Dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut
ilmu (agama, ed) maka Allah akan membimbingnya ke dalam salah satu jalan
menuju surga. Sesungguhnya para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya
karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang ahli ilmu akan
dimintakan ampunan oleh segala yang di langit dan segala yang di bumi,
bahkan ikan yang berada di lautan sekalipun. Keutamaan seorang ahli ilmu
di atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan di malam purnama di
atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris
para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan uang dinar ataupun dirham. Akan
tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya
sesungguhnya dia telah mendapatkan jatah [warisan] yang sangat banyak.”
(HR. Abu Dawud dalam Kitab al-’Ilmi [3641])
Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat
Ilmu merupakan pondasi tegaknya amalan
dan ibadah. Sebagian ulama salaf (terdahulu) berkata, “Barangsiapa yang
beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia akan lebih banyak merusak
daripada memperbaiki.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93)
Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Shahihnya di dalam Kitab al-’Ilmu sebuah bab dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal, berdasarkan firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan -yang
benar- selain Allah.”(QS. Muhammad: 19).’ Beliau berkata, “Allah memulai
dengan ilmu.” (lihat Fath al-Bari [1/194])
Ibnul Munayyir rahimahullah
berkata, “Beliau -Imam Bukhari- bermaksud untuk menjelaskan bahwa ilmu
merupakan syarat benarnya ucapan dan amalan. Sehingga keduanya -ucapan
dan amalan- tidak dianggap -benar- tanpanya. Maka ilmu lebih didahulukan
daripada keduanya, sebab ilmu menjadi faktor yang meluruskan niat,
sedangkan lurusnya niat itulah yang menjadi pelurus amalan…” (lihat Fath al-Bari [1/195])
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan
diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga
tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan
bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.”
(lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
Hakikat Ilmu dan Ulama
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu
berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada
di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan
akan datang suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak
namun ulamanya amat sedikit.” (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 40)
Ilmu tidak diukur semata-mata dengan
banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah
cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba
bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan
antara kebenaran dengan kebatilan (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39)
Imam Ibnul A’rabi rahimahullah
berkata, “Seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani
sampai dia menjadi orang yang -benar-benar- berilmu, mengajarkan
ilmunya, dan juga mengamalkannya.” (lihat Fath al-Bari [1/197])
Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang senantiasa takut kepada Allah. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang
berilmu.” (QS. Fathir: 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada Allah,
para ulama menjadi orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling
mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka pun diperhitungkan dalam
syari’at Islam (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 52).
Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas
ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada
Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah
hilang rasa takutnya kepada Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Sa’id bin Jubair rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya rasa takut yang sejati adalah tatkala kamu takut
kepada Allah dan rasa takut itu menghalangimu dari perbuatan maksiat.
Itulah rasa takut yang sebenarnya. Hakikat dzikir adalah kepatuhan
kepada Allah. Siapa pun yang patuh kepada Allah maka dia telah berdzikir
kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak patuh kepada-Nya maka dia bukanlah
orang yang berdzikir kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan
tilawah al-Qur’an.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31)
Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah
pernah ditanya; Siapakah ulama yang paling fakih (paham agama, ed) di
antara penduduk Madinah? Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling
bertakwa di antara mereka.” (lihat Ta’liqat Risalah Lathifah, hal. 44).
Nasehat Bagi Para Da’i dan Penimba Ilmu
Sufyan rahimahullah pernah
ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau
menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan
tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan
tinggalkan amal dengan dalih untuk fokus menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45)
Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, “Hai
Uwaimir, apa yang sudah kamu ilmui?”. Namun, aku khawatir jika
ditanyakan kepadaku, “Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah
kamu ketahui?” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Ibnu Baththal berkata, “Barangsiapa yang
mempelajari hadits demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya
(baca: riya’) maka kelak di akherat Allah akan memalingkan wajahnya
menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah
mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka
pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang
rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan
dengan orang Yahudi.” Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan
orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui
kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata,“…
Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha
Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya
amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak
akan mencela orang-orang munafik.”(lihat al-Fawa’id, hal. 34)
Ibnus Samak rahimahullah berkata,
“Wahai saudaraku. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk
ingat kepada Allah sementara dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak
orang yang menyuruh orang lain takut kepada Allah akan tetapi dia
sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan
Allah sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah. Dan betapa
banyak orang yang membaca Kitab Allah sementara dirinya tidak terikat
sama sekali dengan ayat-ayat Allah. Wassalam.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 570)
Wallahu a’lam bish showaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar