[Di dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- membawakan tiga buah hadits yang berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari Asyura / Asyuro (10 Muharram) dan Tasu’a (9 Muharram)]
Hadits yang Pertama
عن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم صام يوم عاشوراء وأمر بصيامه. مُتَّفّقٌ عَلَيهِ
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu
‘anhuma-, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari
‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Hadits yang Kedua
عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عن صيام يوم عاشوراء فقال: ((يكفر السنة الماضية)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Qatadah -radhiyallahu
‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa
hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun
yang lalu”. (HR. Muslim)
Hadits yang Ketiga
وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما قال، قال رَسُول اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: ((لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu
‘anhuma- beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari)
kesembilan” (HR. Muslim)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, beliau menjawab,
‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu’, ini pahalanya lebih sedikit daripada
puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa setahun sebelum serta sesudahnya –pent).
Bersamaan dengan hal tersebut, selayaknya seorang berpuasa ‘Asyura (10
Muharram) disertai dengan (sebelumnya, ed.) Tasu’a (9 Muharram). Hal ini karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila (usia)ku sampai tahun
depan, maka aku akan berpuasa pada yang kesembilan’, maksudnya berpuasa pula
pada hari Tasu’a.
Penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari di mana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari di mana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang besar.
Oleh karena itu, setelah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura [2]. Beliau pun bertanya kepada
mereka tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari
ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta
celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa
syukur kepada Allah”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami
lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Kenapa Rasulullah mengucapkan hal
tersebut? Karena Nabi dan orang–orang yang bersama beliau adalah orang-orang
yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu. Allah berfirman,
إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ
وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya orang yang paling
berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini
(Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua
orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 68)
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah orang yang paling berhak terhadap Nabi Musa daripada
orang-orang Yahudi tersebut, dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa, Nabi
Isa dan Muhammad. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan
memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga
memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura,
dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan
puasa pada hari kesepuluh (’Asyura), atau ketiga-tiganya. [3]
Oleh karena itu sebagian ulama
seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura
terbagi menjadi tiga keadaan:
1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan
Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.
2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan
tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. [4]
3. Berpuasa pada hari ‘Asyura saja,
sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi
keringanan (tidak menganggapnya makhruh). [5]
Wallahu a’lam bish shawab.
(Sumber: Syarh Riyadhis Shalihin
karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terbitan Darus Salam – Mesir,
diterjemahkan Abu Umar Urwah Al-Bankawy, muraja’ah dan catatan kaki: Al-Ustadz
Abu Abdillah Muhammad Rifai)
CATATAN KAKI:
[1] Adapun hadits yang menyebutkan
perintah untuk berpuasa setelahnya (11 Asyura’) adalah dha’if (lemah). Hadits
tersebut berbunyi:
صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما و بعده
يوما
. -
“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan
selisihilah orang-orang yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya dan
sehari setelahnya. (HR. Ahmad dan Al Baihaqy. Didhaifkan oleh As Syaikh
Al-Albany di Dha’iful Jami’ hadits no. 3506)
Dan berkata As Syaikh Al Albany –
Rahimahullah- di Silsilah Ad Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297:
Penyebutan sehari setelahnya (hari ke sebelas. pent) adalah mungkar,
menyelisihi hadits Ibnu Abbas yang shahih dengan lafadz:
“لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع” .
“Jika aku hidup sampai tahun depan
tentu aku akan puasa hari kesembilan”
Lihat juga kitab Zaadul Ma’ad 2/66
cet. Muassasah Ar-Risalah Th. 1423 H. dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul
Qadir Al Arna’uth.
لئن بقيت لآمرن بصيام يوم قبله أو يوم بعده . يوم عاشوراء) .-
“Kalau aku masih hidup niscaya aku
perintahkan puasa sehari sebelumnya (hari Asyura) atau sehari sesudahnya” ((HR.
Al Baihaqy, Berkata Al Albany di As-Silsilah Ad-Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288
No. Hadits 4297: Ini adalah hadits mungkar dengan lafadz lengkap tersebut.))
[2] Padanya terdapat dalil yang
menunjukkan bahwa penetapan waktu pada umat terdahulu pun menggunakan
bulan-bulan qamariyyah (Muharram s/d Dzulhijjah, Pent.) bukan dengan
bulan-bulan ala Eropa (Jan s/d Des). Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam mengabarkan bahwa hari ke sepuluh dari Muharram adalah hari di mana
Allah membinasakan Fir’aun dan pengikutnya dan menyelamatkan Musa dan
pengikutnya. (Syarhul Mumthi’ VI.)
[3] Untuk puasa di hari kesebelas
haditsnya adalah dha’if (lihat no. 1) maka – Wallaahu a’lam – cukup puasa hari
ke 9 bersama hari ke 10 (ini yang afdhal) atau ke 10 saja.
Asy-Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly
mengatakan bahwa, “Sebagian ahlu ilmu berpendapat bahwa menyelisihi orang
Yahudi terjadi dengan puasa sebelumnya atau sesudahnya. Mereka berdalil dengan
hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam,
صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما أو
بعده يوما .
“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan
selisihilah orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya atau
sehari setelahnya”.
Ini adalah pendapat yang lemah,
karena bersandar dengan hadits yang lemah tersebut yang pada sanadnya terdapat
Ibnu Abi Laila dan ia adalah jelek hafalannya.” (Bahjatun Nadhirin Syarah
Riyadhus Shalihin II/385. cet. IV. Th. 1423 H Dar Ibnu Jauzi)
[4] (lihat no. 3)
[5] Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih
Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
والراجح أنه لا يكره إفراد عاشوراء.
Dan yang rajih adalah bahwa tidak dimakruhkan berpuasa ‘Asyura saja. (Syarhul Mumthi’ VI)
Wallaahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar