PENDAHULUAN
- Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an.
- Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits.
- Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha’if, dan perkataan para sahabat.
- Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
- Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab musnad, seperti musnad Na’im ibnu hammad.
- Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.
PEMBAHASAN Ilmu Hadits: ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk
mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Hadits:
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw, berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan, dan sifat (lahiriyah dan batiniyah). Sanad: Mata rantai perawi
yang menghubungkannya ke matan. Matan: Perkataan-perkataan yang dinukil sampai
ke akhir sanad. PEMBAGIAN HADITS Dilihat dari konsekuensi hukumnya:
- Hadits Maqbul (diterima): terdiri dari Hadits shahih dan Hadits Hasan
- Hadits Mardud (ditolak): yaitu Hadits dha’if
Penjelasan: HADITS SHAHIH: Yaitu
Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini:
- Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
- Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil.Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
- Tsiqah (yaitu hapalannya kuat).
- Tidak ada syadz. Syadz adalah seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
- Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits
Hukum
Hadits shahih: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah. HADITS HASAN: Yaitu Hadits
yang apabila perawi-perawinya yang hanya sampai pada tingkatan shaduq
(tingkatannya berada di bawah tsiqah). Shaduq: tingkat kesalahannya 50: 50 atau
di bawah 60% tingkat ke tsiqahannya. Shaduq bisa terjadi pada seorang perawi
atau keseluruhan perawi pada rantai sanad. Para ulama dahulu meneliti tingkat
ketsiqahan seorang perawi adalah dengan memberikan ujian, yaitu disuruh
membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu
menyebutkan lebih dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap
tsiqah. Hukum Hadits Hasan: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS
HASAN SHAHIH Penyebutan istilah Hadits hasan shahih sering disebutkan oleh imam
Tirmidzi. Hadits hasan shahih dapat dimaknai dengan 2 pengertian:
- Imam Tirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2 rantai sanad/lebih. Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya shahih, maka jadilah dia Hadits hasan shahih.
- Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian ulama dan shahih oleh ulama yang lainnya.
HADITS MUTTAFAQQUN ‘ALAIHI Yaitu
Hadits yang sepakat dikeluarkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim pada kitab
shahih mereka masing-masing. TINGKATAN HADITS SHAHIH
- Hadits muttafaqqun ‘alaihi
- Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari saja
- Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
- Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, serta tidak dicantumkan pada kitab-kitab shahih mereka.
- Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari
- Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
- Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim
Syarat
Bukhari dan Muslim: perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-perawi Bukhari dan
Muslim dalam shahih mereka. HADITS DHA’IF Hadits yang tidak memenuhi salah
satu/lebih syarat Hadits shahih dan Hasan. Hukum Hadits dha’if: tidak dapat
diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits dha’if kecuali dengan menyebutkan
kedudukan Hadits tersebut. Hadits dha’if berbeda dengan hadits palsu atau hadits
maudhu`. Hadits dha’if itu masih punya sanad kepada Rasulullah SAW, namun di
beberapa rawi ada dha`f atau kelemahan. Kelemahan ini tidak terkait dengan
pemalsuan hadits, tetapi lebih kepada sifat yang dimiliki seorang rawi dalam
masalah dhabit atau al-`adalah. Mungkin sudah sering lupa atau ada akhlaqnya
yang kurang etis di tengah masyarakatnya. Sama sekali tidak ada kaitan dengan
upaya memalsukan atau mengarang hadits. Yang harus dibuang jauh-jauh adalah
hadits maudhu`, hadits mungkar atau matruk. Dimana hadits itu sama sekali
memang tidak punya sanad sama sekali kepada Rasulullah saw. Walau yang paling
lemah sekalipun. Inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan kalau baru
dha`if, tentu masih ada jalur sanadnya meski tidak kuat. Maka istilah yang digunakan
adalah dha`if atau lemah. Meski lemah tapi masih ada jalur sanadnya. Karena
itulah para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadits dha`if, dimana
sebagian membolehkan untuk fadha`ilul a`mal. Dan sebagian lagi memang tidak
menerimanya. Namun menurut iman An-Nawawi dalam mukaddimahnya, bolehnya
menggunakan hadits-hadits dha’if dalam fadailul a’mal sudah merupakan
kesepakatan para ulama. Untuk tahap lanjut tentang ilmu hadits, silakan merujuk
pada kitab “Mushthalahul Hadits” Buat kita orang-orang yang awam dengan ulumul
hadits, tentu untuk mengetahui derajat suatu hadits bisa dengan bertanya kepada
para ulama ahli hadits. Sebab merekalah yang punya kemampuan dan kapasitas
dalam melakukan penelusuran sanad dan perawi suatu hadits serta menentukan derajatnya.
Setiap hadits itu harus ada alur sanadnya dari perawi terakhir hingga kepada
Rasulullah SAW. Para perawi hadits itu menerima hadits secara berjenjang, dari
perawi di atasnya yang pertama sampai kepada yang perawi yang ke sekian hingga
kepada Rasulullah SAW. Seorang ahli hadits akan melakukan penelusuran jalur
periwayatan setiap hadits ini satu per satu, termasuk riwayat hidup para perawi
itu pada semua level / tabaqathnya. Kalau ada cacat pada dirinya, baik dari
sisi dhabit (hafalan) maupun `adalah-nya (sifat kepribadiannya), maka akan
berpengaruh besar kepada nilai derajat hadits yang diriwayatkannya. Sebuah
hadits yang selamat dari semua cacat pada semua jalur perawinya hingga ke
Rasulullah SAW, dimana semua perawi itu lolos verifikasi dan dinyatakan sebagai
perawi yang tisqah, maka hadits itu dikatakan sehat, atau istilah populernya
shahih. Sedikit derajat di bawahnya disebut hadits hasan atau baik. Namun bila
ada diantara perawinya yang punya cacat atau kelemahan, maka hadits yang sampai
kepada kita melalui jalurnya akan dikatakan lemah atau dha`if. Para ulama
mengatakan bila sebuah hadits lemah dari sisi periwayatannya namun masih
tersambung kepada Rasulullah SAW, masih bisa dijadikan dalil untuk bidang
fadhailul a`mal, atau keutamaan amal ibadah. Sedangkan bila sebuah hadits
terputus periwayatannya dan tidak sampai jalurnya kepada Rasulullah SAW, maka
hadits ini dikatakan putus atau munqathi`. Dan bisa saja hadits yang semacam
ini memang sama sekali bukan dari Rasulullah SAW, sehingga bisa dikatakan
hadits palsu atau maudhu`. Jenis hadits yang seperti ini sama sekali tidak
boleh dijadikan dasar hukum dalam Islam. Untuk mengetahui apakah sebuah hadits
itu termasuk shahih atau tidak, bisa dilihat dalam kitab susunan Imam
Al-Bukhari yaitu shahih Bukhari atau Imam Muslim yaitu shahih muslim. Untuk
hadits-hadits dha’if juga bisa dilihat pada kitab-kitab khusus yang disusun
untuk membuat daftar hadits dha’if. Di masa sekarang ini, para ulama yang
berkonsentrasi di bidang hadits banyak yang menuliskannya, seperti karya-karya
Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Di antaranya kitab Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah yang berjumlah 11 jilid.
BAB:
SEBAGIAN ORANG MUSLIM YANG MASUK SURGA TANPA HISAB
11
april 2011 _Soni ahmadi 126. Sahl bin Saad r.a. berkata: Rasulullah saw.
bersabda : Pasti akan masuk surga dari umatku tujuh puluh ribu atau tujuh ratus
ribu (periwayat ragu, 70.000 atau 700.000) bersama-sama yang satu
memegang yang lain, tidak masuk yang pertama sehingga masuk juga yang akhir,
wajah mereka bagaikan bulan purnama. (Bukhari, Muslim).
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا
أَوْ سَبْعُ مِائَةِ أَلْفٍ شَكَّ فِي أَحَدِهِمَا مُتَمَاسِكِينَ آخِذٌ
بَعْضُهُمْ بِبَعْضٍ حَتَّى يَدْخُلَ أَوَّلُهُمْ وَآخِرُهُمْ الْجَنَّةَ
وَوُجُوهُهُمْ عَلَى ضَوْءِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ
قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ سَبْعُ مِائَةِ
أَلْفٍ شَكَّ فِي أَحَدِهِمَا مُتَمَاسِكِينَ آخِذٌ بَعْضُهُمْ بِبَعْضٍ حَتَّى
يَدْخُلَ أَوَّلُهُمْ وَآخِرُهُمْ الْجَنَّةَ وَوُجُوهُهُمْ عَلَى ضَوْءِ
الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ
11
april 2011 _Soni ahmadi 113. Abu Musa r.a. berakata: Rasulullah saw.
bersabda : Ada dua buah Surga yang terbuat dari perak beserta wadah dan
segala isi kandungannya, dan dua buah Surga yang terbuat dari emas beserta
wadah dan segala isi kandungannya. Penghalang ahli Surga untuk memandang Rabb
mereka hanyalah hijab Keagungan pada Wajah-Nya di Surga Adn. (Bukhari,
Muslim).
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ جَنَّتَانِ مِنْ فِضَّةٍ آنِيَتُهُمَا وَمَا فِيهِمَا
وَجَنَّتَانِ مِنْ ذَهَبٍ آنِيَتُهُمَا وَمَا فِيهِمَا وَمَا بَيْنَ الْقَوْمِ
وَبَيْنَ أَنْ يَنْظُرُوا إِلَى رَبِّهِمْ إِلَّا رِدَاءُ الْكِبْرِيَاءِ عَلَى
وَجْهِهِ فِي جَنَّةِ عَدْنٍ
11
April 2011 _Soni ahmadi
111. Masruq berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah r.a.: Hai
Ibu apakah Nabi Muhammad saw. telah melihat Allah? Jawab Aisyah r.a. :
Sungguh berdiri bulu romaku sebab pertanyaanmu itu, dimanakah engkau dari
tiga macam, orang yang menerangkan itu maka ia dusta: 1. Siapa yang menerangkan
padamu bahwa Nabi Muhammad saw. melihat Allah, maka ia dusta. Lalu ia membaca :
Laa tudrikuhul abshaaru wa huwa yudrikul abshaara wa huwal lathiful (Allah
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, dan Dia yang mencapai semua penglihatan,
dan Dia maha halus kekuasaanNya yang maha mengetahui sedalam-dalamnya) dan
ayat: Wama kana libasyarin an yukallimahullah illa wahyan au min
waraa’i hijab (Tiada seorang yang berkata-kata dengan Allah melainkan dengan
wahyu atau dari balik tabir/hijab). 2. Siapa yang mengatakan bahwa ia
mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, maka sungguh dusta, lalu dibacakan
ayat : Wama tadri nafsun madza taksibu ghada (Dan tiada seorangpun yang
mengetahui apa yang akan terjadi esok hari). 3. Dan siapa yang berkata
bahwa Nabi Muhammad saw. menyembunyikan apa yang diwahyukan oleh Allah maka
sungguh orang itu dusta, lalu Siti Aisyah membaca: Ya ayyuhar rasulu balligh
maa unzila ilaika min rabbika (Hai utusan Allah sampaikanlah apa yang
diturunkan oleh Tuhan kepadamu). Tetapi Nabi Muhammad saw. telah melihat
Jibril dalam bentuk yang sebenarnya dua kali. (Bukhari, Muslim).
Ditulis dalam
11 April 2011 _soni ahmadi
110.
أَبُو إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيُّ قَالَ
سَأَلْتُ زِرَّ بْنَ حُبَيْشٍعَنْ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى{ فَكَانَ قَابَ
قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى }قَالَ حَدَّثَنَا
ابْنُ مَسْعُودٍ أَنَّهُ رَأَى جِبْرِيلَ لَهُ سِتُّ مِائَةِ جَنَاحٍ
Abu
Ishaq asy-Syaibaniy berkata; Aku bertanya kepada Zirra bin Hubaisy tentang
firman Allah Ta’ala QS an-Najm ayat 9-10: “Fa kaana qaaba qausaini aw adnaa. Fa
awhaa ilaa ‘abdihii maa awhaa” (“Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak)
sedekat dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan
kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan”). Dia berkata, telah
bercerita kepada kami Ibnu Mas’ud bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
telah melihat Jibril yang memiliki enam ratus sayap”. (Bukhari, Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar