Berkumpul
di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan
cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hadits-hadits yang menunjukkan
kesunnahan perkara ini banyak sekali, diantaranya.
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا
يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ
السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني
Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian. (HR Ath-Thabrani)
Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:
يَقُوْلُ
اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي،
فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ
فِي مَلَإٍ خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه
Allah Ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjamaah atau dengan suara keras maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia. (HR Bukhari-Muslim)
Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:
أَيُّ
دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟
“Apakah Doa yang paling dikabulkan?” Rasulullah menjawab:
جَوْفُ
اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن
“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu." (At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.
Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ
بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم
Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim)
أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ
يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ –
رواه البخاري ومسلم
Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah. (HR Bukhari-Muslim)
Dalam
sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:
كنت
أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم
Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)
Hadits-hadits
ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi
tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya.
KH
A Nuril Huda
Ketua
Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Masalah
Hadits Dho'if Dalam Ibadah
Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadits berfungsi
menjelaskan, mengukuhkan serta 'melengkapi' firman Allah SWT yang terdapat
dalam Al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits itu, ada istilah Hadits Dha'f.
Dalam pengamalannya, terjadi silang pendapat di antara
ulama. Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadts
Dha'if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi
Muhammad SAW. Lalu apakah sebenarnya yang disebut Hadits Dha'if itu? Benarkah
kita tidak boleh mengamalkan Hadits Dha'if?
Secara umum Hadits itu ada tiga macam. Pertama, Hadits
Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan
yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits)
yang bersambung ke Rasulullah SAW, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz
(menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan
dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya.
Kedua, Hadits Hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada
di bawah Hadits Shahih, karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang
lebih rendah dari para perawi Hadits Shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai
dalil sebagaimana Hadits Shahih.
Ketiga, Hadits Dha'if, yakni hadits yang bukan Shahih dan
juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan
sebagai perawi Hadits Hasan.
Hadits Dha'if ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat
lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha'if-annya. Hadits semacam ini disebut
Hadits Hasan li Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan
sebagai dalil syar'i. Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha'if-annya. Hal ini
terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi
hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat
hafalannya atau fasiq.
Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadits Dha'if hanya dapat diberlakukan dalam fada'ilul a’mal, yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah SWT).
Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadits Dha'if hanya dapat diberlakukan dalam fada'ilul a’mal, yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah SWT).
Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah
terjadi ijma' di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha'if
jika berkaitan dengan fadha'ilul a'mal ini. Sedangkan dalam masalah
hukum, tafsir ayat Al-Qur' an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam
hadits tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana yang disitir oleh
Sayyid 'Alawi al-Maliki dalam kitabnya Majmu' Fatawi wa Rasa'il:
"Para ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha'if dapat dijadikan pedoman dalam masalah fadha'il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan Hadfts tentang fadha'il al-a’mal, maka kami melonggarkannya". (Majmu' Fatawi wa Rasa'il, 251)
Namun begitu, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat.
Pertama, bukan hadits yang sangat dha'if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta,
fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.
Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut
berdasarkan Hadits Dha'if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath
atau berhati-hati dalam masalah agama.
Maka, dapat kita ketahui, bahwa kita tidak serta merta menolak Hadits Dha'if. Dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas.
Maka, dapat kita ketahui, bahwa kita tidak serta merta menolak Hadits Dha'if. Dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas.
KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar