-buku karyanya kini juga tetap terpakai.

Tetapi melihat kenyataan yang ada, dari segi kualitas maupun kuantitas, umat Islam masih jauh tertinggal dari orang-orang Barat atau non Islam dalam penguasaan dunia informasi dan tehnik. Hal ini tentunya faktor yang mempengaruhi syi'ar agama melalui media tulisan yang mengakibatkan kurang berkembangnya dan kalah bersaing dengan pengaruh musuh-musuh islam. Di sinilah timbul ghozwul fikr, suatu perang pemikiran atau peradaban. Tentunya timbulnya strategi pengikisan aqidah dan syariat Islam melalui cara non fisik ini mempunyai latar belakang yang kuat.

Ghozwul fikr dimulai ketika kaum Salib dikalahkan dalam sembilan kali peperangan besar, mereka kalah letak oleh kaum muslimin (Abu Syauqi Lc: 2001). Kemenangan muslim sangat spektakuler karena semua peperangan yang terjadi di luar perkiraan akal manusia. Misalnya, pasukan Khalid bin Walid pernah memimpin perang dengan jumlah tentaranya sekitar 3000 pasukan, sedangkan pasukan Romawi yang dihadapinya berjumlah 100.000 pasukan. Hampir 1 banding 35, dan kaum muslimin memenangkan pertempuran itu. Peran-perang yang lain juga demikian. Akhinya dunia Barat berfikir, dan strategi barupun digelar. Apabila umat Islam telah mengambil strategi dengan ghoswul fikr via tulisan yang terasa besar pengaruhnya, maka umat Islam hendaknya mulai menyadari urgensi dakwah bilqolam ini.

Sebenarnya AlQuran pada ayat pertama diturunkan, Allah SWT menyuruh umat Islam untuk membaca (iqra' bismi robbika aladzi kholaq). "membaca" di sini menurut para mufassir juga diartikan membaca alam dan lingkungan. Sejauh ini, keterbelakangan umat Islam, salah satunya tidak adanya budaya membaca dan menulis. Berhubung dengan penguasa teknologi dan organisasi oleh dunia barat, lengkaplah kakurangan umat Islam. Kedua faktor yang terdapat dalam kalangan muslim akan menjadi sulit untuk menfilter arus informasi atau pengaruh dari media massa yang merugikan nilai-nilai keislaman. Hingga ketika pengaruh yang miskin nilai-nilai keislaman meluas, umat menjadi reaksioner sampai melakukan hal ekstrim. Kasus yang sempat mencuat beberapa waktu lalu, sweeping buku-buku "kiri". Tepat apa yang dikatakan Helvy Tiana Rosa, bahwa perlawanan dengan membakar buku dan semisalnya justru membuat umat menjadi bodoh, buta dengan apa yang selama ini dimusuhi (an-naasu aduwwun ma jahluhu). Bagaimana akan memusuhi dan membasmi suatu paham jika tidak tahu dengan membaca? Maka, itu semua harus dilawan dengan tulisan lagi.

Maka dapat diambil kesimpulan, dakwah bilqolam mempunyai urgensi dalam dua hal; syi'ar agama sebagai dakwah yang dibebankan setiap individu dan menjawab tantangan dari musuh-musuh Islam (ghazwul fikr). Akhirnya, mari kita renungi firman Allah SWT: Katakanlah apakah sama antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu.” (QS. Az-Zumar: 9).

10. Metode Dakwah menurut Muthahhari

Lebih jauh, berikut ini akan disajikan mengenai metode dakwah menurut pandangan Muthahhari.

Pertama, dakwah tidak diperbolehkan melalui usaha-usaha yang menipu dan cara-cara yang keliru. Seperti dikemukakan oleh Muthahhari, bahwa Islam sama sekali tidak dapat berdamai dengan kesalahan, dan Islam dengan alasan apapun tidak membolehkan untuk menggunakan jalan kebohongan untuk mencapai kebenaran.

Dengan mengutip pandangan dari Haji Mirza Husain Nuri, guru dari Almarhum Haji Syaikh ‘Abbas Qumi, Muthahhari menyebutkan dua kesalahan yang sering dilupakan oleh para da’i:

1. Mereka tidak berkata benar, dengan mengatakan jika mereka menyebutkan sebuah hadits lemah yang kemudian terbukti palsu, maka hal itu dianggap tidak akan menjadi masalah karena tujuan mereka lebih penting.
2. Mereka yakin bahwa tujuan mereka adalah untuk mendorong orang untuk menangisi Imam Husain; dan karenanya dianggap sebagai tujuan yang luhur.

Mengenai poin pertama, Muthahhari mengatakan bahwa Islam secara tegas melarang penggunaan kebohongan di bawah kondisi apa pun, sekalipun untuk menyiarkan agama.

Sehubungan dengan poin kedua, Muthahhari pun mengajukan kritik khususnya terhadap para da’i syi’i yang lebih menekankan untuk menangisi Imam Husain meskipun dengan cara-cara yang salah. Berkenaan dengan hal tersebut, Muthahhari mengutip contoh yang dibawakan oleh Haji Mirza Husain Nuri. Yakni kisah tentang sarjana dari kelompok Yazdi yang sedang dalam perjalanan melewati padang pasir untuk mengunjungi tempat suci Imam Ridha As di Masyhad. Karena perjalanan ini terjadi di bulan Muharram dan malam Asyura, ia sangat kecewa karena takut tidak sampai ke Masyhad agar ia dapat menghadiri upacara perkabungan untuk Imam Husain As. Karena tidak ada pilihan lain, ia memutuskan untuk tinggal di sebuah desa dan menghadiri upacara berkabung di sana.

Seorang khatib naik ke mimbar dan orang-orang yang hadir di masjid membekalinya dengan sekantung batu. Sang khatib kaget ketika tak seorang pun yang menangis selama khutbah. Lalu si khatib mematikan lampu dan mulai melemparkan batu-batu itu kepada orang-orang yang hadir. Orang-orang mulai menangis dan berteriak. Setelah upacara selesai, cendekiawan Yazdi bertanya kepada khatib, mengapa ia melakukan kejahatan seperti itu. Ia menjawab, “Ini adalah satu-satunya cara untuk membuat orang-orang itu menangisi Imam Husain As, dan saya harus menggunakan cara apa pun yang mungkin untuk dapat membuat mereka menangis”. Cendekiawan itu mengatakan bahwa sang khatib tersebut salah dan mengatakan bahwa kesyahidan Imam Husain memiliki cerita yang cukup menyedihkan hati untuk membuat orang-orang itu mencucurkan air mata, jika memang mereka benar-benar cinta dan pengikut setia Imam Husain. Tetapi jika orang-orang itu tidak mengetahui siapa Imam Husain, mereka tidak akan menangis bahkan untuk ratusan tahun mendatang.

Dari kisah yang dikutip Muthahhari di atas, beliau sesungguhnya hendak mengatakan bahwa tujuan utama para da’i adalah bukan membuat orang-orang untuk menangisi Imam Husain, melainkan memberikan pengajaran mengenai kepribadian dan keteladanan dari Imam Husain. Setelah mereka mengenalnya, maka dengan sendirinya mereka tidak usah dipaksa untuk menangisi Imam Husain karena mereka akan menyelaminya sendiri berdasarkan pengajaran-pengajaran yang telah diberikan.

Kedua, berdakwah harus dimaksudkan untuk “melapangkan dada seseorang”, yaitu meningkatkan kapasitas iman dalam hatinya. Terkadang penyampaian perintah melalui penjelasan-penjelasan yang nyata tidaklah cukup; seorang da’i harus juga mempengaruhi akal dengan menyampaikan pesan-pesan itu secara benar. Apa yang disampaikan kepada mata dan telinga tidak selalu diterima oleh kesadaran dan pengetahuan. Apa yang mengubah pesan menjadi kesadaran bukanlah suara ataupun bentuk dari simbol-simbol tulisan, namun sesuatu yang disebut dengan nalar dan logika. Pengetahuan tidak menerima selain nalar dan logika. Muthahhari lalu mengutip ayat al-Qur’an surat an-Nahl [16]:125:

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ.

Artinya: “Serulah manusia menuju jalan Tuhanmu dengan hikmat (pengetahuan), pengajaran yang baik, dan ajaklah mereka berdebat dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa saja yang telah sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui siapa saja yang diberikan petunjuk”.

Ayat di atas dikutip oleh Muthahhari untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an pun telah menggariskan metode dakwah yang relevan, yang salah satunya melalui metode hikmat, yaitu pengetahuan yang berbasis kepada nalar dan logika.

Ketiga, dakwah mesti disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami yang dapat meresap ke dalam hati dan jiwa manusia yang paling dalam. Muthahhari menegaskan, bahwa di dalam menyampaikan pesan-pesan Ilahi seorang Nabi sangat berbeda dengan seorang filosof. Seorang filosof, bagaimanapun pun beratnya ia berupaya, hanya dapat mempengaruhi pikiran manusia saja. Dan itu pun hanya untuk kalangan tertentu. Selain itu, dalam menyampaikan gagasannya seorang filosof perlu menggunakan terminologi khusus dengan ratusan frase dan istilah yang sulit untuk dipahami secara sekilas. Sebenarnya mereka melakukan hal demikian karena ketidakmampuan mereka dalam mengungkapkan secara sederhana. Di sisi lain, para nabi tidak memerlukan ungkapan terminologi yang demikian. Mereka mengungkapkan seluruh gagasannya dalam kata-kata yang sangat jelas dan mudah dipahami. Apa yang telah dikatakan dalam fraseologi filosofis yang membingungkan mengenai masalah Keesaan Tuhan, diungkapkan oleh para Rasul dalam dua kalimat sederhana, mudah dipahami, dan meresap ke dalam hati siapa saja yang mendengarnya.

Artinya: “Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah Maha Utuh. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia” (QS. Al-Ikhlas [114]:1-4).

Pada ayat di atas, prinsip filosofis mengenai keesaan Allah diungkapkan dalam kata-kata yang sederhana dan sangat mudah dipahami.

Selanjutnya Muthahhari menekankan, bahwa hanya seorang da’i yang pesan-pesannya disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang benar dan kuat, namun sederhana dan memberi penerangan yang akan berhasil dalam menyeru manusia kepada Allah. Khutbah Imam Ali, misalnya, yang amat fasih, masih dapat dimengerti oleh orang awam dan orang yang hadir dapat menarik manfaat dari khutbah-khutbah ini berdasarkan tingkat pemahaman mereka masing-masing.

Keempat, dakwah harus mengandung kabar gembira dan peringatan. Hal ini terkait dengan karakteristik utama kenabian sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, sebagaimana yang termaktub dalam ayat al-Qur’an yang artinya:

“Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah (QS. Al-Ahzâb [33]:45-47).

Muthahhari menjelaskan bahwa membawa berita gembira adalah sesuatu yang membesarkan hati. Ketika seseorang hendak mengajak anak-anaknya untuk mengerjakan sesuatu, ada dua cara untuk melakukannya, apakah dengan memakai kabar gembira atau dengan memberikan peringatan, atau keduanya pada waktu yang bersamaan, sama-sama akan membawa keberhasilan.

1. Membesarkan hati dengan berita gembira. Sebagai contoh, jika seseorang ingin mengirim anaknya ke sekolah, ia akan bercerita tentang segala sesuatu yang menarik tentang sekolah dan manfaat yang akan ia peroleh dari sekolah itu. Cerita ini akan membesarkan hati si anak dan mendorong perasaan dan cintanya terhadap sekolah.

2. Memberi peringatan tentang akibat buruk. Seorang anak yang telah diterangkan tentang akibat buruk tidak bersekolah dan tetap buta huruf, akan lebih senang pergi ke sekolah daripada tidak.

Membesarkan hati dan membawa kabar gembira harus selalu diutamakan dan peringatan mengikutinya sebagai pendorong. Kadang-kadang kedua metode tersebut dipergunakan karena keduanya diperlukan dan terkadang berita gembira saja tidak mencukupi. Membawa berita gembira sangat diperlukan, tetapi bukanlah metode yang cukup. Hal ini berlaku pula dalam memberi peringatan. Alasan mengapa al-Qur’an disebut sebagai Sab’u al-Matsani, adalah karena al-Qur’an menggunakan secara selaras antara berita gembira dan peringatan.

Demikian pula dalam berdakwah, seperti disebutkan oleh Muthahhari, dua metode ini seharusnya dipergunakan hingga yang satu menjadi pelengkap bagi yang lainnya. Sangat salah apabila hanya menekankan pada kabar gembira saja dan melupakan peringatan. Keduanya harus dipergunakan, meskipun lebih banyak “kabar gembira” yang diberikan dan lebi sedikit “peringatan”. Karena itulah, dalam kitab suci al-Qur’an kata “membawa kabar gembira” selalu mendahului “memberi peringatan” dalam banyak ayat-ayatnya.

Itulah pembahasan mengenai metode dakwah yang digagas oleh Muthahhari. Metode-metode dakwah yang telah dijelaskan di atas terlihat sangat spektakuler sebagai sebuah metode dakwah yang original, sangat mendasar, dan aplikatif sebagai sebuah metode ideal dalam kegiatan dakwah di masa kini. Ide-ide mengenai dakwah Muthahhari di atas adalah sebuah jawaban dan harapan yang cerah untuk perkembangan ilmu dakwah, dan untuk memajukan masyarakat Islam yang memang sedang membutuhkan pemikiran cemerlang untuk kembali membangun peradaban dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar